Langsung ke konten utama

IMAJINAJISKU


“Aku sudah siap ikut cangkeman!”, itulah hal yang sempat terbersit dalam pikiran. Mulut rasanya selalu berjaga-jaga enggan melewatkan gambaran yang ditangkap mata dari seluruh sudut sempurna bola bumi untuk ikut-ikut mengomentari. Semakin banyak kata-kata yang sejatinya sangat erotis entah itu terbungkus retorika indah, kalimat puitis yang manis, atau mantra yang seolah menghipnotis. Semakin sulit mengontrol diri untuk menahan segala ungkapan-ungkapan, pikiran, perasaan yang seharusnya menjadi aurat pribadi tetapi entah disengaja atau tidak malah mengumbarnya secara serampangan.
Kalau tidak ikut cangkeman takutnya ya tidak kebagian. Kalau tidak banyak omong nanti kalah terus dan jadi omongan. Kalau tidak berpendapat takut dipandang tidak hebat. Alasan-alasan yang kemudian muncul seolah menjadi pembenaran dalam keseharian. Berbicara dan berkoar sudah tidak dalam rangka menyampaikan kebenaran, menguji kebenaran, dan memandang kebenaran-kebenaran lainnya tetapi hanya agar disebut pemberani layaknya lakon sang pembela kebenaran. Padahal di luar sana ada banyak perkataan jujur yang bukan bertujuan agar mendapat pengakuan bak pahlawan. Seperti halnya ayam berkokok di pagi hari atau anjing yang menggonggong di tepi jalan ketika orang berlalu-lalang. Anjing dan ayam yang hanya memberikan kode-kode. Apa mereka hewan yang pemberani? Ya tentu mereka hanya sewajarnya sebagai ayam dan anjing yang memang harus berkokok dan menggonggong pada tempat dan waktu yang tepat. Celakanya, semakin banyaknya bebunyian sembrono ini maka terkadang semakin sulit membedakan kata-kata yang memang benar atau berpura-pura benar.
Sangkaan-sangkaan bermunculan tidak terkendali. Kata-kata yang tadinya mutlak benar baik maksud dan tujuannya tercampur kotoran-kotoran subjektivitas penerusnya karena kepentingan-kepentingan tertentu. Maka tidak aneh kalau ada kejadian aturan-aturan dan kesepakatan yang tafsirnya beragam dan semuanya benar dengan kebenaran perspektifnya masing-masing. Lalu siapa penafsirnya itu? Apa yang mereka gunakan? Akal dan nurani? Walaupun memang di satu sisi produk yang berasal dari kesepakatan suci atau buah dari hasil perpaduan moral dan sumber utama akhlaq berhasil menjadi hukum tetap. Sayangnya, ketika sampai pada penerapan tidak pas. Ya karena si penafsir mungkin belum tahu bedanya hukum, moral, dan dimana meletakkan akhlaqnya.
“Sudah-sudah... Bahaya omonganmu ini..!”, ada suara menggertak tak tahu dari mana datangnya.
Seketika ada segepok uang jatuh dihadapan ketika masih bertahan mencari kebenaran-kebenaran di dunia ini. Ada-ada saja memang setan selalu muncul dalam wujud terindahnya. Setan si penggoda yang begitu sabar dan tak pernah putus asa. Berbanding terbalik dengan yang digoda yang begitu tergesa dan tidak konsisten.
“Uang najis!”, kataku dengan lantang.
Kemudian celingak-celinguk dan masuklah segepok itu ke dalam kantong. Melalui pesan singkat kutulis, “Uang infaq yang sisanya di transfer ke rekening-rekening dana amal ini saja.”
Kalau saja uang dikantong ini berbicara dia akan memaki, mengumpat, dan cangkeman tak henti-hentinya. “Otakmu lebih najis! Badanmu belum membusuk tetapi hatimu lebih busuk, setan alas!”
Ahh su.. dahlah kuakui saja, aku terlanjur jadi miniatur pikiran penguasa kapitalis perusahaan multinasional. Yang saban hari kerjanya mengatur uang yang hadir padaku dan sekian kali lipat harus kembali kepadaku. Seperangkat aturan-aturan tak lupa terlampir dan tersusun rapi. Bisnisnya Bang Doen sampai hebohnya batu akik semua kulahap habis.
Di tahun 1944 kumulai bualan sederhana ini. Tepat tahun-tahun dimana banyak negara-negara akan segera merdeka. Konsep diatur sedemikian rupa agar dalam pertemun itu cukup aku yang banyak  bicara. Sengaja kuajak Tante Rika yang paras dan tubuhnya yang aduhai tak mungkin dipalingkan dari pandangan kedua tamuku yang agak terhormat ini. Berjalanlah sebuah rencana sebagai sistem kapitalis akan memulai menguasi dunia. Bang Doen dan Ki MF nampak antusias, seketika kuminta memberi sumbangan sebesar-besarnya kepada wilayah-wilayah yang dianggap sebagai dunia ketiga terpandang sebelah mata tetapi potensial untuk dimanfaatkan dan sedang berproses dalam kebangkitannya.
“Salurkan dana seolah-olah demi pembangunan dan kesejahteraan mereka dengan hutang berjangka!”
“Beri  Tante Rika ini modal dan nikmatilah indahnya kebersamaan kalian!”
 Jauh-jauh hari sebelumnya Tante Rika kuminta mempersiapkan investasi perusahaan-perusahaan multinasional yang bergerak di pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah yang sedang mencoba bangkit berdiri itu. Tentu kuminta dengan berbagai rayuan maut hingga sampai pada keadaan tak bisa menolak. Jika itu sudah berjalan maka pekerjaanku lagi-lagi hanya bermodal mulut saja. Uang hasil pinjaman dari Bang Doen dan Ki MF kuarahkan dengan ceramah sederhana kepada karib-karib dunia ketiga.
“Bangunlah infrastruktur dan segala macam teknik konstruksi!”
“Sejahteralah, banyak tersedia lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan hajat hidup rakyat semua!”
Kepada siapa uang pinjaman itu nantinya dibayarkan? Tentu kepada perusahaan-perusahaan yang telah Tante Rika investasikan, karena yang membuat telah berbalut standar teknik dan konstruksi untuk laku di pasar internasional. Selesailah sudah skema ini, sistem uang hanya akan numpang lewat di walayah itu dan kembali kepada kalian. Keuntungan yang mereka dapatkan tak seberapa dan masih harus membayar hutang berbunga kepada kalian. Jika tidak sanggup membayarnya tinggal kita datang beramai-ramai. Sebelum pertemuan layaknya Don Corleone dengan wajah santainya aku akan berkata, “I’m gonna make him an offer he can’t refuse.” Mau berhutang lagi? Atau cukup jangan tentang kebijakan-kebijakan kami, biar negara-negara itu berperang karena aku juga berbisnis menyuplai senjata, bukankah kau juga menggunakannya? Kutepuk pundak karibku dan kuajak makan malam bersama.
Tetapi perlu anda ketahui ada satu negara di ujung timur agak selatan. Sudah hampir setengah abad aku dan tim mengobrak-abriknya. Anehnya tidak bangkrut-bangkrut. Aku terkejut dibuatnya, ternyata orang-orang disana lebih bisa main tipu daripada timku. Bandit macam diriku ini tak berdaya dengan mbah-mbahnya penipu yang masih bercokol. Fakta lain yang mengejutkan rakyatnya malah tidak susah sama sekali tetapi bisa menertawakan kelakuan bandit-bandit macam kami. Manusia macam apa ini? Unsur apa yang dicampurkan dalam penciptaannya? Ditipu berulang-ulang masih tidak menderita.
Dari peristiwa itu kami belajar. Hingga kadang-kadang mengurusi yang besar-besar itu membosankan. Ahh, barangkali bolehlah sekali-sekali kami bergerak di bisnis batu yang dengan pengaruh mulutku dianggap jadi mulia belakangan ini. Ayo semua ramai-ramai cari batu dan jual. Aku berani membelinya dengan harga tinggi. Dan tinggal menunggu saja sampai mereka bosan mencari, beralih menjadi pengerajin atau reseller. Hasil kerajinan kubeli lebih mahal. Kuberi kalian modal dan alat. Kukerhkan pasukanku yang tadinya sibuk membeli batu dari pelosok-pelosok untuk kembali ke pelosok-pelosok menjual batu mentah kepada pengerajin-pengerajin. Alih-alih mencari untung demi keuntunganku sendiri.
Mereka nggosok batu sambil berkata pada anak buahku, “sampean mau nipu saya, wong saya ini juga lagi nipu pejabat-pejabat kolektor yang tergila-gila batu.”
Batu kali asal ada bentuk dan gambarnya tinggal kasih nama baru, selesai..”
“Salaman…!”
Kini usiaku sudah menginjak 71 tahun dan masih cukup dipercaya, masih banyak yang menyambutku dengan tepuk tangan, salam hormat, bahkan pelukan hangat. Saat melancarkan ceramah, tidak jarang aku merasa ingin memberi peringtan pada jeratan-jeratan ini. Karena di dalam siklus ini aku pun menyadari banyak pula yang bergerak dengan suci. Membuat sebuah tema tata kelola dunia berdasarkan syariat kepercayaan mereka masing-masing. Sedang ada usaha-usaha membereskan segala tatanan. Berusaha membersihkan najis-najis dalam dunia ilusi yang begitu kejam ini. Walaupun tak jarang istilah dan wilayah jangkuan suci itu termakan ludes kemudian larut begitu saja kedalam kebusukan ini hingga tak berbekas coraknya. Dan pada akhirnya hanya sebuah istilah belaka.
Entahlah, bagian najis mana yang sedang ditemui dan sedang terjadi. Bagaimana kadarnya mughallazah, mutawasitah, atau mukhaffafah? Dimana letak-letaknya? Aku pun sedang menerka-nerka, menyangka-nyangka, mencari-cari. Sampai bertemu pada imajinajisku. Mereka yang kukambinghitamkan sebagai najis sedang kuingatkan atau mungkin aku sendiri yang tak sadar sedang diperingkatkan karena terlampau najis.


Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di