Langsung ke konten utama

Indonesia Belajar

Di dunia ini kita dihadapkan pada masalah-masalah yang menunggu untuk diselesaikan. Urusan-urusan yang satu per satu harus ditindaklanjuti. Bagaimana memaknainya sebagai suatu nikmat, ujian, atau peringatan menjadi dimensi pemahaman yang membutuhkan perenungan. Istilah filosofi  eneng, ening, eling dan awas sudah begitu melekat pada kehidupan masyarakat jawa nusantara.  Eneng ini upaya untuk berdiam meresapi hingga ke kedalaman makna peristiwa yang kita hadapi. Tidak cukup itu saja tahapan bagaimana eneng dengan tetap ening (bening), menjernihkan pikiran dan hati disertai eling dan awas. Disanalah menjadi rangkaian proses dalam belajar. Belajar dimana tidak saja hanya sebagai hasil tetapi proses pemahaman substansi hingga membuahkan hasil. Hasil berkaitan dengan prilaku dan pekerti. Hasil inilah yang bisa berwujud mental dan karakter. Jadi kalau mau direvolusi jangan mentalnya, mental itu sudah hasil dari sebuah proses.
Menganalisa pendidikan di Indonesia bisa diawali dari tujuan formalnya, sementara ini tertuang dalam peraturan perundangan yang berlaku. Perumusan kesamaan tujuan ini diimplementasikan dalam berbagai sistem dan bentuk pendidikan yang diakui di lingkungan kita. Dalam lingkup ini sudah membicarakan tentang isi pendidikan yang diterapkan. Setuju atau tidak isi saja belum cukup, isi adalah pengetahuan-pengetahuan pokok yang wajib dikuasai. Di luar itu ternyata kita belum memiliki arah jelas dan corak yang tegas. Arah salah satunya tergambar pada skill. Kita sering membicarakan keahlian. Hanya saja apakah keahlian ini benar-benar menjadi tolak ukur untuk ditempatkan pada posisi yang sesuai? Bidang-bidang garapan dan terapan sudah pada posisi keahlian yang tepat atau hanya di pegang secara asal-asalan. Hati-hatilah dan kaji lagi istilah profesional di bidangnya.
Pendidikan dengan corak yang tegas. Apa itu corak? Motif gambar, warna, atau sifat yang melekat. Ternyata corak tidak saja pada sisi tampilan yang mentereng dan selalu mementingkan kesan. Misal biar berkesan standar internasional. Corak adalah sifat khas pendidikan mencakup kreativitas dan kepekaan kita semua dalam menyikapi kebutuhan. Apalagi negara bangsa yang sangat beragam ini coraknya perlu dipertegas. Ketegasan diperlukan agar kita konsisten dan punya kepercayaan diri yang tinggi akan kemampuan sendiri. Bukan malah asal adopsi secara sembarangan. Lha kalau memang titah dari pendiri Indonesia yang lahir di tahu 1945 itu adalah revolusi yang tidak pernah berakhir, lalu kenapa kita memiliki asumsi pesimis terhadap jati diri bangsa. Wong kita ini sebenarnya sudah jauh melangkah ke depan karena saking revolusionernya. Akhirnya jadi mundur lagi hanya gara-gara digertak bangsa lain. “Hai Indonesia standarmu harus sama dengan kami, kalau tidak sama ketinggalan terus kalian!” Terus kalang kabut ubah sana-ubah sini, yang lambat laun menghilangkan cita-cita isi pendidikan itu sendiri.
Penduduk 250 juta itu sebuah keuntungan, setara jumlahnya dengan di daratan eropa bahkan kita urutan terbesar ketiga di dunia. Percaya saja dengan diri sendiri. Misalnya ada yang berpenapat, “kita memang berbeda dengan negara lain karena mereka lebih maju dalam teknologi dan sebagainya.” Ya, memang beda makanya jangan diurus dengan cara yang sama dengan mereka. Maka keadaan ini yang perlu terus kita ungkap dengan riset-riset untuk ditemukan jawabannya.
Bericara penguasaan teknologi sebenarnya bukan tertinggal. Penemuan-penemuan itu menjadi awal untuk dikembangkan dan sejatinya setiap negara itu hanya meniru apa yang ditemukan negara lain kemudian diberikan tambahan dan penggabungan maka jadilah teknologi baru. Ada invention ada discovery. Indonesia ada di posisi mana saat ini? Jawabannya Indonesia kenal teknologi saja belum. Analisanya seperti ini. Teknologi-teknologi yang diperkenalkan di Indonesia itu sebagian besar belum dinasionalisasikan. Nasionalisasi bukan dengan investasi, adopsi mobil nasional, dan nasional-nasional yang lainnya tetapi kita indonesiakan. Untuk mengenal berarti harus ada kesepahaman, kesepahaman muncul dari komunikasi dan sampai mana kita bisa membaca teknologi itu. Petunjuk penggunaaan, buku pedoman, dan tampilan bahasa yang  digunakan ternyata sebagain besar belum dinasionalkan dalam artian di Bahasa Indonesiakan. Kalau saja itu semua sudah berhasil di Indonesiakan kita tentu bisa menggunakan sekaligus menguasainya.
Hasil penelitian menunjukkan dari 250 juta penduduk Indonesia Bahasa Indonesia dikuasai sekitar 80% penduduknya. Bahasa daerah yaitu basa jawa menduduki posisi ke dua sekitar 20%. Sementara Bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dikuasai dengan baik baru di kisaran 5% dari total jumlah penduduk. Maka nasionalisasi dalam artian mengalih bahasakan teknologi itu perlu. Karena kita merasakan dampaknya juga ketika teknologi itu menjadi tidak tepat guna hanya lantaran kurang memahami dan menguasai panduannya. Keinginan untuk mencoba membuat sendiri akhirnya juga belum berkembang maksimal. Etika pengguna teknologi akhirnya juga tidak ada, pokoknya asal dipake saja.
Pendidikan juga harus mampu membawa pada posisi manusia merdeka, keadilan sosial, dan toleransi menghormati perbedaan. Apa yang dibutuhkan untuk bisa mencapai ketiganya itu? Berpikir luas, holistik, dan terintegrasi. Sibukanlah diri untuk memandang kebenaran dengan kebenaran lain. Jangan terpaku pada pendapat pribadi dalam hal kehidupan sehari-hari, untuk menjaga keharmonisan antar manusia diperlukan pemikiran yang luas dan menyeluruh. Kadar pengetahuan kita sebagian besar itu hanyalah katanya orang, pernah dengar, atau hasil membaca. Yang benar-benar tahu sendiri mungkin tak lebih dari 10%. Perbandingannya dapat dianalogikan orang itu ada yang sedikit tahu sedikit hal, sedikit tahu banyak hal, banyak tahu sedikit hal, dan banyak tahu banyak hal. Dimana posisi kita tentu bisa menganalisanya sendiri. Maka dari itu ukuran kita memandang hasil-hasil pemikiran yang berbeda harus berubah. Bukan benci atau suka tetapi lebih kepada baik atau buruk untuk mencapai kebersamaan.
Manusia yang merdeka itu tidak hanya secara pribadi tetapi ia juga menjamin orang lain disekitarnya merasa aman baik nyawa, harta benda, dan kehormatannya. Manusia merdeka juga sosok yang bisa menemukan kebahagian pada dirinya sendiri. Sehingga taraf pikirannya sudah untuk membahagiakan dan melayani orang lain. Bahagia itu juga bukan ukuran materiil kaya dan miskin. Kaya dan miskin itu tidak masalah silahkan memilih tetapi yang perlu kita pahami adalah bagaimana cara memperoleh kekayaan dan bagaimana seseorang bisa jadi miskin. Kalau pemahaman ini beres inshaallah korupsi-korupsi itu tidak ada.
Korupsi dan segala tindak kejahatan yang seolah sudah sulit untuk dikendalikan ini bukan sepenuhnya moral yang rusak. Di atas moral itu ada yang namanya akhlaq. Akhlaq adalah tingkah laku dan tidak tanduk yang sudah menjadi kebiasaan pribadi. Akhlaq berkaitan dengan kesadaran dan kecenderungan jiwa terhadap perintah dan larangan. Disini juga besar peran unsur pendidikan, jadi jika karakter yang buah turunan moral itu diajarkan rasanya kurang tepat. Mestinya upaya belajar menanam software akhlaq ini bisa terus digali metode-metodenya. Termasuk adanya aturan-aturan perundangan yang berlaku ini pembuatnya haruslah akhlaqnya yang baik. Sehingga aturan-aturan yang dibuat betul-betul mewujudkan keadilan.
Belajar di Indonesia ini ternyata masih terlalu kuat unsur hafalannya. Sehingga entah itu belajar sejarah, matematika, dan ilmu-ilmu yang lainnya lebih kepada hafalan belum secara keseluruhan mencapai penerapan. Di sekolah-sekolah itu kadang malah cita-citanya kejauhan, aspek pemahaman belum sampai pada penerapan sudah berani masuk aspek mengevaluasi. Lihat saja visi misi sekolahan jadinya berlebihan dan malah akhirnya tidak ada yang tercapai maksimal. Maka jangan-jangan kita cenderung mengeritik tanpa aksi dalam forum-forum atau secara terbuka itu ya akibat produk pendidikan. Maka muncul masalah belum melakukan sudah pandai mengevaluasi. Seolah-olah seperti orang berbicara, anu dan nganu.  Sebenarnya sama-sama belum paham.
Pendidikan di Indonesia terbagi menjadi prasekolah, dasar, menengah, dan tinggi. Pendidikan tinggi di Indonesia diselenggarakan oleh universitas maupun sekolah tinggi dengan kajian keilmuan tertentu. Sekarang sekolah dan berbagai macam lembaga itu seolah dalam rangka supaya paham semua hal dengan semuanya dipelajari. Sampai-sampai bingung mau jadi apa, milih jurusan apa saking banyaknya kemampuan. Lalu idealnya seperti apa? Seharusnya cobalah menjadi spesialisasi-spesialisasi di bidang tertentu. Jika menggunakan terminologi universitas seharusnya ini jadi pintu keluar yang sama. Masuk di universitas itu bukan untuk masuk kemudian dimasukkan lagi pada pintu-pintu yang berbeda sesuai bidang yang dipilihnya melainkan masuk dari pintu masing-masing bidangnya untu keluar dari pintu yang sama. Terintegrasi dengan spesialisasinya masing-masing. Bukan untuk bersaing lagi apakah fakultas pendidikan lebih baik dari kedokteran atau kedokteran lebih baik dari MIPA atau dari ekonomi dst. Kesemuanya saling berkaitan dan mendukung dengan perannya.
Sayangnya, sekarang ini tujuan perguruan tinggi fokusnya hanya pada gelar yang akan disandang. Ini sebuah tatanan kesepakatan yang terlanjur diagungkan padahal bukan menjadi cerminan baik buruknya seseorang. Ada satu perbandingan perbedaan sistem sekolah dan pesantren di sini. Jika sekolah itu dicari karena bagaimana prestasinya tetapi pesantren siapa kyainya. Sekolah menganugrahi gelar sampai tingkat profesor walau bagaimana pun tabiat kelakuannya bahkan buruk sekalipun tetap ia seorang profesor. Tetapi bedanya di pesantren santri belajar sampai dapat gelar kyai, tidak sengaja atau sengaja kyai itu akhirnya nyeleweng berbuat kesalahan maka dengan sendiri hilang predikatnya itu. Ini hanyalah sebuah pengandaian, supaya tidak mudah terjebak pada predikat-pedikat tertentu.
Pendidikan terintegrasi memang salah satu langkah yang tepat bukan saja menyadari semua saling berkaitan tetapi lebih jauh lagi mengintegrasikan dengan kekuasaan Tuhan. Mulai sekarang seharusnya bukan lagi memisah-misahkan kita belajar agama, matematika, ipa, ips, dan sebagainya. Kesemua yang kita pelajari itu tidak lain dalam rangka mencari jawaban-jawaban untuk apa sebenarnya kehidupan ini. Belajar seni budaya itu juga belajar agama, bahasa juga agama, sosial juga agama, lebih-lebih matematika. Karena semua keilmuan yang pernah difirmankan Tuhan, matematika menduduki tempat khusus dengan adanya istilah hisab. Sebenarnya inti dari keilmuan semuanya akan berakhir di ruang yang memiliki batas logika manusia. Dari mana awal lalu apa tujuan sejatinya. Dari sini juga akan muncul kesadaran semesta, bahwa kita hidup juga berdampingan dengan makhluk lain, benda lain, dan ciptaan-ciptaan Tuhan. Tumbuhan, hewan, air, tanah, udara, dsb. Bagaimana mengelola, memanfaatkan, dan menjaga juga akan timbul, setidak-tidaknya berperan di lingkup kecil sekitarnya.

Nenek moyang bangsa ini jauh ribuan tahun telah ada dan melahirkan Negara Indonesia pada tahun 1945 itu. Jika berbicara pendidikan kita pun bisa mempelajari bagaimana di masa silam bangsa-bangsa di nusantara ini menerapkan sistem pendidikannya. Sebelum bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara. Di negara bangsa ini peradaban-peradaban besar pernah memimpin dari yang terdekat era Mataram Islam, Demak, Majapahit, Sriwijaya, Kediri, Singasari, atau jauh lagi Ratu Sima. Hal-hal apa yang kiranya masih perlu untuk dipertahankan dan dilestarikan tentu sangat banyak. Bangsa kita adalah bangsa yang beradab, dan Indonesia ini terdiri dari bermacam suku bangsa maka mengelola pendidikannya pun harus mampu mengakomodasi semuanya. Indonesia mengajar itu urusan nanti karena kita masih harus sama-sama belajar.

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di