Persamaan
itu hanya menyama-nyamakan atau benar-benar membuat sederajat? Bolehkah dalam
persamaan ada bagian yang tidak sama? Pertanyaan-pertanyaan ini kadang muncul
di wilayah emansipasi. Emansipasi dalam arti-arti yang terpaku urusan gender.
Dalam
konteks matematis ada namanya persamaan kuadrat. Persamaan kuadrat disusun dari
akar-akar persamaan kuadrat. Akar-akar menduduki nilai peubah yang memenuhi
persamaan kuadrat tersebut. Hanya seperti itukah persamaan dalam hal gender
selama ini. Bahwa perempuan menduduki akar-akar persamaan kuadrat dalam
memenuhi nilai yang sama dengan laki-laki sebagai analogi persamaan kuadrat.
Gender
sebenarnya menunjukkan apa? Mengapa harus menuntut persamaan? Gender jika
dilihat dari maknanya merujuk pada hubungan sosial yang berdasar deferensi
seksual. Maka jelas adanya pembeda laki-laki dan ada perempuan. Tentu keduanya
memiliki peran dan kodrat masing-masing. Namun pola hubungan keduanya tidak
saja pada unsur kebutuhan biologis seksualitas semata. Perkembangan zaman
membuat isu gender menjadi kompleks. Mengambil contoh pada jenis masyarakat dengan
sistem monarkhi bahkan cenderung feodal di Jawa masa lalu. Coraknya menjadi
patriarki sehingga laki-laki akan memegang kedudukan yang tinggi dalam artian
seorang laki-laki identik dengan hal-hal berat dan besar untuk dikerjakan.
Sementara perempuan urusan-ursan yang lebih ringan. Laki-laki identik dengan
kekuasaan dan kerap menggunakan upaya-upaya fisik, perang demi kekuasaan atau
bahkan demi memperebutkan perempuan. Perempuan lebih kepada sisi bagaimana
memantaskan dan menghias diri. Tetapi di lain pihak adanya kelas-kelas baru
dalam kehidupan menempatkan perempaun semakin rendah. Selain dipandang sebagai
kaum lemah, perempuan kalangan kelas bawah baik karena keturunan orang miskin
atau segi ekonomi hanya dijadikan korban penindasan. Nasibnya pun juga hanya
akan berpasangan dengan laki-laki kelas rendah pula. Semangat emansipasi di
negara bangsa pra kemerdekaan kurang lebih memang berawal dari peristiwa seperti
ilustrasi tersebut.
Masyarakat
kita kental dengan unsur lingkungan istana maka keturunan bangsawan akan
menduduki kelas tertinggi di masa itu. Perempuan-perempuan bangsawan ini juga
menjadi pribadi yang dipandang luhur dibanding dengan perempuan-perempaun di
luar garis keturunan darah biru. Hal itu juga terbawa pada masa kolonialisme.
Dimana pejabat-pejabat daerah yang mau berpihak
kepada Belanda maka akan diberikan kedudukan yang sama dengan
orang-orang Belanda. Menjadi awal timbulnya kelas bangsawan dan priyayi.
Maka
tak mengherankan posisi perempuan nusantara masa itu berada dalam posisi yang
cukup njomplang. Kartini adalah pribadi yang akhirnya menjadi sosok dikenang
dalam masalah emansipasi ini. Ia adalah keluarga Jawa keturunan bangsawan
sekaligus juga keluarga pejabat pemerintah. Maka tentu mendapatkan kedudukan
dan kesempatan yang lebih baik. Melalui surat-suratnya ia mulai melakukan
penyadaran. Tujuannya hanyalah menyetarakan dalam hal pendidikan. Kartini yang
bersikeras sebagai perempuan yang berpendidikan maka ia pun menghendaki
perempuan-perempuan lain yang terpelajar.
Ia
memandang perempuan yang begitu terbelakang sehingga mudah dibodohi. Perempaun
yang menjadi alat keluarganya untuk meningkatkan kelas. Mereka rela anak-anak
perempuan mereka diperistri oleh seorang pejabat pemerintahan atau kelas
bangsawan untuk mendapatkan kedudukan, kekayaan, dan kesempatan. Bahkan sengaja
menyerahkan anak gadisnya untuk menjadi perempuan-perempuan pelayan bendoronya.
Terlepas
dari semangat persamaan yang diusung Kartini itu, Nusantara ternyata memiliki peristiwa
gender yang cukup unik. Coba saja tengok dari dua wilayah kebudayaan Minangkabau
dan Bali. Dalam kebudayaan Minang berpandangan matrilineal. Matriarchaat, pengakuan dari garis
keturunan dan pewarisan Ibu. Budaya Minangkabau adalah matrifokal, yaitu walau
laki-laki menjadi bagian keluarga istri dan anak-anaknya tetapi jangkar
keluarga adalah seorang Ibu (klan maternal). Seorang suami adalah sosok yang
datag dan pergi, “Urang Sumando”
menyebutnya. Perempuan-perempuan di sana malah lebih banyak mengambil peran. Apa
yang melatarbelakangi masih perlu dikaji mendalam. Ini akibat dari kebudayaan
yang memang telah ada sejak awal bangsa Minang atau mungkin dipengaruhi oleh
kebudayaan laki-laki yang merantau. Sehingga kurangnya kaum laki-laki membuat
perempuan disana ikut mengambil bagian dalam dunia laki-laki.
Kemudian
di Bali, kita ketahui perempuan-perempuan bali tradisional adalah pekerja
keras. Mereka menghabiskan hari-hari dengan bekerja dan laki-laki malah
cenderung tidak terlalu memiliki beban mobilitas tinggi. Inilah gender unik
yang terjadi di nusantara. Untuk mencari sebab-sebanya tentu membutuhkan
riset-riset yang lebih mendalam. Apakah peristiwa-peristiwa tersebut juga
merupakan pengaruh dari kepercayaan yang dianut? Bagaimana kaitannya dengan
nusantara pra-islam dan sesudah masuknya pengaruh islam? Karena Islam sendiri
diketahui begitu memuliakan seorang perempuan hingga permasalahan yang detail.
Begitu pula budaya Minang dalam konteks atuaran adat dan syariat agaknya ada
perbedaan pandang. Namun Minangkabau adalah keunikan sebagai masyarakat Muslim
Matrilineal terbesar di dunia. Masyarakatnya pun dikenal dinamik, berwawasan
luas, dan bertauhid. Sehingga sering menjadi perbandingan masyarakat Jawa di
masa lalu yang cenderung feodal, involutif, dan sinkretik dalam beragama.
Kebudayaan
Bali dan Minang jauh lebih dahulu dibanding wilayah lain telah menempatkan
perempuan pada tempat yang sejajar dengan laki-laki. Perempuan dapat mengambil
peran yang sama. Tidak sebatas pada istilah saat ini, wanita karier yang minim
pemaknan. Perempuan telah diberikan kesempatan yang sama sekalipun itu
seharusnya menjadi kewajiban dan tanggungjawab laki-laki.
Sehingga
apabila berbicara emansipasi adalah persamaan maka konteksnya sekarang berubah.
Masikah relevan dengan perkembangan sosial masyarakat saat ini? Bagaimana
perempuan ini apakah persamaan yang terjadi saat ini juga berarti memuliakan.
Perempuan yang bekerja, berbisnis, bahakan menjadi seorang pemimpin. Ini
memuliakan atau sebenarnya pola pemikiran dan paham yang agaknya keliru. Hanya
saja yang terpenting adalah dalam hal gender
ini sebenarnya bagaimana hak perempuan terlindungi, perempuan dapat menjalankan kodratinya,
perempuan yang memegang peranan utama sebagai pengasuh (materna), dan
perempuan-perempuan yang mendapat perlindungan dari laki-laki dalam segala hal.
Persamaan saja ternyata tidak cukup, maka memuliakan adalah tujuan akhirnya.