Langsung ke konten utama

Katik Le Jamak

Secara tidak sengaja pernahkah mengungkapkan kata tetapi orang lain yang menjadi lawan bicara tidak begitu paham atau barangkali sebaliknya. Ada varian bahasa dari komunitas masyarakat tertentu atau dialek-dialek khas. Aksen-aksen yang terucap pun menjadi asing dan tak gampang ditirukan. Seperti katik le jamak yang maksudnya kok ya kebangetan. Kalaupun diurai dari kata per kata yang tersusun maka sulit mencari maksudnya. Lebih-lebih dalam bentuk frasanya dan yang sama sekali tidak paham Bahasa Jawa.
Dialek beragam yang akan banyak ditemui dalam masyarakat heterogen. Sebuah fenomena yang sering kita dapati di lingkungan perkotaan, dimana orang dari berbagai daerah yang beragam bertemu. Mungkin beberapa tidak menyadari mempraktikan bahasa daerahnya dalam keseharian di sela-sela obrolan menggunakan Bahasa Indonesia.
Jika memandang kritis dengan fakta ini maka kita bisa memasuki suatu pola perkembangan sosial kemasyarakatan. Pandangan tentang evolusi tatanan kehidupan dalam artian terjadi pemusatan. Kota yang menjadi pusat kemudian di datangi orang-orang dari berbagai daerah.
Dekonstruksi kiranya perlu dikuatkan untuk memahami komunitas yang disebut kota dan kaum pendatang. Orang-orang daerah yang banyak diasumsikan dengan orang desa. Akankah semua komunitas yang disebut desa ini nantinya akan menjadi kota atau ternyata komunitas kota hanyalah bagian dari desa. Ini bukan dalam rangka untuk memilih mana yang lebih baik tetapi sebagai sudut pandang baru agar hal seperti dialek tidak menjadi jurang pemisah. Kebangetan kalau sampai ada yang malu dengan dialek aslinya lantaran sudah menjadi orang yang lebih kota.
Kota dan desa menjadi sebuah ikatan tersendiri dengan perbedaan yang melekat. Banyak anggapan orang desa itu memalukan ketika mereka datang ke kota, terlalu mudah kagum dan kaget dengan hal-hal yang mungkin baru ditemui. Tetapi ada peristiwa perpaduan yang unik di Yogyakarta. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki empat kabupaten dan satu wilayah kotamadya. Uniknya hanya ada satu daerah yang kemudian selalu dicap dengan desa yaitu Gunungkidul. Padahal kalau menilik komposisi wilayahnya jelas masih banyak desa-desa lain yang tersebar di empat kabupatennya. Setiap mendengar Gunungkidul ataupun Wonosari kebanyakan akan berpendapat ndeso, nggunung, dan lain sebagainya.
Gunungkidul sudah terlanjur dianggap sebagai wilayah yang sedikit rendah termasuk ketika memandang orang-orangnya. Namun orang-orang Gunungkidul menganggapnya itu sebagai lelucon saja. Memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita jika menilai sesuatu itu secara rata tidak berusaha memilah-milah. Hal ini malah memicu warga Gunungkidul dengan terang-terangan menunjukkan jati dirinya sebagai Gunungkidul tak peduli terhadap komentar miring yang terkadang terlontar.
Gunugkidul itu malah daerah yang benar-benar nyaman dan damai. Orang-orangnya telah berhasil menemukan kebahagiaannya sendiri. Tidak pernah merasa rendah walaupun direndahkan. Bagaimana mau rendah wong selalu mengelak dengan beralasan kontur wilayahnya di pegunungan. Akhirnya ada istilah jogja lantai dua dan khayangan, sudah dari lahir percaya diri kalau lebih tinggi. Ada bagian keunikan dan kenylenehannya lagi yaitu ketika orang-orang Gunungkidul yang tinggal di Jogja kemudian berniat akan pulang. Mereka selalu mengatakan dengan istilah arep munggah disik artinya mau naik dulu. Sebaliknya jika akan ke Jogja banyak yang mengatakan arep mudhun atau mau turun. Jadi, tidak pernah merasa rendah karena pengistilahannya sudah naik dan turun. Aneh tapi nyata. Masih banyak contoh lain dialek khusus yang akan dipahami sebagai sesama warga Gunungkidul.
Sebenarnya warga gunungkidul juga tidak pernah mengakui Jogja. Jogja, Yogyakarta, apalagi Ngayogyakarta itu malah jadi istilah yang tidak lumrah. Orang Gunungkidul selalu menyebutnya Yoja. Cukup dengan yoja itu sudah menerangkan wilayah-wilayah di Yogyakarta alias semua dianggap neng yoja atau di Jogja. Ibukota Kabupaten saja juga tak sesuai dilidah masyarakatnya. Tidak banyak yang menyebut Wonosari, rata-rata akan mengatakan nosari. Hal yang paling unik di Gunungkidul hanya ada satu paprikan sepeda motor yaitu Honda. Entah motor apa yang dipakai dengan bentuk, model, dan paprikan berbeda akan disebut honda. Hondane sopo kae? yang maksudnya menanyakan motornya siapa itu? Berlaku umum honda artinya motor. Mungkin perlu riset mendalam dari mana awal muncul istilah ini. :))
Hal yang sulit ditemui di gunungkidul adalah bangunan pusat perbelanjaan alias mall. Tetapi itu tidak lantas membuat pendek akal. Di jogja dan sekitarnya terutama wilayah Sleman banyak berdiri pusat-pusat perbelanjaan. Sementara di Gunungkidul swalayan yang cukup besar itu sudah bisa dikatakan layaknya mall. Tersebutlah Amplaz yang sebenarnya singkatan dari Ambarukmo Plaza tetapi di Gunungkidul maksudnya Amigo Plaza. Seandainya anda tahu dua tempat berbeda ini pasti akan sedikit tertawa geli. Ketika berbelanja di Amigo ini pun akhirnya menjadi sesuatu yang wow...
Ini hanya sebuah gambaran kecil dialek khas dari orang-orang Gunungkidul yang terpinggirkan. Dinamika hubungan yang mengakibatkan ikatan teritorial senasib sedesa menguat sejalan dengan keinginan akan eksistensi. Ini bukan menunjukkan pihak-pihak yang berbeda saling bertentangan melainkan bentuk paradigma yang bisa tumbuh bersama. Realitas yang ada pada awalnya menunjukkan perbedaan, tetapi dengan paradigma yang diperluas melalui kesederhanaan logika dan dialek membuka jalan untuk saling memahami. Pada akhirnya akan tahu kota dan desa itu bukan perkara wilayah saja, lebih jauh adalah bagaimana pola pemikiran keduanya. Siapa yang lebih modern dan siapa yang sejatinya masih tradisional. Gunungkidul yo pancen ngono. Ngono yo ngono ning ojo ngono, katik le jamak timen...

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di