Sepakbola
sejatinya hanyalah sebuah permainan. Dimana sebuah tim beranggotakan sebelas
orang pemain akan menghadapi kesebelasan yang lainnya. Tetapi sepakbola menjadi permainan berfilosofi.
Menjadi bagian dari olahraga yang akhirnya membentuk identitas dan kebanggaan
bagi pelaku dan penikmatnya.
Kisruh
sepakbola nasional yang belakangan ini kembali memanas hingga berbuntut sanksi
dari induk organisasi internasional FIFA cukup menyita perhatian. Tidak
dipungkiri dampak sanksi tentu akan mempengaruhi segala kegiatan persepakbolaan
nasional dan segala atributnya. Banyak kerugian yang harus ditanggung khususnya
pelaku di industri sepakbola utamanya pemain. Memang kompetisi tetap bisa
berjalan namun ternyata intervensi pemerintah berlanjut dengan adanya larangan PT
Liga Indonesia untuk menyelenggarakan event. Pihak Kemenpora memerintahkan pada
setiap kepala daerah dan kepolisian untuk tidak melayani segala keperluan PSSI.
Walhasil tidak ada pilihan lain dari PSSI selain menghentikan liga. Selain itu
dari BOPI juga tidak merestui adanya
kompetisi seperti yang pernah diusulkan PT LI bertajuk QNB Cup.
Dampak-dampak
yang ditimbulkan sangat jelas. Klub-klub sepakbola dan timnas tentu tidak bisa
berlaga di kancah internasional. Belum lagi hilangnya pihak sponsor yang selama
ini mendukung jalannya sebuah liga. Akibatnya banyak klub memilih untuk
membubarkan diri. Adapun usulan format liga yang diusulkan pemerintah melalui
tim transisi juga tak kunjung terjadi. Menurut hemat saya seandainya ada liga
bentukan pemerintah itu maka tidak mungkin dengan mudah berjalan. Sepakbola mau
tidak mau secara resmi ada di bawah FIFA. FIFA hanya mengakui segala urusan
sepakbola Indonesia dipegang oleh induk organisasi yang sah yaitu PSSI. Maka
liga bentukan itu pun tak mungkin berjalan
mulus. Arah dan tujuannya hanya berkutat di wilayah lokal
tidak akan naik ke jangkauan internasional.
Dalam bentuk klub profesional tentu akan sulit memperoleh pendanaan.
Atau barangkali ada niatan untuk
timnas tergabung dalam NF-Board yaitu tim sepakbola yang
tidak diakui FIFA.
Banyak
argumen bermunculan dan saling tuding dengan menyalahkan masing-masing pihak. Sederhananya
sebuah sepakobola yaitu urusan tim A bertanding dengan tim B menjadi perkara
yang rumit. Sportifitas yang diagung-agungkan seolah sudah hilang akibat dari
bentuk kekacauan yang terjadi. Pertarungan sengit tidak hanya terjadi di
lapangan. Di luar lapangan sangat gaduh dengan tanpa memperhatikan dasar-dasar
aturan dan kesepakatan. Pihak yang berseteru bertarung tanpa memperhatikan
pengadil dan berpikir jernih serta sportif. Isu-isu skandal pengaturan skor,
suap, korupsi, dan segala pelanggaran-pelanggaran semakin memperkeruh suasana.
Hal
lain juga akhirnya muncul ke permukaan seperti sangkaan dan dugaan yang
dialamtkan pada oknum-oknum tertentu yag disengaja menunggangi karena
kepentingan segelintir orang.
Beberapa waktu lalu kita juga mendengar sepakbola dikomentari ngawur dikaitkan
dengan kedaulatan NKRI. Sesuatu yang tidak masuk akal, FIFA sebuah organisasi
yang berdiri untuk mengkoordinasi sepakbola dianggap aturannya yang mengikat
melemahkan negara anggotanya. Pendapat yang seolah hanya mencari alasan
pembenaran sendiri. Entahlah skema apa yang sedang terjadi. Akankah anggapan
kedaulatan yang terlontar bermaksud mengatakan hal-hal yang berkaitan hajat
hidup orang banyak keuntungannya harus untuk negara. Hal yang begitu sempit
tentunya kalau ternyata konflik ini hanya karena keuntungan materiil yang
menjadi rebutan.
Belum
lagi terjadinya skandal korupsi di tubuh FIFA yang muncul hampir bersamaan . Pihak penegak hukum AS
dan otoritas Swiss membekuk tujuh pejabat FIFA. Tentu bagi penikmat konspirasi
ini pasti dicari-cari benang merahnya. Beberapa dugaan itu sah saja asalkan
memiliki bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun kita sebagai warga
Indonesia tentu merasa kecewa dengan kedaan yang terjadi. Inilah ujian untuk
persepakbolaan tanah air yang sebenarnya sedang bergerak perlahan, terbukti
dari gencarnya pembinaan usia muda lokal maupun kerjasama internasional.
Istilah
PSSI Perjuangan bukan dalam rangka penuangan
ide sebuah organisasi tandingan dengan corak tertentu.
Perjuangan bukan pula faksi yang berseberangan. PSSI Perjuangan menunjukkan
harapan kepada organisasi yang perlu diperjuangkan bersama-sama. Seharusnya
PSSI, BOPI, dan Kemenpora tidak perlu berselisih pendapat tetapi harus
menyadari peran dan fungsi masing-masing. Perimbangan kekuasaan dipertegas.
Kalau BOPI adalah pengawas kepada seluruh olahraga profesional di Indonesia,
cukup jalankan wewenangnya sesuai aturan. Kemudian Kemenpora jangan seolah-olah
menjadi dewa seluruh olahraga nasional
yang kewenangannya tak tertandingi. Kemenpora adalah
bagian dari pemerintah yang perlu mengayomi, mendukung, dan memfasilitasi
segala keiatan olahraga. Organisasi PSSI pun mestinya sejalan untuk berkomitmen menyuguhkan
sistem sesuai mandat FIFA dan harapan masyarakat pecinta sepakbola Indonesia. Perjuangan ini didasari bentuk partisipasi seluruh lini
menyokong PSSI menuju pengelolaan
sepakbola bersih dan transparan.