Langsung ke konten utama

MENCARI MAKNA TEKS PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

A.    Pendahulauan
Seringkali Indonesia dipahami sebagai negara bangsa yang baru saja lahir di tahun 1945. Padahal jika melihat lebih luas dan lebih menelaah ke belakang sejatinya Indonesia yang lahir 1945 adalah sebuah konsep kenegaraan, sementara negara bangsa ini sudah ada jauh sebelumnya.
Pada Hari Jumat Tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta terjadi peristiwa proklamasi sebagai tonggak baru perjalanan negara bangsa. Proklamasi kemerdekaan menjadi cita-cita segenap bangsa untuk mewujudkan negara berdaulat yang lepas dari belenggu kolonialisme dan imperialisme. Gegap gempita dan gaung semangat proklamasi itu seolah tak pernah padam hingga NKRI menginjak usia yang ke-70 tahun saat ini. Namun kiranya prokalamasi perlu digali kembali maknanya dari sudut pandang yang berbeda agar kedepan teks yang dibacakan oleh Proklamator Ir. Sukarno dan didampingi Moh. Hatta ini tidak sekedar bacaan rutinitas tahunan belaka. Harus ada keberanian untuk menegaskan bahwa sejatinya terdapat pesan-pesan dan cerita dibalik lahirnya teks proklamasi tersebut.
Adanya anggapan ketidakmurnian teks proklamasi bahwa dinilai sebagai sebuah naskah yangdisusun dibawah pengaruh otoritas Jepang juga perlu ditafsirkan kembali. Sehingga dalam makalah sederhana ini penulis berusaha mengungkap hal-hal dibalik peristiwa perumusan teks proklamasi. Selian itu berusaha meninjau teks proklamasi dari perspektif nilai nasionalisme yang dapat diwariskan kepada generasi saat ini.
B.     Seputar Peristiwa Perumusan Teks Proklamasi
Penyusunan teks proklamasi dapat dikatakan dengan proses yang singkat melihat dari beberapa sumber sejarah yang mengkisahkannya. Catatan Lambert Giebels dalam Biografi Sukarno menyatakan bahwa pernyataan kemerdekaan yang resmi adalah sebuah teks yang ditik secara tergesa-gesa malam hari oleh Sayuti Melik. Hal ini menggambarkan adanya kegembiraan sekaligus kebingungan dan ketegangan waktu itu. Rentetan peristiwa-peristiwa proklamasi berlangsung begitu cepat dan betul-betul menggambarkan anugerah Tuhan untuk negara bangsa ini.
Dari Biografi Sukarno catatan Lambert Giebels diceritakan peristiwa perumusan teks proklamasi sebagai berikut. Teks proklamasi mulai dibicarakan untuk dirumuskan yaitu Jumat Legi 17 Agustus 1945 sekitar pukul 02.00 dini hari. Terjadi diskusi dan tukar konsep antara golongan pemuda, golongan tua, dan beberapa orang Jepang. Awal mulanya mendiskusikan usulan teks karangan Sjahrir. Golongan tua berpendapat bahwa teks Sjahrir terlalu anti-jepang dan bagi pemuda kurang anti belanda. Golongan muda seperti Adam Malik dan Chaerul Saleh pun merumuskan tetapi mendapat tentangan orang-orang Jepang. Akhirnya Sukarno, Hatta, Soebardjo, Sajoeti Melik, dan Sukarni meninggalkan ruang dan pergi ke ruang kerja Laksamana Maeda.
Banyak yang mengkisahkan bahwa teks proklamasi adalah ucapan Hatta yang ditulis oleh Sukarno. Hal itu memang bisa dikatakan benar jika menilik pada kalimat pembuka teks proklamasi yang berbunyi Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Kalimat tersebut merupakan rumusan Hatta yang bersumber dari Piagam Jakarta. Ketika merumuskan kalimat kedua timbul diskusi untuk pemilihan diksi. Teks versi pertama menggunakan kalimat kekuasaan yang ada akan direbut dari tangan penjajah. Nishijima dan Miyosi turun tangan dengan menyatakan kalimat tersebut terlalu menantang Jepang. Tetapi Hatta mengubahnya dengan hati-hati menjadi kalimat yang biasa. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Kemudian Sukarno kembali ke ruang utama. Menurut penuturan Hatta teks itu dibacakan sukarno dan mendapat tepuk tangan riuh tetapi Dr Radjiman mempertanyakan apakah itu akan diterima otoritas Jepang kemudian golongan pemuda menilai pernyataan proklamasi itu karangan gersang, kurang keras.
Sumber sejarah yang lain menerangkan mengenai konsep asli dan gubahan teks proklamasi (Sudiyo, 2002: 106-107) yaitu sebagai berikut.
Konsep yang ditulis tangan
Naskah teks yang diketik
·         Tempoh (memakai h)
·         Wakil-wakil bangsa Indonesia
(belum ada tanda tangan)
·         Tempo (tidak pakai h)
·         Atas nama bangsa Indonesia

Kemudian ada bagian kata-kata yang dicoret, antara lain:
·         Penyerahan menjadi pemindahan
·         Diusahakan menjadi diselenggarakan
Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan itu murni hasil pemikiran dan pertimbangan Ir. Sukarno melihat pada suasana yang sedang berlangsung saat itu. Kedua sumber diatas juga cukup menerangkan bahwa teks proklamasi yang sering kita lihat gambarnya ataupun perdengarkan melalui rekaman adalah sebuah pernyataan bangsa yang murni hadir dari wakil-wakil bangsa yang hadir saat itu.
C.    Proklamasi dan Cita-cita Kebangsaan
Ada berbagai dimensi yang mampu mendorong pernyataan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945. Perasaan yang sama melihat masalah-masalah ekonomi, sosial, kebudayaan, dan politik sehingga tumbuh semangat nasionalisme. Tumbuh kesadaran-kesadaran baru yang bersifat nasional sehingga puncaknya adalah diterimanya proklamasi sebagai kemerdekaan Indonesia. Bayangkan apabila belum ada sikap nasionalisme tersebut apakah pernyataan proklamasi itu akan diterima seluruh rakyat yang dinyatakan sebagai Indonesia?
Maka nasionalisme sebenarnya adalah modal, sementara proklamasi merupakan pernyataan sikap yang menimbulkan reaksi terhadap sikap bangsa Indonesia. Menurut Kennetth Minogue (Hamid dan Madjid, 2011: 38) nasionalisme merupakan keyakinan bahwa setiap bangsa mempunyai hak dan kewajiban untuk membentuk dirinya sebagai negara.
Hal lain yang sering menjadi perdebatan adalah mengenai proklamasi sebagai hasil perjuangan atau hanya buah kolaborator mencapai cita-cita kemerdekaan. Penulis ingin mengungkapkan salah satu petikan wawancara Cindy Adams yang kemudian dirumuskan menjadi Biografi Sukarno Penyambung Lidah Rakyat.
Kami berjabat tangan dengan kesungguhan hati, "inilah", kataku berjanji, "janji kita sebagai Dwitunggal.Inilah sumpah kita yang jantan untuk bekerja berdampingan dan tidak akan berpecah hingga negeri inimencapai kemerdekaan sepenuhnya." “Bersamasama dengan Sjahrir, satusatunja orang yang turut hadir, rencanarencana gerakan untuk masa yang akan datang kami susun dengan cepat. Telah disetudjui, bahwa kami akan bekerja dengan dua cara. Di atas tanah secara terangterangan dan di bawah tanah secara rahasia. Yang satu memenuhi tugas yang tidak dapat dilakukan oleh cara yang lain. "Untuk memperoleh konsesikonsesi politik yang berkenaan dengan pendidikan militer dan jabatanjabatan pemerintahan bagi orangorang kita, kita harus memperlihatkan diri dengan cara kolaborasi", kataku.
Petikan pernyataan Sukarno tersebut memang akan menimbulkan penafsiran yang beragam tetapi setidaknya kolaborasi yang dimaksud memang terjadi dalam beberapa hal konsensus politik guna mempersiapkan kemerdekaan. Ini merupakan gambaran jalan panjang menuju proklamasi ketika sedikit demi sedikit telah menemukan gerbangnya ketika tokoh-tokoh seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan gerakan bawah tanah mulai memiliki kesadaran mewujudkan cita-cita tersebut. Proklamasi sebagai pemikiran asli yang formatnya belum terpikirkan namun semangatnya telah hadir dari bangsa Indonesia.
Dalam perumusan teks pun menurut Moehkardi (2008: 45) ada peristiwa Bung Hatta menawarkan kepada hadirin agar semua ikut menandatangani naskah proklamasi. Tetapi saran tersebut ditolak Sukarni, karena menurutnya, di antara tokoh yang hadir ada yang oportunis dan kolaborator. Inilah yang kemudian menghasilkan kesepakatan bahwa naskah proklamasi diatasnamakan bangsa Indonesia dengan tanda tangan Sukarno-Hatta.
Hal lain yang menarik untuk disoroti yaitu dalam mengambil nilai dari peristiwa proklamasi. Jika kita kembali menelaah dari teks yang disuarakan maka menarik untuk membahas kalimat kedua proklamasi. Hal-hal mengenai penyerahan kemudian dilihkan menjadi pemindahan menurut hemat penulis adalah kecerdasan berbahasa seorang Hatta. Penyerahan berarti seolah-olah hanya hadiah cuma-cuma namun dengan pemindahan berarti ada peralihan yang fundamental dan terjadi pada detik ketika kata itu disampaikan. Walaupun fokus rakyat Indonesia adalah pada pernyataan merdeka namun pesan tersembunyi dari kalimat kedua ini begitu mendalam. Selanjutnya diusahakan diubah menjadi diselenggarakan dapat dimaknai sebagai semangat baru segenap bangsa untuk menyelenggarakan sistem Indonesia yang baru saja merdeka tersebut.
Dapat dipahami bahwa proklamasi dengan pesan rahasinya itu ingin menerangkan kepada bangsa bahwa merdeka berarti lepas dari ketergantungan dan belenggu. Proses menuju kemandirian negara yang harus terus diisi. Dalam pepatah jawa dikatakan “Jer Basuki Mawa Bea” yang artinya apabila ingin mencapai tujuan harus rela berkorban. Maka proklamasi seharusnya dimaknai sebagai garis mulai untuk mengerahkan jiwa dan raga mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Seperti pidato singkat yang diungkapkan Sukarno bahwa perjuangan bangsa Indonesia sudah berjalan beratus-ratus tahun tanpa henti. Kini tiba saatnya bangsa Indonesia mengambil nasib dan tanah airnya dalam tangan sendiri (Wiharyanto: 2011:21).
Dimensi politik dari nilai nasionalisme proklamasi juga sangat jelas. Bangsa Indonesia sebenarnya pernah mengalami hal serupa ketika masa Kerajaan Nusantara yaitu era Kekuasaan Majapahit. Pengangkatan Gajah Mada sebagai Patih Amangkubumi diikuti dengan sumpah Palapanya.
Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa".

Gajahmada bersumpah: Jika telah berhasil menundukkan Nusantara, saya baru akan beristirahat. Jika Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan beristirahat. (Slamet Muljana, 2009:143). Sumpah Gajah Mada ini pada awalnya mendapat ejekan dan cibiran tetapi dikisahkan untuk mewujudkan cita-cita politiknya ia menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham. Lalu bagaimana dengan proklamasi? Proklamasi sendiri bisa diterima namun setelah proklamasi banyak terjadi keguncangan ketika berbicara sistem. Maka peran founding father saat itu yaitu menyelaraskan peta perpolitikan kedepan dengan disahkannya dasar negara. Tetapi hal itu tidak lantas pekerjaan selesai karena konsep kenegaraan yang kita pilih yaitu demokrasi ternyata banyak mendapat berbagi ujian hingga saat ini.
Ahmad Syafii Maarif (2015: 318) mengungkapkan kelalaian kita sejak Proklamasi adalah sikap yang tidak serius dalam upaya memelihara dan menjaga sesuatu yang tidak given ini, karena menyangka semuanya sudah beres, semuanya sudah tertata. Maka memaknai kembali proklamasi ini dimaksudakn sebagai upaya penyadaran dari berbagai segi keindonesiaan yang sejatinya masih harus terus menerus diselenggarakan.
Adanya adopsi dari Kakawin Sutasoma pupuh 89,5 yang berbunyi Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwaini menjadi semboyan juga mencerminkan bahwa proklamasi adalah simbol persatuan baru sebagai Indonesia dengan berbagai latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda. Indonesia menjadi tekad bersama tetapi tidak berupaya menghilangkan keaslian jati diri dari bangsa yang telah ada sebelumnya.
D.    Kesimpulan
Teks proklamasi 1945 tidak sesederhana dua kalimat yang menopangnya. Menggali makna teks proklamasi dimaksudkan untuk memperoleh pesan-pesan dalam penyelenggaraan Indonesia bahwasanya masih banyak hal yang harus terus dikerjakan. Teks proklamasi bukan sekedar bukti sejarah yang disakralkan tetapi kesaktian kata-katanya menjadi penyokong semangat nasionalisme sebagai Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Abd Rahman Hamid dan Muahammad Saleh Majid. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Ahmad Syafii Maarif. 2015. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan :Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan
Adams, Cindy. 2011. Soekarno: PenyambungLidah Rakyat. Jakarta: Yayasan Bung Karno
Giebels, Lambert. 2011. Soekarno (Biografi 1901-1950) Alih bahasa I Kapitan Oen BA. Jakarta: Grasindo.
Kardiyat Wiharyanto. 2011.Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Moehkardi. 2008. Bunga Rampai Sejarah Indonesia: Dari Borobudur Hingga Revolusi 1945. Yogyakarta: Gama Media.
Slamet Muljana. 2006. Tafsir Sejarah Negarakertagama. Yogyakarta: LKIS



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di