Langsung ke konten utama

Ilmu Pengetahuan Sosial

A.    Pendahuluan
Istilah sosial sering kita jumpai dalam berbagai literasi. Sosial dalam artian umum yang dipahami banyak orang maupun sosial sebagai disiplin keilmuan yang sudah menjadi sebuah konsensus. Apabila kata sosial ini dimaknai maka akan mengarah kepada objek yang berusaha digambarkan oleh kata sosial tersebut. Sosial (Social) berasal dari kata Socious dalam bahasa Yunani yang memiliki makna kawan. Arisoteles pernah mengungkapkan manusia sebagai zoon politicon yang maknanya manusia tidak hanya bertindak sebagai individu tetapi membutuhkan adanya orang lain. Membutuhkan kawan atau membutuhkan ruang untuk bersosial.
Hubungan berkawan ini tidaklah sederhana karena pola hubungan antar individu ini memunculkan peristiwa dan fenomena. Kejadian-kejadian beragam berkembang seiring dengan perilaku individu, jangkauan hubungan, dan ciri khas yang menyertainya. Semakin luas wilayah sosialnya maka berlaku semakin beragam hal-hal baru yang ditemui. Penemuan-penemuan ini yang akhirnya menjadi disiplin baru dalam wilayah kajian sosial.
Ilmu Pengethuan Sosial yang akan diuraikan dalam makalah sederhana ini berusaha menggali kedalaman maknanya. IPS dikaji secara ontologis untuk menemukan hakikat dan ruang lingkupnya. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud materi ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur (monoisme), dua unsur (dualisme), ataukah terdiri dari unsur yang banyak (pluralisme) (Jalaludin dan Abdullah, 2012: 77).
B.     Kajian Ontologi
Kata ontologi berasal dari Yunani, yaitu onto yang artinya ada dan logos yang artinya ilmu. Oleh Daliman (2012: 10) secara sederhana dikatakan ontologi adalah teori tentang “ada”. Ada memang menjadi sebuah kata yang menunjukkan hakikat eksistensinya, dasar kejadiannya kemudian dianggap menjadi hal yang jelas kehadirannya.
Purwadi (2007: 14) mengemukakan ontologi secara lebih mendalam bahwa,
ontologi adalah cabang filsafat yang mempermasalahkan masalah ada, dan persoalan seperti apakah artinya ada, apakah golongan-golongan dari yang ada? Apakah sifat dasar kenyataan, dan hal ada yang terakhir? Apakah cara-cara yang berbeda dalam mana entitas dari katagori logis dapat dikatakan ada?
Sehingga untuk memahami IPS melalui kajian ontologis kita akan dihadapkan pada kenyataan bahwa sosial adalah wilayah kajian yang luas dan selalu berkembang. Berarti ilmu pengetahuan yang terus menerus berubah sesuai kondisi dimana saat sosial itu dipikirkan, dibicarakan, dan dikerjakan.
Berkaitan dengan ilmu pengetahuan Jalaludin (2014:165) menyatakan bahwa pada saat ilmu pengetahuan berkembang, pada tahap ontologis ini manusia berpendapat bahwa terdapat hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai gejala-gejala empiris. Pendapat ini tentu menjadi sebuah jalan bagi ilmu pengetahuan untuk dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris dengan kaidah-kaidah kesepakatan yang berlaku. Padahal mengingat wilayah jangkauan ilmu sosial yang sangat dinamis memungkinkan untuk memperoleh kebenaran tentang sosial itu tidak bisa dengan pemahaman sempit melainkan harus menyeluruh dan terintegrasi. Maka prinsip inilah yang sejatinya harus dipelihara dan dimiliki IPS.
C.    Sejarah Singkat IPS
Istilah Studi Sosial sebagai sebutan konseptual bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial, merupakan terjemahan dari istilah asing Social Studies, Sozialwissensheflen, Social Sciences, dan Social Education yang telah lama berkembang di Barat untuk diterapkan pada kurikulum sekolah. Di Indonesia, diperkenalkan istilah ini pertama kali pada tahun 1971 pada Seminar Nasional Civic Education di Tawangmangu Solo, didasari pada survey pembalajaran ilmu sosial tahun 1969, kemudian disusul dengan munculnya naskah Tantangan dalam Pengajaran Ilmu Sosial ditulis oleh Hansom dan Numan Sumantri (Suwarna, 2007: 272).
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah Social Studies. Istilah tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu Committee of Social Studies yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial yang mempunyai minat sama. Hakikat IPS adalah telaah tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama dengan sesamanya.
D.    Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial
Mengingat IPS sebagai bagain dari kajian sosial yang menduduki pemahaman baru maka perlu ditelaah relita yang ada didalamnya. Beberapa ahli mendefinisikan tentang Ilmu Pengetahuan Sosial, yaitu:
1.      Moh. Hatta memberikan pengertian bahwa IPS sama dengan ilmu pengetahuan yang lain merupakan satu ragam dimana memiliki peran tiga wajah ilmu sosial: (1) critical disourses, membahas apa adanya yang keabsahannya tergantung pada kesetiaan pada prasyarat sistem rasionalitas yang kritis pada konvensi akademis yang berlaku, (2) academic enterprise yaitu sebagaimana mestinya, dan (3) applied science, diperlukan untuk mendapatkan atau mencapai hal-hal yang praktis dan berguna untuk mewujudkan cita-cita.
2.      Ralf Dahrendorf mengemukakan IPS sebagai konsep ambisius untuk mendefinisikan seperangkat disiplin akademik yang memberikan perhatian pada aspek-aspek kemasyarakatan manusia.
3.      Trianto menyatakan bahwa IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya.
4.      National Council for Socis Studies (1994), social studies id integrated study fo the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coodinated, systematic study drawing upon such dicipline as anthropology, archeology, economics, geography, history, law, philosophy, religion, and sociology as well as appropiate content from humanities, mathematics and natural sciences.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan hakikat IPS sebagai bangunan konsep yang mengintegrasi berbagai cabang disiplin ilmu-ilmu sosial dan hanya untuk kepentingan pendidikan. Maka jika IPS dianalogikan sebuah bangunan rumah maka komponen bangunan itu tersusun dari ilmu-ilmu seperti geografi, sejarah, ekonomi, politik, antopologi dan budaya, sosiologi, politik, dan hukum. Jika menggunakan terminologi universitas IPS menjadi pintu keluar yang sama. Masuk di universitas itu bukan untuk masuk kemudian dimasukkan lagi pada pintu-pintu yang berbeda sesuai bidang yang dipilihnya melainkan masuk dari pintu masing-masing bidangnya untu keluar dari pintu yang sama atau pintu universalitas. Terintegrasi dengan spesialisasinya masing-masing.
E.     Objek Penelaahan IPS
Dilihat dari sisi keberlakuannya, IPS disebut sebagai studi baru karena cara pandangnya bersifat terpadu. Hal tersebut mengandung arti bahwa IPS bagi pendidikan dasar dan menengah merupakan hasil perpaduan dari mata pelajaran geografi, ekonomi, ilmu politik, ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, dan sosiologi. Jujun S. Suriasumantri (2005: 93) mengungkapkan pemahaman mengenai konsep perpaduan ilmu yaitu pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences.
Objek penelaahan Ilmu Sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134) di bawah ini:
1.      Objek Penelaahan yang Kompleks
Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Gejala sosial juga mempelajari karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut.
2.      Kesukaran dalam Pengamatan
Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Serorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut.
3.      Objek Penelaahan yang Tak Terulang
Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri.
4.      Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial
Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya.

F.     Tujuan IPS
Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial beberapa ahli sering menggunakan sudut pandang dan penekanan dari segi program pendidikan. Beberapa rumusan tujuan IPS menekankan pada mendidik pribadi menjadi warga negara yang baik. Pendapat Gross secara tegas mengatakan to prepare students to be well functioning citizens in democratic society. National Council for Socis Studies juga mengungkapkan hal yang sama yaitu the primary purpose of social studies is to help young people develop teh ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world. Dapat kita pahami IPS berperanan mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk menjadi warga negara yang baik.
Tujuan IPS (Social Studies) menjadi jelas bahwa memiliki manfaat untuk memperkaya dan mengembangkan kehidupan individu dengan mengembangkan kemampuan dalam lingkungannya dan melatih untuk menempatkan dirinya dalam masyarakat, serta menjadikan negaranya tempat hidup yang lebih baik.
G.    Simpulan
Memandang IPS dengan kajian ontologis berarti menemukan hakekat IPS sebagai upaya untuk menyelidiki alam nyata ini dari sisi manusia sebagai makhluk berkawan sekaligus memberikan pemahaman yang begitu syarat nilai dari segi realitas dan fakta empiris.





DAFTAR PUSTAKA

Daliman, A. (2012). Pengantar Filsafat Sejarah. Yogyakarta: Ombak.
Jalaludin dan Abdullah. (2012). Filsafat Pendidikan: Manusia Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Grafindo Persada
Jujun S. Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Paham Ginting dan Syafrizal Helmi Situmorang. (2008). Filsafat Ilmu dan Metode Riset. Medan: USSU Press
Purwadi. (2007). Filsafat Jawa dan Kearifan Lokal. Yogyakarta: Panji Pustaka
Sunal, C. S. (2011). Social Studies for the Elementary and Middle Grades; A Construcivist Approach 4th ed. New York: Pearson.

Trianto. (2011). Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta: Bumi Aksara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb