Langsung ke konten utama

KONSEP POLITIK DAN ILMU POLITIK

A.    Pendahuluan
Seorang filusuf berkebangsaan Perancis, Jean Jacques Rousseau pernah menyatakan manusia terkuat tidak pernah cukup kuat untuk selalu menjadi majikan kecuali ia mengubah kekuatan menjadi hak dan kepatuhan menjadi tugas (Losco dan Williams, 2005: 241). Sepenggal kalimat yang disampaikan Rousseau ini menjadi gambaran adanya pola hubungan manusia dalam membuat dan menyelaraskan tatanan kehidupan. Ditegaskan bahwasanya kekuatan manusia bukan sekedar kekuatan fisik kemudian mampu mengalahkan untuk menguasai yang lain. Ia membubuhkan pentingnya peran untuk mengalokasikan potensi-potensi yang dimiliki individu.
Pola-pola kemasyarakatan yang terjadi menunjukkan sistem hubungan dalam penyederhanaan tugas. Kekuatan menjadi hak dan kepatuhan menjadi tugas, penggalan kalimat ini begitu ringan namun mendalam. Kalimat yang akhirnya maknanya bertransformasi yaitu kekuatan yang diletakkan pada posisi tertentu dan kepatuhan yang ditujukan kepada kesetaraan. Kalau memandang secara sederhana dalam hukum rimba pastilah yang terkuat menjadi pemenang dan yang lemah hanya akan ada kepatuhan meskipun pahit. Tetapi seiring perkembangan pemikiran manusia disadari perlunya ikatan dan dasar aturan yang mampu menggerakan manusia sebagai organisme yang mampu mengorganisasi organisme-organisme lainnya.
Kajian sistem hubungan manusia ini berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu. Berangkat dari pemahaman mengatur untuk mendapatkan keselarasan peranan menjadi sistem baku sebuah komunitas masyarakat. Kelompok-kelompok yang akhirnya memiliki mekanisme dalam mengatur anggotanya. Mengorganisasi adalah salah satu kata kunci di dalam pola komunal yang beragam ini. Tidak dipungkiri setiap kelompok pastilah memiliki kecenderungan untuk berbeda dengan kelompok yang lain. Setiap kelompok juga akhirnya memikirkan cara terbaik untuk anggotanya. Inilah gambaran seni mengatur yang muncul dari dinamika kehidupan.
Kematangan pola dan sistem ini menggelitik untuk dicari sebuah istilah khususnya. Istilah yang mampu mengakomodir segala bentuk sistem yang pernah coba diusahakan manusia sebagai makhluk sosial. Tersebutlah istilah politik hingga kata tersebut menjadi termahsyur untuk menyatakan disiplin ilmu. Dalam makalah ini penulis berusaha untuk menelaah secara singkat konsep politik dan politik sampai dipandang sebagai ilmu. Banyak kajian-kajian politik tetapi untuk mempermudah alur pemahaman penulis membatasinya pada masalah-masalah ruang membangun konsep dan ilmu politik.
B.     Deskripsi Ilmu Politik
Politik merupakan istilah yang sudah berkembang lama. Pemahaman orang Yunani Kuno tentang pengertian politik sebagai suatu istilah yang berasal dari bahasa mereka sendiri itu diartikannya sebagai polis atau sebagai negara kota dan dalam konteks ini Aristoteles (384-322 SM) yang untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah politik dengan melalui pengamatannya tentang manusia yang pada dasarnya adalah “binatang politik” (Sitepu, 2012: 3).
Terlepas dari istilah yang digunakan Aristoteles menyebut manusia sebagai binatang politik, polis menunjukkan gambaran sebuah wilayah. Negara kota berarti apabila dilihat dari asal katanya berupaya menjelaskan sistem yang terbangun hingga membentuk negara kota tersebut. Sementara orang-orang atau manusia di dalamnya menunjukkan naluri tetapi dengan pengetahuannya mampu berkreasi dan berproses untuk mengusahakan segala kepentingan suatu kelompok masyarakat dan terus mengamati apa yang terjadi.
Gambaran politik sebagai polis mungkin masih terlalu abstrak maka beberapa ahli juga merumuskan pengertian politik. Berikut ini beberapa ahli yang menerangkan tentang politik yang dikutip oleh Dadang Supardan (2008: 493).
1.      J. Barents mengemukakan ilmu politik adalah ilmu tentang kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugasnya.
2.      Leswel mengemukakan, ilmu politik sebagai disiplin empiris pengkajian tentang pembentukan dan pembagian kekuasaan, serta tindakan politik seperti yang ditampilkan seseorang dalam perspektif kekuasaan.
3.      Deutsch mengatakan politics is the making of decision by publics means.
Kiranya dari beberapa pendapat diatas dapat ditarik makna bahwa politik baik dipandang sebagai istilah maupun bidang garapan keilmuan memiliki maksud yang sama. Politik dapat diartikan sebagai ilmu tentang kehidupan bermasyarakat dalam rangka membuat keputusan-keputusan publik, mengkaji pembentukan sistem, dan menetukan sebuah tindakan untuk mewujudkan dan memandu negara melakukan tugas-tugasnya.
C.    Ruang Lingkup Ilmu Politik
Anthonius Sitepu (2012: 5-8) membagi ruang lingkup politik sebagai berikut.
1.      Politik sebagai pemerintahan, sesuatu yang memiliki lokus (tempat) atau memiliki posisi tertentu dalam struktur, institusi-institusi politik utama yang terletak di ibukota dari sebuah negara.
2.      Politik sebagai kehidupan publik, yang diartikan dengan kehidupan publik, sesuai dengan pandangan Aristoteles (384-322 SM) dalam bukunya yang berjudul the politics yang menyatakan bahwa kehidupan publik yang terdapat dalam polis (Negara Kota dalam Masa Yunani Klasik) adalah syarat mutlak agar manusia bisa melaksanakan sifat sosialnya yang lebih tinggi.
3.      Politik sebagai alokasi nilai-nilai pihak yang berwenang, pandangan Harolf D Laswell dalam bukunya yang berjudul Politics Who Gets What, When, and How. Politik merupakan diversity dan conflict perjuangan manusia untuk mempertahankan hidup dan berjuang untuk memperoleh kekuasaan dalam suasana sumber-sumber yang terbatas.

Kemudian menurut O’Leary (Supardan: 2011: 494) menerangkan ruang lingkup ilmu politik meliputi pemikiran politik, teori politik, lembaga-lembaga politik, sejarah politik, politik perbandingan, ekonomi politik, administrasi publik, teori-teori kenegaraan, dan hubungan internasional.
D.    Hak Dan Kewajiban Warga Negara
Berbicara masalah politik dalam artian luas pasti tidak terlepas dari urusan negara. Tetapi tujuannya tidak lain hanya ingin berusaha mewujudkan kecerdasan berpolitik. Hal-hal yang kiranya menjadi syarat kecerdasan itu sangat berkaitan dengan hak dan kewajiban warga negara.
Semua orang dalam negara memiliki hak yang sama dalam berpolitik sekaligus berkewajiban untuk menjaga kesetabilan politik yang ada. Maka untuk mewujudkan hal itu perlu adanya usaha dan partisipasi masyarakat. Arbi Sanit (1997) seorang Guru Besar Ilmu Politik dalam bukunya yang berjudul Partai, Pemilu, dan Demokrasi menulis sebuah pengantar sebagai berikut.

Kebutuhan partisipasi aktif dan efektif masyarakat luas akan lembaga politik, pertama kalinya berkenaan dengan kemandirian lembaga seperti kelompok kepentingan, Ormas, Orpol, dan lembaga perwakilan rakyat. Kemandirian berarti bahwa pimpinan, pengurus, anggota, dan pendukung serta organisasi dari lembaga-lembaga itu mempunyai kadar otonomi yang memadai terhadap sesamanya dan terhadap penguasa, pemerintah, dan negara.

Penggalan tulisan Prof. Arbi Sanit tersebut mengambarkan partisipasi masyarakat secara aktif dan efektif itu berarti semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjalin hubungan baik dengan sesama, pemerintah, dan negara. Untuk itu indikator partisipati aktif dan efektif yang utama adalah adanya wujud memiliki bersama kemudian mau untuk bahu-membahu demi kepentingan orang banyak.
Ada satu hal lagi yang tentu harus diperhatikan  yaitu kewajiban warga negara kaitannya dalam kajian politik. Solus Populi adalah hukum dan kewajiban tertinggi  pengaturan politik, dimana harus dipahami, bukan sekedar penjagaan kelangsungan hidup mereka, namun umumnya manfaat dan kebaikan mereka (Losco dan Williams. 2005: 123). Solus Populi menjadi semacam dasar dalam berpolitik yaitu kewajiban untuk mengutamakan kepentingan bersama utamanya dalam hal-hal pengambilan keputusan.
E.     Tujuan Dan Manfaat Mempelajari Ilmu Politik
Politik dengan segala macam keruwetannya terkadang menjadi tidak menarik lagi untuk dinikmati. Lalu apakah melihat hal-hal yang terjadi mengambil sikap apatis itu saja cukup. Tenyata sikapa apatis juga merupakan bentuk sikap kita untuk berpolitik. Apatis menunjukkan ketidaktertarikan karena ada sesuatu yang ia rasakan tidak ideal. Padahal ideal atau tidak menurut hemat penulis hanya berkaitan dengan masalah sudut pandang. Dalam bahasa yang lebih familier sering dikatakan sebagai interpretasi. Bedanya dalam intepretasi politik tidak terus bersifat poitik bahkan ia bisa mengambil jarak dari ranah politik tersebut.
Gibbons (2002: 236) mengemukakan interpretasi politik lebih sebagai salah satu cara khusus di antara sekian banyak cara untuk memahami politik. Pendapat ini cukup menggabarkan bahwa interprestasi kita terhadap peristiwa politik tidak bisa dengan langsung percaya membabi buta tetapi harus mengerti pemahaman situasionalnya. Kita harus memahami poitik sebagai proses dengan berbagai kontrak-kontrak dan konsekuensi yang meliputinya.
Jika kita melihat yang terjadi di Indonesia maka secara sederhana sistem kita adalah konstitusional tetapi belakangan ada politisi yang terang-terangan menyatakan Indonesia sudah liberal dalam politiknya. Ada pendapat dari Hobbes (Losco dan Williams. 2005: 115) yang berpaham konstitusional tetapi pernah memberi peringatan kepada hadirnya liberal, peringatan tersebut tujuannya adalah mempertahankan sebuah penilaian konvensional tentang negara agar tidak runtuh ke dalam absolutisme ataupun memburuk secara tidak diinginkan, menjadikan anggotanya menjadi tidak terlindungi di setiap kasus.
Dengan pemahaman politik kita saat ini maka untuk menelaah sistem apa yang berkembang di negara kita sendiri tidaklah rumit. Melihat pada peringatan Hobbes liberal berkembang berarti ada anggota sebuah negara yang menjadi tidak terlindungi lagi. Hal inikah yang sedang terjadi di negara kita, kita patut merenungkannya kembali.
F.     Kesimpulan
Politik bukanlah ilmu yang sulit karena politik hanya berusaha mempelajari pola dan ikut berpartisipasi dalam aktivitas negara. Sebagai warga negara harus mampu mewujudkan tindakan politik yang ideal sesuai hak dan kewajiban sehingga tercapai ketentraman bersama.

DAFTAR PUSTAKA
Anthonius Sitepu. 2012. Teori-teori politik. Yogyakarta: Graha Ilmu
Arbi Sanit. 1997. Partai Pemilu dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Dadang Supardan. 2011. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: Bumi Aksara
Losco, Joseph dan Williams, Leonard Political. 2005. Theory: Kajian Klasik Dan Kontemporer Penerjemah Haris Munandar. Jakarta: Grafindo Persada.

Michael T. Gibbons ed. 2002. Tafsir politik: Interpretasi Hermeneutis Wacana Sosial Politik Kontemporer (terjemahan Ali Noer Zaman). Yogyakarta: Qalam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb