Langsung ke konten utama

TEKNOLOGI MENGHILANGKAN KE-KHASAN BUDAYA DESA DAN KOTA

A.    Pendahuluan
Dikotomi munculnya istilah desa dan kota cukup menarik untuk dibahas. Di kedua istilah ini memang mempunyai pemaknaan yang beragam. Desa dan kota mampu memberi gambaran perbedaan antar wilayah, perbedaan sistem didalamnya, dan berbagai ciri khas yang lainnya. Keberadaan wilayah pada awalnya sangat mempengaruhi pola hubungan maupun paradigma berpikir. Jika memandang kritis dengan fakta ini maka kita bisa memasuki suatu bentuk pola perkembangan sosial kemasyarakatan kita. Pandangan tentang evolusi tatanan kehidupan dalam artian terjadi pemusatan. Kota yang menjadi pusat kemudian di datangi orang-orang dari berbagai desa.
Dekonstruksi kiranya perlu dikuatkan untuk memahami komunitas yang disebut kota dan desa ini. Akankah semua komunitas yang disebut desa akan menjadi kota atau komunitas kota hanyalah bagian dari desa. Ini bukan dalam rangka untuk memilih mana yang lebih baik tetapi sebagai sudut pandang baru agar hal yang dianggap pembeda tidak menjadi jurang pemisah. Kebangetan kalau sampai ada yang malu dengan asalnya lantaran sudah menjadi orang yang lebih kota atau adanya penghinaan verbal terhadap masyarakat desa.
Kota dan desa menjadi sebuah ikatan tersendiri dengan perbedaan yang melekat. Banyak anggapan orang desa itu memalukan ketika mereka datang ke kota, terlalu mudah kagum dan kaget dengan hal-hal yang mungkin baru ditemui. Tetapi dengan ukuran perkembangan teknologi seperti saat ini masihkah berlaku hal-hal pembeda kaitanya dengan pengetahuan dan cara berpikir. Pesatnya perkembangan teknologi informasi memudahkan akses setiap orang untuk mengetahu dan melihat kabar-kabar dari wilayah lain. Orang desa saat ini tidak mungkin terlalu tertinggal dalam informasi-informasi. Adanya media seperti televisi dan  handphone begitu mempermudah berbagai akses. Maka dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan gambaran selain teknologi bermanfaat, mungkinkah juga menjadi ancaman seperti bom waktu. Bagaimana jika teknologi ternyata membuat semua orang menjadi sama dan menghilangkan ke-khasannya.
B.     Definisi Kota dan Desa
Banyak upaya untuk memahami istilah desa dan kota hingga muncul berbagai pendapat tentang keduanya. Selama ini desa dan kota selalu dipahami berdasarkan ciri-ciri yang sudah baku dan paten menurut para ahli. Studi-studi lebih lanjut mengenai desa dan kota mengarah pada perbandingan ketercapaian dalam bidang pembangunan sumber daya manusia dan tata kelola kehidupan masyarakatnya. Kota dinilai lebih maju dan modern dalam berbagai hal. Tidak ada pengamatan mendalam pun orang-orang akan dengan mudah memberikan asumsi kota adalah daerah maju dan desa itu tertinggal. Padahal seharusnya apabila digali lebih mendalam maju dan tertinggal ini dalam sudut pandang seperti apa? Memungkinkan tidak untuk menilai sebuah kemajuan itu dengan wilayah pengkajian yang lain misalnya sisi masyarakat adatnya yang masih memegang teguh berbagai tradisi dibanding yang dengan mudahnya terombang-ambing pengaruh eksternal.
Salah satu pendapat tentang kota diungkapkan oleh Louis Wirth (dalam Menno dan Alwi, 1994: 23) merumuskan bahwa kota sebagai a relatively large dense, and permanent settlement of socially heterogeneus individuals. Definisi kota dari Wirth ini menekankan pada keadaan anggota masyarakatnya yaitu memusat di wilayah yang luas dan permanen dengan kondisi anggotanya beragam. Sementara Menno dan Alwi (1994: 24) memberikan gambaran bahwa dilihat dari segi fisik kota adalah suatu pemukiman yang mempunyai bangunan-bangunan perumahan yang berjarak relatif rapat dan mempunyai sarana-sarana dan prasarana-prasarana serta fasilitas-fasilitas yang relatif memadai guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan penduduknya.
Kedua pendapat tersebut apabila kita pahami beraksud menjelaskan bahwa kota merupakan pusat dari aktivitas berbagai segi kehidupan yang kompleks. Maka tak ayal penduduknya pun beragam ditinjau dari segi profesi, latar belakang, dan sifat-sifat khasnya. Kota dalam hal ini juga dinilai sebagai tempat yang memiliki berbagai kemudahan akses dan fasilitas untuk menunjang segala kehidupan. Mode-model tata kelola pemukiman dan pengaturan ruang-ruang publik pun lebih berdekatan dengan wilayah yang luas terbatas atau bisa dikatakan tingkat kepadatan tinggi.
Redfield dan Singer (dalam Menno dan Alwi, 1994: 32) mengemukakan pembagian baru tentang kota diantaranya: (1) kota-kota budaya administrasi (kota-kota sastra dan birokrasi pribumi), (2) kota-kota niaga pribumi (kota-kota pengusaha), (3) kota-kota metropolis dengan kelas manajerial berskala dunia pengusaha, dan (4) kota-kota administrasi modern (kota-kota dengan birokrasi baru). Pendapat ini melihat pada tingkat kesibukan sebuah kota. Kota yang menjadi pusat-pusat birokrasi pemerintahan, kegiatan ekonomi, kantor dan pelayanan sektor publik. Sehingga arahnya adalah untuk menilai kota dalam artian capital city bukan sekedar town.
Setelah sedikit mengupas tentang kota berikutnya kita akan coba untuk memahami desa secara sederhana. Dalam Buku Masalah-Masalah Pembangunan Koentjaraningrat memberikan pandangan tentang desa.
Sepanjang masa, sebagian besar komunitas desa di Indonesia dari Aceh hingga Irian Jaya, telah didominasi oleh suatu kekuasaan pusat tertentu. Banyak diantaranya telah mengalami dominasi itu sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tradisional; banyak yang mengalaminya sejak zaman penjajahan Belanda atau Inggris, dan banyak pula lainnya yang baru mengalaminya sejak beberapa waktu terakhir ini (Koentjaraningrat, 1982: 119).
Pandangan tersebut merupakan pengertian desa secara klasik. Desa khususnya di Indonesia dari waktu ke waktu adalah sebuah wilayah yang selalu ada dalam kekuasaan pusat. Dalam artian terjadi keadaan tidak seimbang dimana dominasi kekuatan antar penguasa pemerintahan menempatkan desa sebagai wilayah penyokong utama bahkan hingga masa Indonesia saat ini.
Ada hal positif yang mungkin tidak dimiliki masyarakat kota menurut pandangan Koentjaraningrat yaitu loyallitas etnik.
Semua penduduk pedesaan di Indonesia secara primordial tentu sudah memiliki loyalitas etnik terhadap suku bangsanya masing-masing, karena sejak kecil mereka disosialisasikan dan dibudayakan dalam kebudayaan suku bangsa itu. Komunitas pedesaan di Indonesia biasanya dihuni oleh dari satu suku bangsa tertentu, apabila ada warga suku bangsa lain, maka mereka itu akan merupakan minoritas dalam masyarakat desa itu (Koentjaraningrat, 1982: 122).
Gambaran loyalitas etnik ini mempelajari pola yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa di Indonesia. Adanya ikatan kedaerahan karena terbiasa dengan penerapan aturan yang bersumber dari nilai-nilai khas masyarakat setempat, sehingga menimbulkan corak khusus yang begitu melekat. Maka hal ini juga bisa menjada pusaka masyarakat desa dalam upaya membendung pengaruh-pengaruh budaya yang tidak sesuai dengan jati dirinya. Ikatan yang akhirnya menjadi filter kebudayaan.
Koentjaraningrat (1982: 122) juga memberikan arahan bahwa usaha yang penting dari para perencana pembangunan masyarakat desa adalah untuk selalu menyediakan dan menciptakan adanya kepentingan-kepentingan lokal, yang dapat mengembangkan lapangan-lapangan sosial dengan ruang lingkup lokal. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kearifan lokal masyarakat desa yang sebenarnya sangat penting. Maka kota dan desa seharusnya perlu dipandang dengan paradigma berpikir yang baru. Desa haruskah diupayakan untuk menjadi kota atau sebenarnya kota yang harus lebih banyak belajar dari kehidupan sosial bermasyarakat warga desa. Hal itu tentu perlu di gali dan menjadi perenungan bersama.
C.    Pudarnya Ke-Khasan Desa dan Kota
Seperti yang telah disinggung pada bagian pendahuluan yaitu mengenai posisi ke-khasan budaya antara desa dan kota mungkinkah menuju pada satu persamaan karena munculnya era teknologi informasi, akan coba penulis telaah. Teknologi informasi mengindikasikan adanya pengaruh dan saling mempengaruhi yang tidak terbatas. Hal-hal yang sedang ramai diperbincangkan di lingkup global dengan mudah diakses dari belahan dunia manapun. Berbagai dampak yang ditimbulkan dari pengetahuan yang sama mungkin saja mengarah pada perilaku-perilaku yang serupa. Asumsi dasar ini memang masih butuh riset untuk membuktikannya, tetapi melihat fakta yang ada persoalan-persoalan yang akhir-akhir ini timbul menunjukkan ciri yang hampir sama di berbagai daerah.
Dalam istilah lain era teknologi informasi dapat dikatakan sebagai tonggak modernisasi segala bidang. Modernisasi menurut pandangan Clifford Geertz (1995) sebagi berikut.
Satu hal yang mungkin merupakan sifat hakikatnya ialah sebagai suatu proses, suatu runtutan kejadian yang mentransformasikan bentuk tradisional kehidupan, yang stabil dan penuh dalam dirinya sendiri, menjadi bentuk yang penuh risiko, adaptif dan berubah-ubah tanpa putus. Dan sebagai proses itulah modernisasi  ia telah tampil di kancah ilmu-ilmu sosial.
Geertz menggambarkan modernisasi sebagai peralihan tradisional ke keadaan kompleks. Hal ini sangat mungkin terjadi pada desa-desa di Indonesia. Desa-desa yang cenderung lebih dekat dengan kota dan sumber daya manusianya yang berusaha mengubah desanya.
Mengubah memang baik tetapi jika itu mengarah pada cara-cara kota, kota yang mana dan seperti apa itu perlu dipertimbangkan. Fakta-fakta yang terjadi memperlihatkan kecenderungan untuk jatuh cinta pada kota sangatlah kuat, salah satunya terlihat dari peristiwa urbanisasi. Kota dianggap tempat menjanjikan masa depan dan penghidupan yang layak. Secara tidak langsung itu sudah merupakan cara berpikir yang menempatkan kota adalah segala-galanya. Informasi-informasi yang beredar juga semakin mengarahkan seolah kota akan menjadi harapan sementara desa identik dengan masyarakat-masyarakat terasingkan.
Hanya saja saat ini masyarakat perkotaan atau pedesaan sudah tidak bisa terlalu dibedakan. Gadget  atau alat komunikasi genggam ini menjadi trend yang sama di semua kalangan masyarakat. Menjadi ukuran pergaulan dalam dinamika kehidupan. Sampai-sampai ada satu ruangan di rumah-rumah kita yang saat ini tidak lagi terlalu bermanfaat. Ruang itu adalah ruang tamu yang dahulunya selalu didatangi sanak saudara, kerabat, dan tetangga-tetangga kita. Ruang-ruang tamu kita beralih pada layar-layar yang setiap hari kita berdiskusi tanpa melihat bagaimana lawan diskusi kita menunjukkan ekspresinya. Akankah budaya berkunjung juga akan memudar.
Kemudian media komunikasi yang bersifat hiburan, hiburan langsung pada akhirnya tidak begitu disukai lagi karena sudah tersaji dalam televisi dan melalui sambungan-sambungan internet. Sehingga berkumpul untuk meikmati kebersamaan itu akhirnya perlahan hilang berganti dengan beranggapan bahwa  dilakukan sendiri di rumah saja bisa. Akankah ini juga pengaruh teknologi yang akhirnya membawa dengan tidak sengaja pada hal-hal tradisi berkumpul menjadi pudar.
Berkaitan hiburan masyarakat ada sebuah kajian modern tentang efek hiburan tersebut. Kajian budaya pop atau maksudnya budaya modern oleh John Storey ternyata menemukan fakta yang unik berkaitan dengan televisi sebagai media hiburan. Fakta ini ia dapatkan dari para penggemar acara Dallas.
Ideologi budaya massa seperti wacana ideologis mana pun, bekerja dengan cara menginterpelasi individu-individu ke dalam posisi subjek yang spesifik. Surat-surat itu menganjurkan tiga posisi yang dari situ mereka mengonsumsi Dallas: sebagai penggemar, sebagai pemirsa ironis, dan sebagai mereka yang tidak menyukai program tersebut (Storey, 2010).
Maksud dari pernyataan diatas bahwa sebenarnya budaya massa itu menempatkan individu sebagai pelaku yang berwenang. Namun, kewenangan itupun pudar pula akhirnya dan tidak ada lagi semacam kedaulatan untuk menentukan pilihan hiburannya. Kasus acara Dallas menggambarkan ada yang memang penggemar, penggemar tetapi berusaha mengkritisi, dan sama sekali tidak suka. Ketika kita arahkan pembicaraan itu di Indonesia mungkin sama saja tetapi lagi-lagi kita tidak mampu membendung industri dunia hiburan pengejar rating. Pemirsa ironi dan yang terang-terangan tidak menyukai pun sebenarnya juga tergiring dalam opini yang akhirnya itu juga menjadi bahan pembicaraan dan secara tidak langsung ratingnya baik. Ada dua hal kerugian ternyata yaitu hilangnya kebiasaan berkumpul dan menghanyutkan opini kita kepada hal yang menjebak.
Maka sepertinya teknologi menggiring pada ciri budaya yang sama itu sangat mungkin. Masih banyak contoh-contoh lain apabila digali kembali dengan mendalam. Bukankah setiap negara berlomba-lomba juga untuk bisa mengembangkan dan bersaing dengan teknologi-teknologi yang dianggap sebagai ukuran negara maju. Memang di satu sisi itu harus dikuasai tetapi menempatkan ke-khasan jati diri budaya kita untuk tetap di lestarikan itu tidak boleh dilupakan. Usaha-usaha untuk mengkolaborasikannya sangatlah tepat.
K.H. Abdurrahman Wahid atau yang kerap disapa Gus Dur menulis di salah satu essay-nya berkaitan dengan berubahnya arah pemikiran dan pemahaman strata dalam masyarakat. Beliau melihat ada kecenderungan pembentukan strata itu bukan karena jati dirinya berbudaya tetapi lebih pada adanya tuntutan ekonomi semata terutama di wilayah perkotaan sebagaimana kutipan berikut.
Di indonesia meskipun ada pembangunan ekonomi tidak ada kaum borjuis pribumi yang terlihat. Golongan menengah umumnya bergantung pada pemerintah, dan demikian pula kebanyakan orang kaya baru yang, terlebih lagi, hampir tidak dibebani oleh tradisi budaya mana pun untuk mewujudkan kedudukan baru mereka dalam masyarakat kota. Karena mereka dihasilkan oleh perekonomian, oleh usaha mencari uang, mereka mengungkapkan diri melalui itu (Gus Dur dalam Mulder, 2003: 314).
Pendapat ini memang sangat berkaitan dengan masalah pembangunan tetapi setidaknya dapat kita pahami ada suatu tendensi baru. Orang pribumi juga tidak terlalu mempunyai wewenang dalam menentukan nasib kesejahteraanya. Sehingga usaha-usaha untuk menjadi sejahtera itu hanya identik dengan kekayaan tanpa memperhatikan identitas budayanya. Banyak yang pada akhirnya berpendapat ukuran semua itu bukan nilai baik dan buruk tetapi kaya atau tidak. Tetapi tidak serta merta bisa disalahkan karena tuntutan lingkungan yang menggiring kepada kondisi demikian. Simpulan dalam masalah strata ini akhirnya juga menunjukkan ukuran baru yaitu “yang penting kaya”. Paham yang secara tidak langsung memudarkan strata berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan seperti di desa-desa maupun kota beberapa waktu silam. Besar kemungkinan pengaruh cara berpikir strata berdasarkan ekonomi ini karena membanjirnya godaan-godaan konsumerisme dalam penawaran berbagai barang melalui berbagai media.
D.    Kesimpulan
Kota dan desa perlu dikaji dengan sudut pandang yang baru untuk mencari kebermanfaatan keduanya tanpa harus menghilangkan salah satu diantaranya. Teknologi dikembangkan dalam rangka memudahkan manusia tetapi jangan sampai kita terlena dan mengkesampingkan nilai-nilai kebudayaan yang menjadi haluan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford. 1995. After The Fact: Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog. Edisi Terjemahan. Yogyakarta: LKIS
Koentjaraningrat. 1982. Masalah Masalah Pembangunan. Bunga Rampai Antropologi Terapan. Jakarta : Djaya Pirusa
Niels Mulder.2003. Wacana Publik Mereka: Kata Mereka tentang Diri Mereka. Yogyakarta: Kanisius
S. Menno, Mustamin Alwi. 1994. Antropologi Perkotaan. Jakarta: Grafindo Persada

Storey, John. 2010. Pengantar komperhensif teori dan metode Cultural Studies dan kajian budaya pop (Terjemahan Layli Rahmawati). Yogyakarta: Jalasutra

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb