Langsung ke konten utama

Memangnya Kalau Pejabat Tidak "Ngising"


Kata-kata dari seorang tukang sedot wc ini mungkin perlu diperhatikan.
“Kok aneh-aneh wae saiki, nek wes dadi uwong terus rumangsane ora iso kedemok sing reget-reget”, kata tukang sedot wc.
“Maksudmu kepiye?”
“Lha opo nek wong gedhe kelase pejabat terus ora ngising.”
Lantas saya jadi mulai berpikir dari obrolan bapak-bapak yang sedang nguras septic tank di rumah ini maksudnya apa? Pejabat sudah tidak sempat buang air, kurang sehat lantaran makanannya junk food, atau kotor dan ngising ini konotasi macam apa.
Saya cari korelasinya. Tidak sengaja kok kesaruan pikiran ini ketemu sambungannya . Setelah membaca artikel kesehatan yang membahas metabolisme tubuh meliputi mekanisme input dan output kemudian jadilah opini awur-awuran ini. Saya pernah dapat pertanyaan “kenapa makan kalau toh nantinya juga lapar lagi?” tetapi coba kalau pertanyaannya jadi “kenapa harus bab kalau toh besuk juga bab lagi?” Apa iya anda tidak mau bab? Sebut saja mangan, turu, ngising ini jadi kebutuhan dasar seorang manusia yang paling sederhana.
      Ini tidak ada kaitannya dengan teori psikologi bahkan biologi cabang manapun, hanya perkiraan-perkiraan yang datangnya dari tukang sedot wc. Namun, tidak ada salahnya jika pinjam istilah-istilah yang ilmiah. Asumsikan makan adalah mekanisme input, dimana tidur menjadi mekanisme proses peremajaan sel-sel dan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan organ dari nutrisi yang masuk. Sementara ngising juga menjadi mekanisme penting untuk membuang residu dari hasil pengolahan tubuh. Ada yang harus terbuang karena jika tidak pasti akan meracuni organ-organ di tubuh kita sehingga menimbulkan ketidakseimbangan yang berupa penyakit. Zat yang terbuang itu pasti kotor dan kotoran lain entah bentuknya; darah kotor, keringat, urin, atau gas.
Feses ini memang residu yang mungkin tak berguna untuk kita. Tetapi ngising itu baik karena membuang kotoran, dan hasil keluaran ini masih sangat mungkin dipergunakan makhluk hidup lain atau zat-zat tertentunya dibutuhkan mikroba dan mikroorganisme pengurai. Denotasinya setiap orang pasti berkotor-kotor ketika ngising lalu dibersihkan lagi. Pejabat pun juga jadi manusiwai ketika ngising, dan agak dielu-elukan lagi setelah keluar dari wc. Sayangnya terlampau sering kita menganggap orang-orang dengan derajat-derajat tertentu itu menjadi sangat dibesar-besarkan. Beberapa hal memang beliau-beliau itu berbeda dengan keseharian kita tetapi mereka tetap sama seperti manusia biasa yang harus ngising untuk menunjukkan kemanusiawiannya. Sehingga kalau ada penghinaan dan pencemaran kepada pejabat substansinya perlu dipahami dulu masuk penyerangan secara personal atau secara struktural. Itu kritik, fitnah, atau sindiran satir. Ini penting untuk intelek-intelek yang seharusnya juga memahami tingkatan berbahasa dan bersastra sehingga tidak buru-buru menyalahkan.
Membuang residu menjadi nikmat yang berganda. Nikmat membersihkan melalui proses metabolisme sekaligus membersihkan diri pasca pembuangan. Dalam pemahaman manapun kebersihan adalah sifat yang sangat terpuji. Maka jika ngising ini kita pandang secara konotatif akan ketemu sebuah pola bersih kemudian kotor kemudian dibersihkan lagi kemudian kotor lagi dan bersih-bersih lagi. Begitulah hidup tidak akan terlepas dari hal-hal najis, kotor, buruk. Ada mekanisme tertentu untuk membersihkan kotor, najis, keburukan, dan lain sebagainya. Ini bukan berkaitan dosa atau tidak tetapi bagaimana jika terjadi sebuah tindak tanduk yang tidak sesuai maka lekaslah dibersihkan, dibersekan, dan kembali kepada yang pantas sesuai adabnya. Setiap orang pun pasti ada keburukan tetapi tidak selamanya lantas menjadi buruk dan setiap orang ada sisi yang baik namun tidak selamanya pula terus ada pada kebaikannya.
Belajar dari tukang sedot wc saja atau cleaning service, kebaikanya sudah masuk level yang tinggi. Mereka peduli kepada orang lain untuk menyelenggarakan kebaikan dan kebersihan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb