A.
Pendahuluan
Sepanjang sejarah kehidupan manusia
selalu terjadi ketidakpuasan dari satu sistem ke sistem lainnya. Dalam setiap
hal-hal baru yang muncul, selau diikuti pula sisi perlawanan atau bersebrangan.
Hal itu memang wajar untuk tetap menjaga keseimbangan. Sebuah mekanisme yang
menjadikan semua teratur tanpa ada pihak maupun kelompok yang mendominasi.
Sehingga manusia sangat dinamis dalam menentukan perubahan. Tetapi akibatnya muncul
dominasi yang berubah-ubah atau usaha untuk menduduki posisi tertentu. Ada
kesimbangan tetapi ada fase ketidakstabilan dari masa transisi. Atau barangkali
membutuhkan fase kehancuran untuk bangkit pada titik yang lain. Selesai dengan
hal yang terdahulu kemudian bangkit dengan sisa-sisa pengetahuan untuk
menciptakan keadaan yang baru. Secara teoritis disebut konsep dari chaos menjadi cosmos.
Telaah sederhana tadi menjadi gambaran
proses sampai ditemukannya istilah yang kita dengar saat ini yaitu globalisasi.
Terdapat unsur kata global yang
berusaha mendudukan posisi pergaulan dalam lingkup yang luas. Hilangnya
batasan-batasan tertentu yang dahulu membutuhkan waktu untuk memperoleh dan
mengaksesnya. Ada istilah globalisasi melemahkan teritorial. Tetapi globalisasi
ini bukan sekedar menembus wilayah-wilayah saja karena belakangan globalisasi
melingkupi semua aspek dari pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya.
Pencapaian titik globalisasi atau kita
bisa katakan sudut pandang untuk berpikir mendunia ini membutuhkan waktu yang
panjang. Dahulu peradaban manusia membuat batas-batasnya tetapi belakangan
malah berusaha menembusnya. Namun apa dan bagaimana globalisasi ini masih
sangat perlu diberikan definisi yang jelas. Arah perkembangan globalisasi atau
mungkin titik kemundurannya perlu untuk diprediksi, karena kita adalah bagian
dari zaman ini yang harus berbuat untuk terus berbenah pula. Mungkinkah teori
yang global ini menjadi akhir dari pencapaian manusia dan rasa-rasanya tidak
karena peradaban manusia selalu menemukan formula terbaiknya. Widiyatmaja
(2005: 67) menerangkan globalisasi bukan akhir dari sejarah manusia, sama
seperti civilization dan colonization bukan harga mati yang tanpa
akhir. Untuk itu tulisan ini akan mengupas gloalisasi dari sudut pandang
akademisi ilmu pengetahuan sosial dengan sederhana.
B.
Konsep
Globalisasi Dan Kearifan Lokal
1.
Globalisasi
Kata
globalisasi jika dipahami secara sederhana menunjukkan sebuah proses. Isasi
bermakna proses dan global menggambarkan mendunia. Terdapat beberapa definisi
yang berusaha menggambarkan makna globalisasi secara utuh. Berikut ini beberapa
pengertian globalisasi yang berhasil penulis rangkum dari berbagai sumber.
Pertama, menurut Suyatno (2010: 140) globalisasi merupakan suatu proses untuk
meletakkan dunia di bawah satu unit yang sama tanpa dibatasi oleh garis dan kedudukan
geografi sebuah negara. Pengertian tersebut menunjukkan globalisasi proses
untuk menghilangkan batas-batas interaksi antar negara. Bisa pula dikatakan
kebebasan akses diberbagai belahan dunia sehingga kedepan sangat mungkin untuk
terjadi suatu sistem tatanan baru yang sejenis di muka bumi ini.
Lebih
lanjut Suyatno (2010: 141-142) menerangkan secara spesifik globalisasi juga
dapat dijelaskan melalui aspek-aspek melekat yang dapat memperjelas globalisasi
yakni:
1)
Komunikasi;
globalisasi merupakan proses yang ditandai oleh maraknya pertumbuhan jaringan
komputer, media elektronik, dan sejenisnya sebagai media komunikasi yang
memungkinkan terjadinya interaksi lintas bata dan limit waktu yang menakjubkan.
2)
Organisasi;
globalisasi merupakan wujud perluasan organisasi dalam berbagai bidang dan
lintas batas geografis dalam satu kepentingan yang sama.
3)
Ekologi;
isu global lingkungan menjadi tema bersama bagi seluruh bangsa di dunia sebagai
persoalan yang membutuhkan jalan keluar bersama, semisal tema menipisnya
lapisan ozon bumi, global warming dan sebagainya.
4)
Produksi
lebih dikenal istilah produksi global atau pabrik global yang menciptakan hasil
usaha melalui proses bertahap dan melibatkan banyak negara untuk penyelesaian
proses hasil produksinya.
5)
Militer;
tiada batas wilayah yang tidak dapat ditembus oleh kemampuan militer sebuah
negar aatau organisasi internasional.
6)
Everyday
thinking; masyarakat dunia baru menyadari apabila dunia ini benar-benar wilayah
tunggal yang didiami secara bersama sejak diterbitkannya foto dunia yang diambil
dari luar angkasa pada tahun 1966.
Keenam rumusan diatas menunjukkan
globalisasi sudah siap untuk menjadi tawaran sistem yang baru dengan segala
iming-imingnya. Bahkan sudah kita rasakan keberadaanya saat ini dimana pangsa
baru pasar bebas yang sedang gencar diberlakukan adalah bentuk dari globalisasi
tersebut. Selain memang faktor informasi dan komunikasi adalah hal utama yang
memberikan bukti nyata globalisasi telah berjalan sesuai yang direncanakan oleh
pihak yang sengaja menciptakannya.
Budi Winarno (2008 :2) mengatakan pada
satu sisi globalisasi mengandung elemen-elemen seperti integrasi,
interdependensi, keterbukaan multilateralisme dan interpenetrasi. Namun di sisi
yang lain, globalisasi juga mengandung elemen-elemen seperti disintegrasi,
autarki (autarchy), unilateraisme,
tutupan (closure), isolasi. Pendapat
ini bagi penulis lebih cocok untuk menyebutnya sebagai sebuah paradoks
globalisasi. Semakin globalisasi itu dikejar malah bukan era keterbukaan yang
didapatkan tetapi semakin banyak sisi yang harus ditutup-tutupi. Karena tidak
mungkin begitu terbukanya dengan pihak lain, sebagai sebuah negara atau
masyarakat perlu melindungi hal-hal yang menjadi rahasia. Globalisasi ini
kecenderungannya untuk bekerjasama atau untuk saling menguasai kemudian menjadi
kabur. Sehingga pada fase tertentu malah ada yang akhirnya berusaha tertutup
dan menampilkan kepada khalayak yang tidak sebenarnya. Tak lain agar negara dan
masyarakanya tetap bisa berperan dengan kemampuannya sendiri. Arahnya pun
menjadi bukan saja kerjasama bebas tetapi juga persaingan bebas.
Ada satu kemungkinan lagi jika
globalisasi ini berkembang yaitu arahnya untuk menjadi sebuah paham. Clark
(dalam Winarno, 2008: 3) mengemukakan jika globalisasi mengarah pada
globalisme, kompresi spasial (spasial
compression), universalisme (universalism),
homogenitas, dan konvergensi, maka sebaiknya fragmentasi mengarah pada
nasionalisme atau regionalisme, pembedaan spasial (spatial distinction), separatisme, heterogenitas, dan divergensi.
Fragmentasi menjadi kata kunci yang harus dikembangkan ketika globaisasi ini
akan menjadi globalisme. Harus tumbuh kesadaran baru untuk kembali kepada
lingkup-lingkup sempit. Sebenarnya ini menggambarkan kekhawatiran akan masa
depan ketika kebebasan tak terkendali dari berbagai aspek.
Fragmentasi yang diusulkan Clark
bermaksud agar suatu kelompok masyarakat dalam lingkup negara mampu melahirkan
kembali kekhasan atau pembeda yang dimilikinya. Sepertinya itu menjadi sebuah
benteng terbaik ketika semua itu berpaham sama sehingga kemungkinan tidak
terlindunginya individu itu semakin besar. Setiap orang mau tidak mau harus
terlibat pada arus globalisme dengan kemampuannya sehingga jika tidak memiliki
pembeda mereka hanya akan tersingkirkan dan menjadi pesakitan di panggung yang sama.
Seperti seorang aktor yang kehilangan peran lantaran sudah terlalu banyak
pemeran-pemeran baru yang serupa dengan standar-standar yang tak jauh beda.
Aktor besar itu pun mati di panggungnya sendiri. Benteng itu dalam pemahaman
kita selama ini sering kita namakan dengan nilai-nilai yang dirumuskan menjadi
kearifan lokal. Kearifan lokal dan globalisasi adalah bentuk opsisi biner.
Bersebrangan untuk menuju keseimbangan dan menemukan rumus-rumus tatanan
kehidupan.
2.
Kearifan
Lokal
Tidak
banyak sumber yang saya kutip untuk menerangkan konsep kearifan lokal. Karena
melihat dari asal-usulnya bahwa kearifan atau kebijaksanaan ini satu ukuran
luhur, tinggi, dan esensial. Maka kearifan yang terjadi di suatu wilayah,
lingkungan, atau kelompok ini adalah murni hadir memberi warna dalam kehidupan
yang memegangnya. Muncul ciri khas yang bisa diterima dan memiliki tolernasi
terhadap keberadaan kearifan-kearifan yang lain. Bagi penulis kearifan bukanlah
hal baku dengan satu standar seperti globalisasi melainkan kearifan adalah
bagaimana kita menemukan kebijaksanaan dari hal-hal yang kita pelajari di
lingkungan kita.
Nurman
(2007: 1) misalnya, dalam essaynya yang dimuat di jurnal Ibda STAIN Purwokerto
menjelaskan nilai-nilai kearifan lokal ini dipandang sebagai panduan yang dapat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya karena di dalamnya
berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari para elit dan
masyarakatnya. Apa yang penulis coba utarakan pada paragaraf sebelumnya
digambarkan dengan apik dalam pengertian ini. abstraksi itu kemudian menemukan
titik temu bahwa kearifan lokal bersumber dari kecerdasan kreatifitas dan
pengetahuan asli dari masyarakatnya. Akhirnya menjadi penentu harkat dan
martabat. Pertanyaanya kemudian “apakah kearifan lokal ini berkembang?” Menurut
penulis jawabannya berkembang sesuai zaman yang dihadapi. Karena memang
bersumber dari kreativitas dan pengetahuan hanya saja ia tetap berpegang pada
haluan-haluan yang sudah menjadi kesepakatan elit dan masyarakat secara turun temurun.
Kearifan lokal ini memahami langkah kedepan dengan berbicara mundur hingga
ketemu hakikat kepribadian lokalnya. Secara filosofis untuk bisa maju maka
pasti dia melangkah dari belakang.
Ahmad
Sodli memberikan gambaran yang lebih terperinci tentag kearifan lokal
sebagaimana dalam kutipan berikut.
Kearifan lokal
merupakan tata aturan yang menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek
kehidupan, yakni: (1) tata aturan yang menyangkut hubungan antar sesama
manusia, misalnya dalam interaksi sosial antar individu atau kelompok; (2) tata
aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan alam, seperti binatang,
tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada konservasi alam,; (3) tata aturan
yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib, seperti Tuhan dan roh-roh
gaib (Ahmad Sodli, 2011: 112).
Memahami
hakikat kebijaksanaan ini berarti mempelajari kembali apa yang telah ada
sebelumnya. Menguliti mencari mana yang mash baik untuk digunakan dan
mengembangkan yang perlu disesuaikan dengan periodisasi masa yang baru. Maka
hal-hal yang menjadi acuan di masa lalu itu tak akan terlepas dari aturan yang
mengikat dan ada konsekuensi yang mesti ditanggung jika melanggarnya, tetapi
tetap ada kemungkinan untuk memusyawarakan mengkreasikan kembali agar lebih
relevan. Inilah kearifan lokal yaitu nilai-nilai kekhasan yang harus terus
dibawa.
C.
Kesimpulan
Globalisasi berpikir untuk berperilaku
mendunia dan kearifan lokal berusaha memperlakukan dengan sikap-sikap yang
sesuai. Keduanya adalah keseimbangan seperti yin dan yang. Sebuah rwa bhinekka
bermakna satu kesatuan yang mendua. Hanya saja kearifan lokal sejauh ini
menurut penulis adalah hal yang tetap sementara globalisasi boleh diisi dengan
proses-proses lain sesuai zamannya.
Daftar
Pustaka
Budi
Winarno. 2008. Globalisasi Peluang atau
Ancaman bagi Indonesia. Jakarta: Erlangga
Josef P. Widiatmaja. 2005. Kebangsaan dan Globalisasi dalam Diplomasi. Yogyakarta: Kanisius
Ludiro
Madu, dkk. 2010. Mengelola Perbatasan
Indonesia di Dunia Tanpa Batas. Yogyakarta: Graha Ilmu
Nurman
Ali. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal dalam
Jurnal Ibda On Line Purwokerto: P3 M STAIN Purwokerto, Vol 5. No 1 Januari-Juni
2007
Sulaiman,
dkk. 2011. Menguak Makna Kearifan Lokal
Pada Masyarakat Multikultural. Semarang: Robar Bersama
Komentar
Posting Komentar