Manusia
hidup dalam keadaan yang serba dinamis. Pergerakan dan ketidakpastian mewarnai
perjalanan panjang peradaban manusia. Arus pergerakan sudah sangat akrab dengan
sendi-sendi kehidupan. Ia kekuatan yang mendarah daging, mengalir seiring
dengan ketukan denyut nadi. Ia pun tumbuh menjadi jenis-jenis pribadi yang
sangat tidak terduga. Di satu sisi berhasil melahirkan keyakinan beserta antitesanya
untuk mempertanyakan sehingga tumbuhnya ketidakpastian itu menjadi hal lumrah.
Dari sudut pandang yang lain berhasil dibungkus dengan dalil bertenaga magis,
berkekuatan daya internal dan muncul pada wilayah-wilayah wahyu, ilham,
intuisi, wangsit, wisik. Sampai hari ini beberapa kekuatan itu masih pada taraf
kebenaran terbaik tetapi pada kenyataanya juga terjadi ketidakpastian lantaran
perilaku yang kaku menafsirkan kekuatan tersebut.
Kita
seharusnya bersyukur dilahirkan untuk jadi bagian orang-orang di muka bumi
dengan kekuatan internal luar biasa. Tetapi juga jangan terlampau bangga karena
kekuatan adalah kelemahan yang terus menerus dibaca dan di uji coba oleh
ketidakpastian. Ketidakpastian bisa jadi adalah kanca kelek sekaligus musuh terbesar seperti halnya energi dengan dua
kutub. Diri kita yang membenturkan daya positif dan negatifnya sehingga mampu
menghasilkan kekuatan potensial untuk lahir dan lahir kembali dari
ketidakpastian yang terus menerus hadir. Atau bisa jadi benturan itu memberikan
gejolak dan tak mampu untuk kita manifestasikan menjadi nyala kekuatan
melainkan malah menuju keterpurukan, kehancuran. Pola pikir dan kekuatan rasa
menjadi kunci utama dalam menyikapi segala bentuk hadirnya keadaan tak menentu
itu. Bisa saja kita katakan kita punya kekuatan internal yang terbukti menjadi
obat ampuh menenangkan diri. Sayangnya hanya berhenti di sana namun ketika
harus berhadapan dengan kenyataan maka yang terjadi kekuatan internal itu
dipaksakan begitu saja. Ia akhirnya menjadi ruang semu yang sempit.
Muncul
sebuah trend polemik dalam gaya agumentasi dan perilaku dengan begitu simbolik
serta menggebu-gebu. Akibatnya dia percaya kepada kebenaran tetapi sulit untuk
menerima kebenaran yang sedang diperjuangkan oleh orang lain. Apakah tidak
pernah terpikir oleh kita atau merasuk dalam sanubari kita untuk kembali kepada
totalitas. Totalitas dalam artian makna menyeluruh bahwa sesungguhnya semuanya
saling kait-mengkait dan menyatu. Maka kita menjadi sibuk berusaha menghindari
pendapat dan penilaian untuk menjadi berat sebelah. Menjadi lentur menerima
akan kemungkinan sebuah kompromi. Tanyakan pada diri. Apakah semua persoalan
kehidupan harus dicapai dengan kebenaran rasionalisme sendiri tanpa mempertimbangkan
kesempatan untuk sedikit berfilsafat spekulatif. Padahal kita tak akan terlepas
dari baik-buruk, manfaat-mudharat, suka-tidak suka, cinta-benci dan seterusnya.
Atau permasalahan sebenaarnya malah selama ini kita hanya sedang dan terus
menerus terjebak pada pemikiran spekulatif untuk mempertahankan ego
kepentingan?
Ini
barangkali bukan urusan siapa yang benar dan siapa pihak yang salah lagi. Dalam
sistem yang sedang kita jalankan ini sebenarnya menghendaki keluwesan dengan
lembut dan tenang dalam menimbang-nimbang. Tidak terburu-buru untuk mengambil
kesimpulan sebelum mengetahui dasar permasalahan yang seharusnya dicari jalan
keluarnya. Sekarang ini kecenderungan yang berkembang malah begitu
mengkhawatirkan. Banyak yang ikut-ikutan mumpluk, berbusa-busa, berbuih
menghubung-hubungkan setiap tragedi menjadi permasalahan luas dan berbahaya yang
seolah-olah mengancam kehidupan manusia.
Manusia
yang mengaku memiliki kekuatan internal tetapi takut dengan kekuatan lain yang
notabene bukan tandingannya. Daya internal tak ubahnya seperti obat sakit
kepala yang buru-buru dicari ketika kepala mulai terasa pening. Tetapi ia tak
pernah membawa kekuatan internalnya itu kedalam totalitas. Padahal kalau dibawa
efek minimalnya apa-apa yang dikerjakan menjadi terang. Usahanya tidak ruwet
dan sekaligus bisa meminimalisir sakit kepala mendadak.
Kemungkinannya
sedang terjadi kesalahan memahami kekuatan internal atau malah lebih parah
karena tidak tahu kekuatan internal dalam dirinya itu seperti apa. Ya sudah nanti
kalau sakit kepala datang, semua dikatakan salah dan malah berani bilang kalau
punya obat paling mujarab. Saking ampuhnya maka obat lain tidak boleh dijadikan
rujukan. Alternatif lain adalah sesat dan berbahaya, dianggapnya racun perusak.
Padahal kerusakan itu muncul di wilayahnya sendiri menggerogoti menimbulkan
virus-virus baru yang begitu cepat tersebar untuk berteriak anti dan antipati.
Kita
dan kehidupan terus menerus bergerak dari saatu waktu ke waktu yang lain. Dari
ruang ke ruang yang berbeda. Dari lapang ke sempit, sempit ke lapang begitu
seterusnya. Tak jarang akan menghadapi counter
attack kehancuran saat kehilangan kesadaran, tetapi kita mampu bangkit pada
momentum yang lain. Pertanyaanya apa yang mesti ditakutkan? Bukankah saya,
anda, dan kita percaya punya daya kekuatan, lalu meyakini sepenuhnya tidak ada
sesuatu pun yang setara untuk melampauinya. Apakah harus takut pada sebuah
gerakan-gerakan biasa yang sudah menjadi makanan jutaan tahun? Selama masih ada
hidup dan kehidupan maka disitulah kita berkawan dengan gerakan. Gerakan dengan
nama tertentu itu hanya hal sepele yang sudah ada dari berbagai peradaban.
Usaha alami yang muncul dari ketidakpastian dan tak terpenuhinya kepuasan. Saya
malah berpikir sebaiknya kita bikin gerakan sendiri yang tanpa nama dan tanpa
kepentingan melainkan hanya menghasilkan sintesis kesatuan. Cita-citanya lebih
luas dari sekedar organisai, partai, negara, dinasti dan imperium. Sederhana
saja alasannya, bukankah tanpa gerakan dan usaha penyatuan kita tidak akan
lahir dan lahir.
Komentar
Posting Komentar