Langsung ke konten utama

Kerupuk "Bambung" dan Study Lab Bali (bagian 1)


Memulai tulisan ini tak ubahnya membalik lembar-lembar memori ke halaman sebelumnya. Di halaman ke berapa segmen cerita ini dimulai akan sangat sulit ditemukan. Ya, karena sampai saat ini kami belum tahu sedang membuat kisah roman, sekedar cerpen, atau hanya sajak-sajak singkat. Tetapi salah satu dari kami ternyata tak sengaja telah menyiapkan semacam catatan-catatan kecil.
Katanya, lha wong aku ini cuma kerupuk di antara sajian makanan. Kerupuk saja kerupuk tidak jelas bentuknya, sedeng wadahnya , edan warnanya, kurang waras rasanya, bikin konslet kalau dimakan dan ditelan mentah-mentah. Dan semuanya sangat pas terakumulasi menjadi istilah kerupuk bambung. Tidak usah berbicara kandungan gizi, dari aromanya saja sudah tidak meyakinkan. Tetapi jangan salah aku ini tetap terlibat dalam setiap sajian, kadang sekedar penghias, diambil-digigit lalu dibuang, dicelup ke dalam kuah jadi lembek, atau nasib yang lebih mujur benar-benar dinikmati kerenyahannya.
Namanya juga kerupuk nggak mungkin jadi nasi, jadi lauk, jadi sayur, dan lain-lain. Kerupuk ya tetap kerupuk yang nerima mau diposisikan seperti apa, kadang harus ajur-ajer sampai tidak terasa kerupuknya lagi. Padahal kerupuk selalu ngimpi seperti esensi namanya ketika dimakan kerpuk-kerpuk bunyinya. Kerupuk bukan soal rasa, ia keindahan, kemesraan, kekuatan, kehadiran pembeda, di setiap kenikmatan.
-//-
Study Lab ke Bali dan sebenarnya juga tidak study-study banget. Lha wong kalau ditanya dari 5 orang responden 3 akan menjawab piknik, wisata, plesiran, dan liburan. Tetapi tidak masalah karena ini hanya perkara redaksional sebagai laporan kegiatan wajib dari kebijakan yang ada.
“Lhah berarti hanya sekedar menggugurkan kewajiban?”
“Sik-sik tho, ojo kesusu membuat kesimpulan...”
Mbak Sri dan Mas Lothong pasti akan mulai berfilsafat menjawab pertanyaan seperti ini. Kadang jawabannya meyakinkan dan berhasil mengelabuhi beberapa orang padahal kata-katanya kalau coba diresapi begitu labil dan ambigu. Bisa saja berakhir tidak serius dengan guyonan tetapi sebenarnya itu sedang mengungkapkan pesan tersembunyi. Hha saya jamin mumet, disarankan kalau ngomong sama Mbak Sri dan Mas Lothong jangan lama-lama, cukup satu jam saja.
Mbak Sri dan Mas Lothong mulai bersautan berbicara. “Study itu mewakili kata belajar dan lab itu laboratorium untuk belajar. Study lab malah terkesan membatasi ruang dan waktu untuk belajar. Padahal kami sebagai seorang mahasiswa, tingkat belajarnya sudah begitu tinggi tidak membatasi diri pada ruang dan waktu. Hanya saja yang terus jadi pertanyaan Mbak Sri dan Mas Lothong apakah Tuhan ridho dengan istilah mahasiswa, lha wong jelas yang boleh pake kata-kata maha itu siapa? Hehehe...”
“Nah, jadi wisata itu juga belajar dari hal-hal yang dijumpai, fenomena yang terekam mata, suara-suara yang tertampung ditelinga, sentuhan-sentuhan yang terasa di pengecap dan perasa, dan aroma-aroma yang terhirup lewat hidung kita. Itulah laboratorium alam semesta. Tinggal mau diolah pake apa? Kebanyakan mikir jadi tidak ada aksinya, kebanyakan dirasakan keluar bapernya, dan kebanyakan nafsu brahi jadi membabi buta jegal sana sruduk sini.” Begitu pesan Mbak Sri dan Mas Lothong kepada saya. Saya pun berusaha manthuk-manthuk dan mengiyakan saja daripada kalau saya tanggepin tambah jebol kepala saya.
Jadi dari Mbak Sri dan Mas Lothong saya belajar, mau mengulang adalah esensi dari belajar. Belajar bukan sekedar tahu, tetapi tahu kemudian mempertanyakan pengetahuannya itu. Jadi jangan sombong yang udah pernah datang ke Bali berkali-kali itu belum cukup untuk anda betul-betul memahami Bali. Itu kata Mbak Sri dan Mas Lothong lho... bukan kata saya.
-//-
Mengambil duduk baris kedua dari depan Ki Wangsa terlihat serius mengamati sekeliling tempat pementasan. Sorot matanya begitu tajam dan waspada seolah sedang menggambarkan keadaan gawat. Kami sebagai muridnya juga merasa was-was, khawatir kalau Ki Wangsa tidak berkenan dengan suguhan yang ada. Kami pun duduk di sekitar Ki Wangsa terdiam hanya bisa saling memandang, bertanya-tanya mengapa Ki Wangsa tidak seperti biasanya.
Gembili dan Cilembu malah bikin gara-gara melempar sandal butut ke pentas di hadapan Ki Wangsa. Sontak seisi ruangan menjadi gaduh menyoraki kelakuan dua murid sinting ini. Kami semakin tegang, jangan-jangan Ki Wangsa akan murka dengan kejadian ini. Sudah kami bayangkan betapa ngerinya jika Ki Wangsa mengeluarkan ajian geger khayangannya, jagad dewata pun akan tersapu berantakan.
Terdengar lirih di telinga kami... “Bismillahirohmanirohim.. perhatikan semua, ini sudah mau dimulai”
Sungguh lega perasaan kami, ternyata Ki Wangsa tadi sedang mengatur suasana batin dan menetralisir keadaan di ruangan tersebut. Berarti peristiwa sandal njepat dari dua murid sintingnya tidak benar-benar diketahu detail oleh Ki Wangsa.
Kami pun terlarut dalam alunan sakral tari kecak. Tiba-tiba terdengar, cik.. cik.. cik... Di ulanginya setiap kali menyaksikan bagian-bagian tari kecak oleh Ki Wangsa. Sementara saya bersama Mas Lothong dan Mbak Sri tidak begitu memahami maksud guru kami. Sesekali kami menengok pada Ki Wangsa namun eksperinya hanya terfokus ke arah panggung. Ketika penari di hadapan kami berhenti mengalunkan suara kecak-kecaknya dengan cik..cik..hemm. Ki Wangsa terkekeh, “hahah kalau berhenti pakai hemm.”
Ternyata Ki Wangsa sedang mempraktikan apa yang dikatakan pedande yang kami temui saat perjalanan bahwa kecak akan berhenti dengan kata cik. Begitulah Ki Wangsa yang sederhana  tetapi  tidak perlu ditanyakan lagi tingkat elmu katon maupaun kanuragannya. Walaupun begitu beliau tidak memerlukan gelar apapun untuk disematkan karena gelar malah akan merendahkan maqomnya. Ki Wangsa guru sejati laku dan setiap tuturnya merupakan representasi derajatnya, sejatinya besar namun tak perlu dibesar-besarkan. Sampai sekarang kami masih punya pekerjaan untuk belajar elmu ala Ki Wangsa, sejatine ora ono opo-opo kejaba dudu.
Saya pun tergelitik untuk bertaya, “Ki Wangsa sudah berapa kali nonton pementasan ini?”
“Hahaha, baru 16 kali..” jawabnya dengan santai.
“wedyannnn..”
-//-
Lain lagi kisah Mbak Nyunyun dan orang ijip. Malam itu kami berlima berjalan-jalan menyusuri lorong sunyi di kawasan Legian. Hamparan jalan panjang dengan lautan jiwa-jiwa kosong. Kami berlima harus terpisah dari rombongan yang memutuskan melanjutkan perjalanan mencari dunia lain. Entah mengapa malam itu Mbak Nyunyun mengajak berhenti sejenak di depan warung remang-remang untuk sekedar mencari air  minum.
Cerita dimulai ketika dua orang berwajah arab datang. Nampak dua arab ini mengambil beberapa kaleng susu dan meminta dua bungkus rokok berlabel tembakau virginia dengan lisensi american blended. Mbak Nyunyun yang sedang antre membayar ditemani Mbak Siti tiba-tiba dihampiri oleh dua arab tersebut. Tanpa panjang lebar dua arab membelikan beberapa makanan yang dari kejauhan saya hitung jumlahnya cukup untuk kami berlima.
Masyaallah.. Masyaallah.. I give you because you’re moslem..
Dan mereka terdengar asik mengobrol sampai dikenalkan pada anak arab tersebut. Bagi Mbak Nyunyun ini semacam kebahagiaan yang luar biasa rizki yang berasal dari arah yang tak disangka sangka.. min haitsu la yahtasib... seko wong arab dab! Hahaha rejeki anak solekhah.. Walaupun yang banyak ngobrol sebenarnya Mbak Siti. Yang masih jadi pertanyaan oleh Mbak Nyunyun dan Siti, "ijip itu daratan arab bagian mana ya diantara 18 negara yang ada?"
-//-
Nyolong dalam peradaban manapun di dunia merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir, kecuali lagi ngimpi  dan akting. Mbak Sri malam itu merasa tidak nyaman lantaran bantal di kamarnya kurang satu. Satu-satunya jalan adalah nyolong bantal kamar lain. Di seluruh peginapan itu yang tidurnya hanya sendirian ya jelas Ki Wangsa, maka sebagai murid kesayangan Mbak Sri memberanikan diri menemui gurunya.
Diketuknya pintu dengan perlahan.
“Cik cik.. eh permisi Ki...”
(Kriettttt...) pintu berderit terbuka perlahan
Ki Wangsa menelongok keluar menengok kanan dan kiri. Ia merasa kebingungan kok tidak ada orang.
“Saya di sini Ki..” kata Mbak Sri.
“Oalah lha kecil banget sampai tidak keliahatan...”
Perawakan Ki Wangsa yang tinggi besar akan berbanding terbalik dengan Mbak Sri yang mungil. Jadi kalau ngobrol dengan posisi berdiri Ki Wangsa harus merunduk dan Mbak Sri terpaksa mendongak. Mbak Sri segera mengutarakan maksudnya untuk meminjam bantal Ki Wangsa, ia pun segera pamit pergi takut mengganggu ritus samadi Ki Wangsa. Kalau kelamaan ngobrol takut juga kena sakit leher.
-//-
Tukang foto dadakan pantas disematkan pada diri Al-qudsy. Ia tak perlu memperlihatkan diri sebagai fotografer profesional tetapi hasil jepretannya sudah mencerminkan kesucian dari setiap objeknya. Objek favoritnya adalah sosok tampan Raden Ronggo Setyo Nugroho. Sudah segitu aja.
Barangkali yang masih mengganjal adalah sosok yang ikut dalam bus selama perjalanan. Entah itu mau jadi cerita lalu saja atau perlu di riset keberadaannya. Ia hanya muncul sekali di wilayah hutan situbondo menurut keterangan Uni Boss. Percayalah. Hahaha...
-//-
Sampai bagian ini masih belum jelas siapa kerupuk yang membuat catatan ini. Atau masing-masing dari kita menjadi kerupuk di setiap peristiwa yang ada. Ini bukan berarti terpisah-pisah dalam kelompok peristiwa, kelompok teman sepermainan, kelompok-keompok kecil yang memberi jarak. Kerupuk sudah menapaki hubungan makrokosmos, ia tidak ada di keberadaannya namun ia hadir untuk memberi ada. Ada peristiwa mabok darat yang tak perlu search and rescue, karena sudah kedengeran hoek-hoeknya dari mana. Ada peristiwa salah mendarat di tanjung benoa. Ada banyak yang lain yang tidak diada-adakan.

Masih banyak catatan kerupuk yang sudah mulai tidak bambung lagi. Seperti orang yang apa adanya orang tidak perlu imbuhan menjelaskan sebagai orang besar, orang kaya, orang gila, orang miskin, orang pandai. Orang ya orang saja...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb