Memulai tulisan ini tak ubahnya
membalik lembar-lembar memori ke halaman sebelumnya. Di halaman ke berapa
segmen cerita ini dimulai akan sangat sulit ditemukan. Ya, karena sampai saat
ini kami belum tahu sedang membuat kisah roman, sekedar cerpen, atau hanya
sajak-sajak singkat. Tetapi salah satu dari kami ternyata tak sengaja telah
menyiapkan semacam catatan-catatan kecil.
Katanya, lha wong aku ini cuma
kerupuk di antara sajian makanan. Kerupuk saja kerupuk tidak jelas bentuknya, sedeng
wadahnya , edan warnanya, kurang waras rasanya, bikin konslet kalau dimakan dan
ditelan mentah-mentah. Dan semuanya sangat pas terakumulasi menjadi istilah
kerupuk bambung. Tidak usah berbicara
kandungan gizi, dari aromanya saja sudah tidak meyakinkan. Tetapi jangan salah
aku ini tetap terlibat dalam setiap sajian, kadang sekedar penghias, diambil-digigit
lalu dibuang, dicelup ke dalam kuah jadi lembek, atau nasib yang lebih mujur
benar-benar dinikmati kerenyahannya.
Namanya juga kerupuk nggak mungkin
jadi nasi, jadi lauk, jadi sayur, dan lain-lain. Kerupuk ya tetap kerupuk yang
nerima mau diposisikan seperti apa, kadang harus ajur-ajer sampai tidak terasa kerupuknya lagi. Padahal kerupuk
selalu ngimpi seperti esensi namanya ketika dimakan kerpuk-kerpuk bunyinya.
Kerupuk bukan soal rasa, ia keindahan, kemesraan, kekuatan, kehadiran pembeda,
di setiap kenikmatan.
-//-
Study Lab ke
Bali dan sebenarnya juga tidak study-study
banget. Lha wong kalau ditanya dari 5 orang responden 3 akan menjawab piknik,
wisata, plesiran, dan liburan. Tetapi tidak masalah karena ini hanya perkara
redaksional sebagai laporan kegiatan wajib dari kebijakan yang ada.
“Lhah berarti hanya sekedar menggugurkan kewajiban?”
“Sik-sik tho, ojo kesusu membuat kesimpulan...”
Mbak Sri dan Mas Lothong pasti akan
mulai berfilsafat menjawab pertanyaan seperti ini. Kadang jawabannya meyakinkan
dan berhasil mengelabuhi beberapa orang padahal kata-katanya kalau coba diresapi
begitu labil dan ambigu. Bisa saja berakhir tidak serius dengan guyonan tetapi
sebenarnya itu sedang mengungkapkan pesan tersembunyi. Hha saya jamin mumet,
disarankan kalau ngomong sama Mbak Sri dan Mas Lothong jangan lama-lama, cukup
satu jam saja.
Mbak Sri dan Mas Lothong mulai
bersautan berbicara. “Study itu
mewakili kata belajar dan lab itu laboratorium untuk belajar. Study lab malah terkesan membatasi ruang
dan waktu untuk belajar. Padahal kami sebagai seorang mahasiswa, tingkat
belajarnya sudah begitu tinggi tidak membatasi diri pada ruang dan waktu. Hanya
saja yang terus jadi pertanyaan Mbak Sri dan Mas Lothong apakah Tuhan ridho
dengan istilah mahasiswa, lha wong jelas yang boleh pake kata-kata maha itu
siapa? Hehehe...”
“Nah, jadi wisata itu juga belajar
dari hal-hal yang dijumpai, fenomena yang terekam mata, suara-suara yang
tertampung ditelinga, sentuhan-sentuhan yang terasa di pengecap dan perasa, dan
aroma-aroma yang terhirup lewat hidung kita. Itulah laboratorium alam semesta. Tinggal
mau diolah pake apa? Kebanyakan mikir jadi tidak ada aksinya, kebanyakan
dirasakan keluar bapernya, dan kebanyakan nafsu brahi jadi membabi buta jegal
sana sruduk sini.” Begitu pesan Mbak Sri dan Mas Lothong kepada saya. Saya pun
berusaha manthuk-manthuk dan mengiyakan saja daripada kalau saya tanggepin tambah
jebol kepala saya.
Jadi dari Mbak Sri dan Mas Lothong
saya belajar, mau mengulang adalah esensi dari belajar. Belajar bukan sekedar
tahu, tetapi tahu kemudian mempertanyakan pengetahuannya itu. Jadi jangan
sombong yang udah pernah datang ke Bali berkali-kali itu belum cukup untuk anda
betul-betul memahami Bali. Itu kata Mbak Sri dan Mas Lothong lho... bukan kata
saya.
-//-
Mengambil duduk baris kedua dari
depan Ki Wangsa terlihat serius mengamati sekeliling tempat pementasan. Sorot
matanya begitu tajam dan waspada seolah sedang menggambarkan keadaan gawat.
Kami sebagai muridnya juga merasa was-was, khawatir kalau Ki Wangsa tidak
berkenan dengan suguhan yang ada. Kami pun duduk di sekitar Ki Wangsa terdiam
hanya bisa saling memandang, bertanya-tanya mengapa Ki Wangsa tidak seperti
biasanya.
Gembili dan Cilembu malah bikin
gara-gara melempar sandal butut ke pentas di hadapan Ki Wangsa. Sontak seisi
ruangan menjadi gaduh menyoraki kelakuan dua murid sinting ini. Kami semakin
tegang, jangan-jangan Ki Wangsa akan murka dengan kejadian ini. Sudah kami
bayangkan betapa ngerinya jika Ki Wangsa mengeluarkan ajian geger khayangannya,
jagad dewata pun akan tersapu berantakan.
Terdengar lirih di telinga kami...
“Bismillahirohmanirohim.. perhatikan semua, ini sudah mau dimulai”
Sungguh lega perasaan kami, ternyata
Ki Wangsa tadi sedang mengatur suasana batin dan menetralisir keadaan di
ruangan tersebut. Berarti peristiwa sandal njepat dari dua murid sintingnya
tidak benar-benar diketahu detail oleh Ki Wangsa.
Kami pun terlarut dalam alunan sakral
tari kecak. Tiba-tiba terdengar, cik.. cik.. cik... Di ulanginya setiap kali
menyaksikan bagian-bagian tari kecak oleh Ki Wangsa. Sementara saya bersama Mas
Lothong dan Mbak Sri tidak begitu memahami maksud guru kami. Sesekali kami
menengok pada Ki Wangsa namun eksperinya hanya terfokus ke arah panggung.
Ketika penari di hadapan kami berhenti mengalunkan suara kecak-kecaknya dengan
cik..cik..hemm. Ki Wangsa terkekeh, “hahah kalau berhenti pakai hemm.”
Ternyata Ki Wangsa sedang mempraktikan
apa yang dikatakan pedande yang kami temui saat perjalanan bahwa kecak akan
berhenti dengan kata cik. Begitulah Ki Wangsa yang sederhana tetapi tidak perlu ditanyakan lagi tingkat elmu katon
maupaun kanuragannya. Walaupun begitu beliau tidak memerlukan gelar apapun
untuk disematkan karena gelar malah akan merendahkan maqomnya. Ki Wangsa guru
sejati laku dan setiap tuturnya merupakan representasi derajatnya, sejatinya
besar namun tak perlu dibesar-besarkan. Sampai sekarang kami masih punya pekerjaan
untuk belajar elmu ala Ki Wangsa, sejatine ora ono opo-opo kejaba dudu.
Saya pun tergelitik untuk bertaya, “Ki Wangsa sudah berapa
kali nonton pementasan ini?”
“Hahaha, baru 16 kali..” jawabnya dengan santai.
“wedyannnn..”
-//-
Lain lagi kisah Mbak Nyunyun dan
orang ijip. Malam itu kami berlima berjalan-jalan menyusuri lorong sunyi di
kawasan Legian. Hamparan jalan panjang dengan lautan jiwa-jiwa kosong. Kami
berlima harus terpisah dari rombongan yang memutuskan melanjutkan perjalanan
mencari dunia lain. Entah mengapa malam itu Mbak Nyunyun mengajak berhenti
sejenak di depan warung remang-remang untuk sekedar mencari air minum.
Cerita dimulai ketika dua orang
berwajah arab datang. Nampak dua arab ini mengambil beberapa kaleng susu dan
meminta dua bungkus rokok berlabel tembakau virginia dengan lisensi american
blended. Mbak Nyunyun yang sedang antre membayar ditemani Mbak Siti tiba-tiba
dihampiri oleh dua arab tersebut. Tanpa panjang lebar dua arab membelikan
beberapa makanan yang dari kejauhan saya hitung jumlahnya cukup untuk kami
berlima.
Masyaallah..
Masyaallah.. I give you because you’re moslem..
Dan mereka terdengar asik mengobrol
sampai dikenalkan pada anak arab tersebut. Bagi Mbak Nyunyun ini semacam
kebahagiaan yang luar biasa rizki yang berasal dari arah yang tak disangka
sangka.. min haitsu la yahtasib...
seko wong arab dab! Hahaha rejeki anak solekhah.. Walaupun yang banyak ngobrol
sebenarnya Mbak Siti. Yang masih jadi pertanyaan oleh Mbak Nyunyun dan Siti, "ijip itu daratan arab bagian mana ya diantara 18 negara yang ada?"
-//-
Nyolong dalam peradaban manapun di
dunia merupakan perbuatan yang tidak bisa ditolerir, kecuali lagi ngimpi dan akting. Mbak Sri malam itu merasa tidak
nyaman lantaran bantal di kamarnya kurang satu. Satu-satunya jalan adalah
nyolong bantal kamar lain. Di seluruh peginapan itu yang tidurnya hanya
sendirian ya jelas Ki Wangsa, maka sebagai murid kesayangan Mbak Sri
memberanikan diri menemui gurunya.
Diketuknya pintu dengan perlahan.
“Cik cik.. eh permisi Ki...”
(Kriettttt...) pintu berderit terbuka
perlahan
Ki Wangsa menelongok keluar menengok kanan dan kiri. Ia
merasa kebingungan kok tidak ada orang.
“Saya di sini Ki..” kata Mbak Sri.
“Oalah lha kecil banget sampai tidak
keliahatan...”
Perawakan Ki Wangsa yang tinggi besar
akan berbanding terbalik dengan Mbak Sri yang mungil. Jadi kalau ngobrol dengan posisi
berdiri Ki Wangsa harus merunduk dan Mbak Sri terpaksa mendongak. Mbak Sri
segera mengutarakan maksudnya untuk meminjam bantal Ki Wangsa, ia pun segera
pamit pergi takut mengganggu ritus samadi Ki Wangsa. Kalau kelamaan ngobrol takut
juga kena sakit leher.
-//-
Tukang foto dadakan pantas disematkan
pada diri Al-qudsy. Ia tak perlu
memperlihatkan diri sebagai fotografer profesional tetapi hasil jepretannya
sudah mencerminkan kesucian dari setiap objeknya. Objek favoritnya adalah sosok
tampan Raden Ronggo Setyo Nugroho. Sudah segitu aja.
Barangkali yang masih mengganjal
adalah sosok yang ikut dalam bus selama perjalanan. Entah itu mau jadi cerita
lalu saja atau perlu di riset keberadaannya. Ia hanya muncul sekali di wilayah
hutan situbondo menurut keterangan Uni Boss. Percayalah. Hahaha...
-//-
Sampai bagian ini masih belum jelas
siapa kerupuk yang membuat catatan ini. Atau masing-masing dari kita menjadi
kerupuk di setiap peristiwa yang ada. Ini bukan berarti terpisah-pisah dalam kelompok
peristiwa, kelompok teman sepermainan, kelompok-keompok kecil yang memberi
jarak. Kerupuk sudah menapaki hubungan makrokosmos, ia tidak ada di
keberadaannya namun ia hadir untuk memberi ada. Ada peristiwa mabok darat yang
tak perlu search and rescue, karena
sudah kedengeran hoek-hoeknya dari mana. Ada peristiwa salah mendarat di
tanjung benoa. Ada banyak yang lain yang tidak diada-adakan.
Masih banyak catatan kerupuk yang
sudah mulai tidak bambung lagi. Seperti orang yang apa adanya orang tidak perlu
imbuhan menjelaskan sebagai orang besar, orang kaya, orang gila, orang miskin,
orang pandai. Orang ya orang saja...
Komentar
Posting Komentar