Langsung ke konten utama

Kerupuk “Bambung” dan Study Lab Bali (bagian 2)

Setelah menyelesaikan cerita bagian satu yang amburadul kohesi dan koherensinya, sepertinya menjadi hutang kalau catatan lain tidak saya narasikan. Atau saya bikin surat pernyataan tidak sanggup melanjutkan cerita, ditandatangani Ki Wangsa, agar sosok asli yang punya catatan juga merasa bertanggungjawab untuk menceritakan kembali. Sudut pandang saya begitu sempit dan sangat tidak sopan menggunakan istilah bambung. Tapi setidaknya kalau kerupuknya tidak kelihatan maka bambungnya sudah jelas. Nah, yang bikin bambung ya penulisnya jadi tidak usah ditanggepin serius-serius.
Penulisnya liar, kelakuannya kadang amoral, kalau kata teman-teman ngopinya cangkeme ndodro. Jadi, mau bikin tulisan sebanyak apapun dan sampai jadi beberapa buku juga tidak akan pernah diterbitkan dan pasti tidak laku dipasaran. Tapi saya ini hanya berusaha jujur. Lha wong katanya Mbah Tedjo, “di Indonesia ini tidak ada sampah yang banyak orang-orang tak bermoral yang ngakunya bermoral, lha kalau bajingan ya ngaku bajingan saja, kayak aku ini cuk..!” Itu tadi bagian dari penggalan puisi saja lho. Rileks cuk...
Catatan kali ini semoga lebih bermutu isinya dari pada yang sudah-sudah. Bukan dalam artian yang sebelumnya itu tidak bermutu. Tetapi kalau tetap tidak bermutu berarti jelas penulis cerita yang kualitasnya rendahan.
-//-
Beberapa anjing menyalak ketika kami melanjutkan perjalanan memburu kawruh sejati. Anjingnya ini beneran dan asunya juga ada. Saya berjalan normal saja dan malah sibuk membahas anjing sama Mbak  Nawang. Padahal disana-sini ada yang ndemimil baca-baca sebisanya supaya tidak diganggu, jalan mepet-mepet temennya, dan ada pula yang nutup muka sambil mempercepat langkah.
Mbak Nawang atau Nawangsih ini punya saudara kembar yaitu Nawang Wulan. Mereka masih punya  saudara tua yaitu Kyai Sapu Jagad, di situ saya pun berusaha memposisikan diri sebagai Sosok Kyai Sapu Jagad yang sekarang tinggal di wilayah Merapi. Kalau tidak percaya di riset saja. Itulah trik-trik kalau mau nyambung dengan pribadi yang berbeda-beda, jadilah anda seperti sosok saudara terdekatnya. Padahal aslinya Mbak Nawang anak tunggal. Loh piye to? Tetapi karena posisi saya sebagai penulis maka bebas-bebas saja mengarang cerita ini. Jadi si Kyai Sapu Jagad dan Nawang Wulan itu ya anggap saja saudaraan beneran. Kalau sosok Kyai Sapu Jagad ini begitu berkarisma, ya bisa dibilang saya mirip-mirip dikit, dikit banget. Lha kalau mau tahu yang Nawang Wulan ini tinggalnya di Pantai Selatan, kapan-kapan kita maen ke sana saja biar percaya. J
Kata Mbak Nawangsih, mengenal Anjing itu bisa kita lihat dari ekornya. Pertama, kalau ke bawah arahnya dan terus menggonggong menunjukkan ketakutan alias terancam. Maka jangan berbuat sesuatu yang semakin membuatnya jadi merasa terintimidasi. Kedua, kalu ekornya naik dan digoyang kipat-kipit berarti menunjukkan suasana senang kepada yang ditemuinya. Atau bisa juga menggonggong karena tidak kenal dan merasa asing dengan orang yang ditemuinya. Pemahaman perilaku ini didapatkan dari belajar langsung, kebetulan Mbak Nawang memelihara anjing.
Kami pun asyik dalam bahasan ini sampai nyambung kesana-sini. Anjing ini memang menduduki peristiwa yang krusial dan unik dalam kehidupan, ada kisah pelacur yang mendapatkan surga karena memberikan air bekalnya kepada anjing kehausan. Sampai nyambung kisah Qithmir anjing dalam ashabul kahfi. Saya begitu ngefans dengan anjing, karena belum tentu bisa ngakoni hidup jadi anjing. Saya malah ditanya, emm anjing najis to? Hehe kalau ada yang menganggap anjing hewan najis dan sebagainya, lha kalau kena najis ya tinggal dibersihkan dan disucikan saja. Tiba-tiba ada yang nyaut pembicaraan kami,

“sudah-sudah jangan diteruskan”
”lha wong sama generasi formal kok ngajari begituan, tahunya ya najis itu dihindari tapi kalau ada keganasan hewani dalam hatinya itu malah ga masalah...”

Karena jalan kakinya itu hanya 500 meter lalu sudah tidak ketemu anjing lagi maka pembahasan selesai. Tapi cita-cita hidup saya sederhana setelah memelihara kumis kemungkinan berikutnya memelihara anjing, kan jadi gahar.
-//-
Ada kalanya...
“Ada kalanya ngudud kretek itu memang nikmat”, kata Upin penumpang dari keluarga sebelah. Rokoknya simbah, rokoknya kemput, yang paling parah bilang rokoknya dukun. Tetapi bagi tim huru hara anti asap tembakau seperti Jeng Yanti, getol bener menasehati para ahlul hisap ini. Kami pun sebenarnya menghormati yang alergi asap rokok dengan tidak berada dekat-dekat dengan mereka. Tapi namanya asap itu larinya jelas di luar kendali yang merokok kecuali kalau di telan.
Kretek dan dukun itu otak atik gatuk yang sebenarnya tidak ada gatuk-gatuknya sama sekali. Hanya sekedar ujaran untuk menambah bahan guyonan. Pada bagian pertama saya sempat menyingung sedikit tentang penumpang gelap yang katanya Uni Boss ikut saat perjalanan pulang. Penumpang gelap itu siapa sebenarnya dan apa maksud kedatangannya. Hal itu sempat menjadi obrolan menarik di beberapa kesempatan. Sebenarnya kalau itu urusannya sama makhluk sebangsa jin ya wajar-wajar saja wong mereka juga ada di sekitar kita. Yang jadi tidak wajar kan yang kadang-kadang mendramatisir ceritanya dan nambahi cerita yang lain. Parah lagi yang pake dasar analisis perdukunan, maaf ini dalam konotasi orang pinter elmu karang. Jangan-jangan S.Pd. Sarjana Perdukunan, maka selamatlah yang gelarnya S.s. Hahaha...  Tapi sebenarnya tidak ada orang pinter kok ngaku-ngaku, apalagi ngaku dukun.

“Belumlah jadi sesuatu kalau anda masih harus mengaku-ngaku sebagai sesuatu,” bisik mbak Sri lirih di kuping saya.
“Aduh geli mbakkk...”

Lha trus yang penumpang gelap tadi siapa? Ya semuanya penumpang gelap karena kejadiannya malam hari.. sudah gitu aja... (kebullll...)
-//-
Catatan berikutnya bertuliskan tanjung benoa penuh derita. Kocap kacarita Ki Wangsa begitu semangat memimpin murid-muridnya untuk mampir ke penangkaran penyu dengan menggunakan glass bottom boat. Berangkatlah dua rombongan menggunakan perahu. Nah, waktu pulangnya sudah ditunggu-tunggu begitu lama tidak kunjung tiba. Wah, ternyata rombongan perahu yang ditumpangi Gembili dan Cilembu salah mendarat akibatnya harus menempuh perjalanan beberapa ratus meter ke lokasi transit. Berbeda dengan rombongan Ki Wangsa yang malah langsung jalan duluan ke parkiran. Kesimpulannya, ga mungkin berani lah ngerjain rombongan yang didalamnya ada pendekarnya.
Ada hal lain yang jadi pengalaman penulis dan Uni Boss ketika mengunjungi pura tanah lot. Sudah jadi hal umum apabila mengunjungi tanah lot tak boleh melewatkan berkah segarnya air tawar yang menyembur di daerah pantai. Di sana kita akan menikmati metirta, mesekar, dan mebija yang dipandu oleh pamangku. Artinya apa? Silakan tanya mbah wikipedia, wahai generasi  internet.
Biasanya seusai rangkaian tersebut ada bentuk sedekah yang diberikan. Kami berdua tidak membawa uang saat itu, kehabisan sebenarnya karena kabarnya ada yang belanjanya dipengaruhi alam bawah sadar. Walhasil merogoh kocek seadanya dan keluarlah lembaran pangeran antasari. Silahkan dibayangkan sendiri...
Tetapi saya ingat kata Ki Wangsa, pernah suatu waktu beliau membeberkan elmu uang seribu lebih baik daripada sertus ribu. Kok bisa? Ya, karena seribu itu malah sering keluar masuk kotak infaq, diberikan pada yang membutuhkan, berteman dengan buruh-buruh kasar. Daripada seratus ribu yang cuma keluar masuk mesin dan hura-hura di tempat hiburan. Ini maksudnya bukan terus harus ngopeni uang-uang kecil tetapi lihatlah segala hal dari manfaatnya bukan bentuk, nilai, dan harganya.
-//-
Ketahanan fisik masing-masing orang memang berbeda-beda. Cerita sepanjang perjalanan bisa jadi gambaran keadaan yang tidak mudah dijelaskan. Kendaraan darat sejenis bus, mau berbintang 5 dan berisi fasilitas lengkap tidak akan menjamin kenyamanan bagi yang tidak terbiasa. Guncangan-guncangan juga cukup untuk menggoyang-goyang isi perut. Hal itu masih diperparah dengan memutar lagu dangdut sepanjang perjalanan dan memaksa kita untuk ikut bergoyang. Sebenarnya bukan lagunya yang bermasalah tetapi beberapa yang karaokean suaranya memicu kontraksi di perut. Ini kata catatan lho...
Apalagi ditambah perjalanan menggunakan jalur laut dimana harus menumpang kapal penyebrangan. Sudah barang tentu juga banyak angin di laut dan bikin masuk angin. Yang familier dengan kata mabuk bisa jadi ketemu mabuk darat dan mabuk laut. Yang jelas itu jadi pengalaman tak terlupakan buat cerita anak dan cucu. Maksudnya pengalaman perjalanannya, bukan pengalaman mabuknya. Luar biasanya tanpa dikomando dan diinstruksikan banyak relawan aksi cepat tanggap dan tim sar dadakan untuk segera membantu sebisanya. Oke catatan bagian ini rasanya cukup, namanya juga kali pertama berkegiatan bersama maka selalu ada kedua dan seterusnya yang semoga semakin baik.
-//-

Cerita ini kalau hanya berakhir di dua segmen pasti tidak menarik, apalagi penulisnya satu jadi tidak ada komparasi perspektifnya. Lebih baik kalau ada lanjutannya lagi. Jadi diputuskan untuk tidak tamat, karena inti cerita yaitu study lab masih begitu panjang. Sekali lagi saya tawarkan, bacalah-tulislah-ambil hikmah kalau tidak ada hikmah ya minimal lihat dokumentasi fotonya dan tertawakanlah bersama-sama. klik di sini >> https://www.youtube.com/watch?v=p5GqcrTH5vg

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di