Setelah
menyelesaikan cerita bagian satu yang amburadul kohesi dan koherensinya,
sepertinya menjadi hutang kalau catatan lain tidak saya narasikan. Atau saya
bikin surat pernyataan tidak sanggup melanjutkan cerita, ditandatangani Ki
Wangsa, agar sosok asli yang punya catatan juga merasa bertanggungjawab untuk
menceritakan kembali. Sudut pandang saya begitu sempit dan sangat tidak sopan
menggunakan istilah bambung. Tapi setidaknya kalau kerupuknya tidak kelihatan
maka bambungnya sudah jelas. Nah, yang bikin bambung ya penulisnya jadi tidak
usah ditanggepin serius-serius.
Penulisnya
liar, kelakuannya kadang amoral, kalau kata teman-teman ngopinya cangkeme ndodro. Jadi, mau bikin tulisan sebanyak apapun dan sampai jadi
beberapa buku juga tidak akan pernah diterbitkan dan pasti tidak laku
dipasaran. Tapi saya ini hanya berusaha jujur. Lha wong katanya Mbah Tedjo, “di
Indonesia ini tidak ada sampah yang banyak orang-orang tak bermoral yang
ngakunya bermoral, lha kalau bajingan ya ngaku bajingan saja, kayak aku ini
cuk..!” Itu tadi bagian dari penggalan puisi saja lho. Rileks cuk...
Catatan
kali ini semoga lebih bermutu isinya dari pada yang sudah-sudah. Bukan dalam
artian yang sebelumnya itu tidak bermutu. Tetapi kalau tetap tidak bermutu
berarti jelas penulis cerita yang kualitasnya rendahan.
-//-
Beberapa
anjing menyalak ketika kami melanjutkan perjalanan memburu kawruh sejati. Anjingnya ini beneran dan asunya juga ada. Saya
berjalan normal saja dan malah sibuk membahas anjing sama Mbak Nawang. Padahal disana-sini ada yang ndemimil
baca-baca sebisanya supaya tidak diganggu, jalan mepet-mepet temennya, dan ada
pula yang nutup muka sambil mempercepat langkah.
Mbak
Nawang atau Nawangsih ini punya saudara kembar yaitu Nawang Wulan. Mereka masih
punya saudara tua yaitu Kyai Sapu Jagad,
di situ saya pun berusaha memposisikan diri sebagai Sosok Kyai Sapu Jagad yang
sekarang tinggal di wilayah Merapi. Kalau tidak percaya di riset saja. Itulah
trik-trik kalau mau nyambung dengan pribadi yang berbeda-beda, jadilah anda
seperti sosok saudara terdekatnya. Padahal aslinya Mbak Nawang anak tunggal. Loh piye to? Tetapi karena posisi saya
sebagai penulis maka bebas-bebas saja mengarang cerita ini. Jadi si Kyai Sapu Jagad
dan Nawang Wulan itu ya anggap saja saudaraan beneran. Kalau sosok Kyai Sapu
Jagad ini begitu berkarisma, ya bisa dibilang saya mirip-mirip dikit, dikit
banget. Lha kalau mau tahu yang Nawang Wulan ini tinggalnya di Pantai Selatan,
kapan-kapan kita maen ke sana saja biar percaya. J
Kata
Mbak Nawangsih, mengenal Anjing itu bisa kita lihat dari ekornya. Pertama,
kalau ke bawah arahnya dan terus menggonggong menunjukkan ketakutan alias
terancam. Maka jangan berbuat sesuatu yang semakin membuatnya jadi merasa terintimidasi.
Kedua, kalu ekornya naik dan digoyang kipat-kipit
berarti menunjukkan suasana senang kepada yang ditemuinya. Atau bisa juga
menggonggong karena tidak kenal dan merasa asing dengan orang yang ditemuinya.
Pemahaman perilaku ini didapatkan dari belajar langsung, kebetulan Mbak Nawang
memelihara anjing.
Kami
pun asyik dalam bahasan ini sampai nyambung kesana-sini. Anjing ini memang menduduki
peristiwa yang krusial dan unik dalam kehidupan, ada kisah pelacur yang
mendapatkan surga karena memberikan air bekalnya kepada anjing kehausan. Sampai
nyambung kisah Qithmir anjing dalam ashabul kahfi. Saya begitu ngefans dengan
anjing, karena belum tentu bisa ngakoni hidup jadi anjing. Saya malah ditanya,
emm anjing najis to? Hehe kalau ada yang menganggap anjing hewan najis dan
sebagainya, lha kalau kena najis ya tinggal dibersihkan dan disucikan saja. Tiba-tiba
ada yang nyaut pembicaraan kami,
“sudah-sudah
jangan diteruskan”
”lha
wong sama generasi formal kok ngajari begituan, tahunya ya najis itu dihindari tapi
kalau ada keganasan hewani dalam hatinya itu malah ga masalah...”
Karena
jalan kakinya itu hanya 500 meter lalu sudah tidak ketemu anjing lagi maka
pembahasan selesai. Tapi cita-cita hidup saya sederhana setelah memelihara
kumis kemungkinan berikutnya memelihara anjing, kan jadi gahar.
-//-
Ada
kalanya...
“Ada
kalanya ngudud kretek itu memang
nikmat”, kata Upin penumpang dari keluarga sebelah. Rokoknya simbah, rokoknya
kemput, yang paling parah bilang rokoknya dukun. Tetapi bagi tim huru hara anti
asap tembakau seperti Jeng Yanti, getol bener menasehati para ahlul hisap ini.
Kami pun sebenarnya menghormati yang alergi asap rokok dengan tidak berada
dekat-dekat dengan mereka. Tapi namanya asap itu larinya jelas di luar kendali
yang merokok kecuali kalau di telan.
Kretek
dan dukun itu otak atik gatuk yang sebenarnya tidak ada gatuk-gatuknya sama
sekali. Hanya sekedar ujaran untuk menambah bahan guyonan. Pada bagian pertama
saya sempat menyingung sedikit tentang penumpang gelap yang katanya Uni Boss
ikut saat perjalanan pulang. Penumpang gelap itu siapa sebenarnya dan apa maksud
kedatangannya. Hal itu sempat menjadi obrolan menarik di beberapa kesempatan.
Sebenarnya kalau itu urusannya sama makhluk sebangsa jin ya wajar-wajar saja
wong mereka juga ada di sekitar kita. Yang jadi tidak wajar kan yang
kadang-kadang mendramatisir ceritanya dan nambahi cerita yang lain. Parah lagi
yang pake dasar analisis perdukunan, maaf ini dalam konotasi orang pinter elmu karang. Jangan-jangan S.Pd. Sarjana
Perdukunan, maka selamatlah yang gelarnya S.s. Hahaha... Tapi sebenarnya tidak ada orang pinter kok
ngaku-ngaku, apalagi ngaku dukun.
“Belumlah
jadi sesuatu kalau anda masih harus mengaku-ngaku sebagai sesuatu,” bisik mbak
Sri lirih di kuping saya.
“Aduh
geli mbakkk...”
Lha
trus yang penumpang gelap tadi siapa? Ya semuanya penumpang gelap karena
kejadiannya malam hari.. sudah gitu aja... (kebullll...)
-//-
Catatan
berikutnya bertuliskan tanjung benoa penuh derita. Kocap kacarita Ki Wangsa
begitu semangat memimpin murid-muridnya untuk mampir ke penangkaran penyu
dengan menggunakan glass bottom boat.
Berangkatlah dua rombongan menggunakan perahu. Nah, waktu pulangnya sudah
ditunggu-tunggu begitu lama tidak kunjung tiba. Wah, ternyata rombongan perahu
yang ditumpangi Gembili dan Cilembu salah mendarat akibatnya harus menempuh
perjalanan beberapa ratus meter ke lokasi transit. Berbeda dengan rombongan Ki
Wangsa yang malah langsung jalan duluan ke parkiran. Kesimpulannya, ga mungkin
berani lah ngerjain rombongan yang didalamnya ada pendekarnya.
Ada
hal lain yang jadi pengalaman penulis dan Uni Boss ketika mengunjungi pura
tanah lot. Sudah jadi hal umum apabila mengunjungi tanah lot tak boleh
melewatkan berkah segarnya air tawar yang menyembur di daerah pantai. Di sana
kita akan menikmati metirta, mesekar, dan mebija yang dipandu oleh pamangku. Artinya
apa? Silakan tanya mbah wikipedia, wahai generasi internet.
Biasanya
seusai rangkaian tersebut ada bentuk sedekah yang diberikan. Kami berdua tidak
membawa uang saat itu, kehabisan sebenarnya karena kabarnya ada yang belanjanya
dipengaruhi alam bawah sadar. Walhasil merogoh kocek seadanya dan keluarlah
lembaran pangeran antasari. Silahkan dibayangkan sendiri...
Tetapi
saya ingat kata Ki Wangsa, pernah suatu waktu beliau membeberkan elmu uang
seribu lebih baik daripada sertus ribu. Kok bisa? Ya, karena seribu itu malah
sering keluar masuk kotak infaq, diberikan pada yang membutuhkan, berteman
dengan buruh-buruh kasar. Daripada seratus ribu yang cuma keluar masuk mesin
dan hura-hura di tempat hiburan. Ini maksudnya bukan terus harus ngopeni
uang-uang kecil tetapi lihatlah segala hal dari manfaatnya bukan bentuk, nilai,
dan harganya.
-//-
Ketahanan
fisik masing-masing orang memang berbeda-beda. Cerita sepanjang perjalanan bisa
jadi gambaran keadaan yang tidak mudah dijelaskan. Kendaraan darat sejenis bus,
mau berbintang 5 dan berisi fasilitas lengkap tidak akan menjamin kenyamanan
bagi yang tidak terbiasa. Guncangan-guncangan juga cukup untuk menggoyang-goyang
isi perut. Hal itu masih diperparah dengan memutar lagu dangdut sepanjang
perjalanan dan memaksa kita untuk ikut bergoyang. Sebenarnya bukan lagunya yang
bermasalah tetapi beberapa yang karaokean suaranya memicu kontraksi di perut.
Ini kata catatan lho...
Apalagi
ditambah perjalanan menggunakan jalur laut dimana harus menumpang kapal
penyebrangan. Sudah barang tentu juga banyak angin di laut dan bikin masuk
angin. Yang familier dengan kata mabuk bisa jadi ketemu mabuk darat dan mabuk
laut. Yang jelas itu jadi pengalaman tak terlupakan buat cerita anak dan cucu.
Maksudnya pengalaman perjalanannya, bukan pengalaman mabuknya. Luar biasanya
tanpa dikomando dan diinstruksikan banyak relawan aksi cepat tanggap dan tim
sar dadakan untuk segera membantu sebisanya. Oke catatan bagian ini rasanya cukup,
namanya juga kali pertama berkegiatan bersama maka selalu ada kedua dan
seterusnya yang semoga semakin baik.
-//-
Cerita
ini kalau hanya berakhir di dua segmen pasti tidak menarik, apalagi penulisnya satu
jadi tidak ada komparasi perspektifnya. Lebih baik kalau ada lanjutannya lagi. Jadi
diputuskan untuk tidak tamat, karena inti cerita yaitu study lab masih begitu panjang. Sekali lagi saya tawarkan,
bacalah-tulislah-ambil hikmah kalau tidak ada hikmah ya minimal lihat dokumentasi fotonya dan tertawakanlah
bersama-sama. klik di sini >> https://www.youtube.com/watch?v=p5GqcrTH5vg
Komentar
Posting Komentar