Percik Pemikiran Laboratorium Pendidikan Dasar Sanggar Anak Alam dan Catatan Pribadi Materi Perkuliahan
Memahami Anak Sekolah Dasar
Sering kali dalam berbagai literasi tentang perkembangan anak ditampilkan pemikiran-pemikiran, konsep, teori, serta contoh
implementasi mengenai pendidikan yang efektif pada lingkup formal. Padahal berbicara pendidikan
dalam pemaknaan yang luas akan menyentuh berbagai dimensi seperti pendidikan non-formal,
informal, bahkan pendidikan secara natural. Sementara pendidikan formal dimulai
ketika anak memasuki masa sekolah dasar. Masa sekolah dasar ini dalam teori
perkembangan merupakan bagian dari masa kanak-kanak akhir (late childhood). Istilah efektif yang sering digunakan tersebut
apabila kita kaitkan dengan tingkat sekolah dasar rasanya masih menjadi aporia.
Makna efektif yang seperti apa? Lalu bagaimana tingkat keefektifan selama ini?
Apakah efektif hanya sekedar menjawab tantangan zaman saja?
Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan identifikasi serta satu dasar yang jelas
untuk menjawabnya.
Tahapan-tahapan perkembangan kognitif
yang dikemukakan oleh Piaget sering menjadi bahan kajian dan tak bosannya di ulas. Misalnya tahapan operasional konkret yang ditandai dengan pertumbuhan kognitif yang
luar biasa dan merupakan tahapan formatif dalam pendidikan sekolah, karena ini
masanya bahasa dan penguasaan keterampilan-keterampilan anak bertambah cepat
secara dramatis (Schunk, 2012: 333). Anak-anak di usia ini yaitu berkisar 6
hingga memasuki kematangan usia seksual berkisar 12 tahun sedang mengalami
pesatnya perkembangan. Pengalaman anak tentunya memiliki peranan yang luar
biasa untuk mempengaruhi berbagai keterampilan seperti yang diungkapkan dalam
teori.
Taruhlah persepsi bahwa memang pengalaman
memegang peranan luar biasa. Pengalaman dalam artian yang sengaja diperoleh
maupun kejutan-kejutan peristiwa sepanjang perjalanan hidup. Pengalaman sering kali hadir
secara natural tetapi sebelum menyebutnya menjadi pengalaman yang mendidik,
membelajarkan, dan inspiratif, kiranya kita perlu merumuskan satu pandangan
baru. Seandainya yang disebut pengalaman anak itu diartikan sebagai anak
memahami, anak mengalami, dan anak memperoleh koneksi. Sementara, pengalaman
selama ini hanya berhenti pada kontekstual. Iya memang benar, anak sudah
mengalami termasuk bagaimana pendidikan mengemas pembelajaran dengan berbagai
teknik, metode, pendekatan yang mengutamakan konstruksi pemahaman tetapi
sudahkan memperoleh suatu koneksi? Pentingnya koneksi karena pendidikan harus
mampu menjawab berbagai tantangan zaman dan problematika kehidupan.
Setidak-tidaknya agar tidak terjebak dalam jurang kesalahan yang sama.
Koneksi dalam pendidikan bukan sekedar
peristiwa tertentu kemudian terkait dengan keilmuan tertentu. Kalau hanya
sebatas itu maka baru memenuhi syarat sebagai struktural kognitif. Jelas kurang
efektif berbeda jika pengetahuan lahir dengan bertanya-tanya tentang berbagai
hal hingga muncul kesadaran dan rasa ingin tahu. Orang jawa mengatakan “blilu tau, pinter durung nglakoni”
bodoh sudah, pandai belum mengalami yang bila diterjemahkan orang yang tidak
pandai dalam teori tetapi terampil mengerjakan sesuatu karena pengalamannya.
Untuk cara berpikir konstruk, membangun pengetahuan dari pengalaman seperti
dalam ungkapan tersebut bisa dikatakan hampir mendekati makna koneksi. Ini
hanya satu konsep yang berusaha saya bangun untuk nantinya berusaha
mengarahkan pada pendidikan efektif dalam mengelola ledakan kreativitas. Ledakan kreativitas yang muncul sebenarnya
tidak saja dari jalur konstruktivis melainkan juga berkembang dari sisi
kognitif. Koneksi ini saya gunakan agar jangan terlalu kaku dengan
istilah kognitif, afektif, psikomotorik. Seharusnya tidak terkotak tetapi
itulah koneksi ketiganya yang akhirnya membentuk manusia dengan kedaulatan berpikir
dan bertindak sehingga efeknya si pembelajar siap menghadapi segala kemungkinan.
Ledakan kreativitas ini memiliki
tantangan yang cukup berat. Khususnya dalam masyarakat jawa terkadang
hadir kebiasaan-kebiasaan mematikan rasa ingin tahu. Saya pribadi tinggal di wilayah jawa dan cukup konsen dalam
mengamati perilaku hidup jawa yang punya filosofi nga yaitu ngalah, ngalih, ngamuk, dan ngajeni. Di
satu sisi ini adalah falsafah hidup yang luar biasa dimana memilih untuk ngalah dan ngalih ketimbang harus ngamuk
(memberontak). Ngalah memang berbeda
makna yaitu sebagai bentuk upaya untuk tidak bersikap saja daripada memperkeruh
suasana atau ngalih dalam artian
menyingkir. Pilihan memberontak pun masih punya satu hal pedoman moral untuk ngajeni (menghormati). Namun terkadang
sikap pasif yang berlebihan ini juga membatasi cara-cara mendidik anak. Anak
banyak bertanya malah dibilang “bocah kok
criwis”. Saya tidak menyalahkan
pilihan itu karena budaya adalah hal yang pasti bertujuan dan berlatar baik.
Itu melatih kesabaran, menahan diri, tidak buru-buru mengerti yang belum
saatnya dimengerti. Namun, sebenarnya bisa saja ledakan-ledakan anak itu
difasilitasi menjadi ranah berpikirnya. Setiap rasa ingin tahu anak tidak perlu
kita menjawabnya secara langsung, balikkan saja dengan pertanyaan yang memaksa
anak juga berpikir.
Berikan anak benih agar tumbuh di ruang
berpikirnya, karena kalau sekedar jawaban itu sama saja dengan mematikan
kreativitas. Istilah jawa criwis pun
kalau disampaikan dengan tepat anak juga bisa saja menemukan koneksi “kok aku dikatakan criwis ya tetapi lain
waktu kok tidak”. Bisa jadi yang terlupakan oleh kita orang dewasa adalah
koneksi antara informasi dan penekanan nada, anak kadang belum begitu memahami suatu
perkataan dengan tepat tetapi penekanan tinggi dan rendah nada perlu di riset
lebih lanjut. Nada tinggi seperti terkesan membunuh seketika, satu dua kali
tidak masalah tetapi menjadi lain cerita kalau ternyata membentak itu sudah jadi
kebiasaan. Padahal ini berkaitan
dengan rasa, rasa yang ditangkap manusia dan manusia. Anak belum tentu cermat memahami
tetapi ia mampu merasakan.
Saya juga menangkap adanya hal lain yang
selama ini juga membayangi ledakan kreativitas yaitu bentuk komponen dan
kapasitas dalam diri anak. Jika ada dua solusi menangkap ledakan kreativitas
dalam pendidikan yaitu apakah pendidikan yang menggerakkan komponen atau yang
memenuhi kapasitas? Faktanya kebanyakan pendidikan saat ini hanya mengutamakan
komponen, memenuhi komponen. Namun sebenarnya ruang kreatif ada di kapasitas
berpikir. Kapasitas ini menjadi dasar pentingnya kita memahami psikologi dan
perkembangan. Apa yang semestinya didorong sesuai jangkauan anak? Bukan untuk
dipaksakan seolah-olah sebagai orang dewasa berhak menentukan menyusun isi
pengetahuan. Padahal pengetahuan itu hanya berkutat di urusan metode mengungkap
tabir (dis-cover). Hal mengenai
kapasitas ini sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Sholeh (2005: 118) bahwa daya
menghafal dan daya memorisasi (meletakan pengalaman dalam ingatan) adalah
paling kuat dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.
Ada hal yang kadang dilupakan
yaitu rasa. Padahal rasa bisa diposisikan sebagai kunci untuk memasuki gerbang
ledakan kreativitas dengan benar. Komposer besar Beethoven pernah mengatakan “don’t only practice your art but force your
way into it secret, for it and knowledge can raise men to the divine”.
Kreativitas mencari rahasia-rahaisa yang intinya ada pada knowledge akan membawa pada Ilahiah
apabila ada rasa dan ada seni menikmatinya. Itulah sebuah koneksionisme
kekhusyukan dan keindahan.
Masalah-Masalah
Ledakan Kreativitas
Beberapa hal telah tergambarkan dalam
pendahuluan mengenai masa anak-anak akhir dan keterkaitannya dengan ledakan
kreativitas. Ahmadi dan Sholeh (2005: 113) mengemukakan bahwa pada usia sekolah
ini sikap hidup egosentris diganti dengan sikap yang zakelijk objektif dan
empiris berdasarkan pengalaman. Maka tak jarang juga masa sekolah rendah juga
disebut pula sebagai masa intelektual. Emosional anak jadi berkurang karena
telah menemui lingkungan yang baru, dari keluarga beralih ke lingkungan sekolah
yang lebih luas dan jelas kondisi berbeda dengan lingkungan-lingkungan
sebelumnya.
Masa transisi atau pengoperan terjadi
tetapi kita tidak akan terlalu jauh mengidentifikasi kasus pada titik transisi
melainkan pola pendidikan di sekolah dasar. Beberapa hal yang ingin disoroti
penulis yaitu mengenai peran guru.
Peran guru bagi penulis menduduki posisi yang krusial dalam kesuksesan perkembangan anak masa sekolah. Satu hal yang perlu diingat pada masa ini kadang anak lebih percaya dan patuh yang tidak terkendali terhadap apa yang disampaikan guru daripada orang lain di lingkungannya. Bisa jadi kasus seperti ini karena pembelajaran meninggalkan wilayah kontekstual, guru menjadi sumber satu-satunya yang seolah serba tahu. Kalu sedikit diidentifikasi hal tersebut akan banyak ditemui di sekolah-sekolah kita. Padahal jelas dari awa bahwa konteks pengalaman langsung bagi anak lebih cepat diterima, inilah yang disebut dengan daya ekuilibrasi.
Ekuilibrasi menurut Duncan hanya dijelaskan sebagai proses internal yang kemudian dijabarkan oleh Schunk sebagai perkembangan kognitif dapat terjadi hanya ketika disequilibrium (ketidakseimbangan) atau konflik kognitif terjadi (Schunk, 2012: 334). Guru berarti harus menciptakan ketidaksesuaian tersebut dalam artian, biarkan mereka berkembang walaupun mengalami kesalahan karena nantinya dari kesalahan itu umpan balik guru adalah hal yang memicu ketidakseimbangan ini. Penulis sepakat dengan sistem pendidikan yang menawarkan semakin dasar pendidikan maka seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan gurunya. Implikasinya guru yang mampu mengolah perkembangan siswanya. Jika pendidikan guru tidak tinggi ya setidaknya guru yang terus mau belajar, meng-upgrade pengetahuan dan keterampilannya.
Kemampuan guru yang dimaksud banyak berhubungan dengan kemampuan menyambungkan. Hal yang perlu menjadi catatan juga bahwa pengalaman akan mempengaruhi indeks kreativitas. Semakin banyak pengalaman ternyata juga mempengaruhi pola kebiasaan. Satu contoh semakin banyak situasi dan problematika yang dihadapi dan cenderung tidak bervariasi akan membuat kita memahami polanya sehingga motivasi turun, “ahh paling setelah ini juga begitu, seperti biasa tenang saja.. santai..” Betapa hal ini menjadi satu dilema melihat sistem sekolah yang seperti itu-itu saja. Di luar keterbatasan yang disandang sekolah, ini menarik untuk dikaji dan diperdalam. Penulis berpikir bahwa hambatan ledakan kreativitas sedikit banyak dipengaruhi sistem dan guru yang manut-manut saja kepada sistem.
Teori tabula rasa yang banyak diambil oleh penganut aliran empirisme atau keadaan lingkungan menarik apabila dikaitkan dengan materi sub bab ini. Teori tabula rasa ini diperkenalkan olej John Locke, anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangkan warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan termasuk pendidikan yang akan berpengaruh terhadapnya; sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan pun dapat membuat anak menjadi baik atau buruk (Sobur: 2009: 148). Perumpamaan yang masih lebih baik karena tinta yang dicoret pastilah beragam, tetapi hal yang kerap terjadi kertas itu dipotong agar semua sama bentuknya. Ada suatu standar khusus prestasi yang dimaknai sempit.
Pemotongan ini benar-benar terjadi karena pemaksaan pikiran dewasa kepada anak, ditambah kurang menyadari bahwa tidak realistisnya konsep anak di beberapa hal sebagian dari imajinasi. Contohnya kita memandang pensil sebagai pensil alat tulis, tetapi anak boleh saja pensil itu dianggapnya sebagai badan pesawat, roket, dan lain sebagainya sebagai bagain dari imajinasi surealis dan ledakan kreativitasnya.
Peran guru seharusnya ada pada pendampingan untuk menyerap, melegakan, dan mengantar. Mengapa demikian? Objek yang dipelajari anak biarkan diserap dengan natural terlepas dari urusan salah benar. Maksudnya guru harus mampu melegakan bukan memotong pemikiran anak mengenai hal-hal yang dijumpainya. Titik temunya ada di mengantarkan yaitu menyambungkan sehingga konstruksi salah benar bukanlah sebuah doktrin dari seorang guru. Biarkan itu menjadi hal alami yang berupa pemahaman tepat dan tidak tepat. Contoh sederhana anak mewarnai gambar, dan bertanya “kalau mewarnainya di luar garis boleh?” Berikan kebebasan untuk mencobanya baru setelah itu ditanya “bagaimana hasilnya?” Jawaban dari anak sebagai efek dari keputusan dan kedaulatan keinginannya sendiri ini lebih mampu mendorong daya kreativitasnya. Kita pun akhirnya sepakat semua anak istimewa.
Peran guru bagi penulis menduduki posisi yang krusial dalam kesuksesan perkembangan anak masa sekolah. Satu hal yang perlu diingat pada masa ini kadang anak lebih percaya dan patuh yang tidak terkendali terhadap apa yang disampaikan guru daripada orang lain di lingkungannya. Bisa jadi kasus seperti ini karena pembelajaran meninggalkan wilayah kontekstual, guru menjadi sumber satu-satunya yang seolah serba tahu. Kalu sedikit diidentifikasi hal tersebut akan banyak ditemui di sekolah-sekolah kita. Padahal jelas dari awa bahwa konteks pengalaman langsung bagi anak lebih cepat diterima, inilah yang disebut dengan daya ekuilibrasi.
Ekuilibrasi menurut Duncan hanya dijelaskan sebagai proses internal yang kemudian dijabarkan oleh Schunk sebagai perkembangan kognitif dapat terjadi hanya ketika disequilibrium (ketidakseimbangan) atau konflik kognitif terjadi (Schunk, 2012: 334). Guru berarti harus menciptakan ketidaksesuaian tersebut dalam artian, biarkan mereka berkembang walaupun mengalami kesalahan karena nantinya dari kesalahan itu umpan balik guru adalah hal yang memicu ketidakseimbangan ini. Penulis sepakat dengan sistem pendidikan yang menawarkan semakin dasar pendidikan maka seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan gurunya. Implikasinya guru yang mampu mengolah perkembangan siswanya. Jika pendidikan guru tidak tinggi ya setidaknya guru yang terus mau belajar, meng-upgrade pengetahuan dan keterampilannya.
Kemampuan guru yang dimaksud banyak berhubungan dengan kemampuan menyambungkan. Hal yang perlu menjadi catatan juga bahwa pengalaman akan mempengaruhi indeks kreativitas. Semakin banyak pengalaman ternyata juga mempengaruhi pola kebiasaan. Satu contoh semakin banyak situasi dan problematika yang dihadapi dan cenderung tidak bervariasi akan membuat kita memahami polanya sehingga motivasi turun, “ahh paling setelah ini juga begitu, seperti biasa tenang saja.. santai..” Betapa hal ini menjadi satu dilema melihat sistem sekolah yang seperti itu-itu saja. Di luar keterbatasan yang disandang sekolah, ini menarik untuk dikaji dan diperdalam. Penulis berpikir bahwa hambatan ledakan kreativitas sedikit banyak dipengaruhi sistem dan guru yang manut-manut saja kepada sistem.
Teori tabula rasa yang banyak diambil oleh penganut aliran empirisme atau keadaan lingkungan menarik apabila dikaitkan dengan materi sub bab ini. Teori tabula rasa ini diperkenalkan olej John Locke, anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangkan warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan termasuk pendidikan yang akan berpengaruh terhadapnya; sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan pun dapat membuat anak menjadi baik atau buruk (Sobur: 2009: 148). Perumpamaan yang masih lebih baik karena tinta yang dicoret pastilah beragam, tetapi hal yang kerap terjadi kertas itu dipotong agar semua sama bentuknya. Ada suatu standar khusus prestasi yang dimaknai sempit.
Pemotongan ini benar-benar terjadi karena pemaksaan pikiran dewasa kepada anak, ditambah kurang menyadari bahwa tidak realistisnya konsep anak di beberapa hal sebagian dari imajinasi. Contohnya kita memandang pensil sebagai pensil alat tulis, tetapi anak boleh saja pensil itu dianggapnya sebagai badan pesawat, roket, dan lain sebagainya sebagai bagain dari imajinasi surealis dan ledakan kreativitasnya.
Peran guru seharusnya ada pada pendampingan untuk menyerap, melegakan, dan mengantar. Mengapa demikian? Objek yang dipelajari anak biarkan diserap dengan natural terlepas dari urusan salah benar. Maksudnya guru harus mampu melegakan bukan memotong pemikiran anak mengenai hal-hal yang dijumpainya. Titik temunya ada di mengantarkan yaitu menyambungkan sehingga konstruksi salah benar bukanlah sebuah doktrin dari seorang guru. Biarkan itu menjadi hal alami yang berupa pemahaman tepat dan tidak tepat. Contoh sederhana anak mewarnai gambar, dan bertanya “kalau mewarnainya di luar garis boleh?” Berikan kebebasan untuk mencobanya baru setelah itu ditanya “bagaimana hasilnya?” Jawaban dari anak sebagai efek dari keputusan dan kedaulatan keinginannya sendiri ini lebih mampu mendorong daya kreativitasnya. Kita pun akhirnya sepakat semua anak istimewa.
Solusi-Solusi
Ledakan Kreativitas
Pendidikan itu belajar bukan diajarkan,
ruang-ruangnya menjadi tempat untuk menyerap dan mengejar yang ingin diketahui.
Mengkoneksikan perkembangan dengan kehidupan menjadi alternatif dalam menyokong
ledakan-ledakan kreativitas masa anak sekolah dasar.
Berbagai
strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kreativitas anak-anak dapat
mencakup; melibatkan anak-anak dalam brainstorming dan menemukan ide-ide
sebanyak mungkin, menyediakan lingkungan yang dapat menstimulasi kreativitas
anak-anak, tidak mengontrol anak secara berlebihan, mendorong motivasi
internal, dan memperkenalkan orang-orang kreatif pada anak-anak (Santrock,
2012: 335).
Dari beberapa strategi tersebut penulis
ingin membahas mengenai kontrol tidak perlu berlebihan. Hal ini berarti hukuman
bagi anak-anak memerlukan pengkajian dan pendalaman. Hukum itu menghukum
kesalahan dari perilakunya bukan menghukum identitasnya. Kerap kita jumpai
lantaran berbuat kesalahan berulang dan metode hukuman yang kurang mendidik
kemudian di cap sebagai anak nakal. Penyebutan sebagai anak nakal adalah bentuk
menghukum secara identitas yang nantinya setiap hal serupa akan disebut nakal
padahal seharusnya berfokus saja pada perilakunya yang menyalahi tata tertib.
Ada satu usulan bahwa konsep hukum ini berlaku timbal balik maka jika seorang
guru menghukum siswa dan merasa hukumannya keliru jangan segan-segan untuk
meminta maaf kepada siswa. Guru yang benar akan berhenti memberi sanksi apabila
anak sudah mengerti. Kesalahan guru kebanyakan adalah hanya meluapkan emosi
tanpa tahu tujuan memberi hukuman.
Solusi lain seperti brainstroming dan
menemukan ide seharusnya disikapi secara konkrit. Contohnya, ketika menghadapi
perbedaan pendapat dalam usia anak sekolah dasar berikan saja pujian. Maksudnya
agar kreativitas tidak mati sehingga eksplorasi berpikir tetap berjalan. Vygotsky
(McInerny, 2006: 146) berpendapat learning
must be holistic, the unit of study should be the most meaningful unit, rather
than the smallest or simplest. Pembelajaran yang bermakna itu bukan
mengejar hal target minimal tetapi berusaha untuk menyeluruh. Pendidikan yang
holistik dalam teori Vygotsky ini berkaitan dengan zone of proximal development, ia katakan bahwa ada upaya yang harus
ditempuh yaitu education must be
holistic, it must be situated in a social context, and it must allow for change
and development in the child (McInerny, 2006: 146).
Pendidikan dengan sistem yang holistik
dinilai sangat mendukung terutama yang berkaitan langsung dengan situasi sosial
dan kemasyarakatan. Keefektifan ini akan ditemukan ketika mampu membuat
perubahan melalui ledakan-ledakan kreativitas anak yang diletakkan pada
kesesuaian tingkat perkembangannya.
Catatan Pribadi Kuliah Pengembangan
dan Peningkatan Kualitas Pendidikan SD
Diskusi
Lintas Batas
Diskusi dalam perkuliahan pasti pernah
dialami oleh setiap mahasiswa. Minimalnya terjadi tanya jawab dari materi yang
sedang dibahas. Beberapa waktu lalu ketika memulai perkuliahan Pengembangan dan
Peningkatan Kualitas Pendidikan SD saya berpikir akan menjumpai hal yang sama
dengan proses dan program kuliah yang lain. Tugas terstruktur, presentasi
dengan diskusi, ceramah, dan tugas lapangan. Anggapan awal ini akhirnya terjadi
tetapi pada bagian penyelenggaraan diskusi sangat saya nikmati.
Ada beberapa alasan yang membuat saya
sangat tertarik dengan cara diskusi diperkuliahan ini. Pertama, sebelum diskusi
entah terpaksa atau dengan rela hati setiap mahasiswa telah mempersiapkan bahan
yang mereka elaborasi dengan pemahaman masing-masing. Baik dari buku maupun dari
jurnal-jurnal pilihan yang sangat menambah wawasan tentang pendidikan. Hal ini
mengindikasikan bahwa peserta yang hadir tidak sekedar datang duduk dengan
pemahaman nol, setidaknya terjadi konfirmasi dalam dirinya mengenai yang telah
dipelajari dan apa yang didengar dalam proses diskusi. Para pelaku gaya belajar
auditori seperti saya sangat terbantu dengan cara ini.
Kedua, cara dosen dalam mengelola
kelas dan memberikan highlight dari
informasi-informasi yang berkembang dalam diskusi memberikan kelegaan dan
kepuasan. Beliau memberikan kemerdekaan berpikir sepenuhnya tetapi bukan dalam
artian liar karena masih diberikan dasar, kerangka, dan contoh-contoh
aplikatif. Di kuliah ini saya merasa tidak pernah diajarkan cara melakukan atau
bahkan sekedar menampung ceramah, prosesnya berjalan hingga menghasilkan cara
khas dari masing-masing mahasiswa. Saya merasa ada di jalur yang aman dari
cegatan ilmu, aman dari terjerumus dalam jurang gelap pikiran orang lain karena
di kuliah ini berbeda pendapat adalah hal yang wajar saja. Kesadaran dan
kebenaran ilmu yang akan didapati melalui proses panjang. Saya senang tidak
diberikan buah yang dikupas kemudian disajikan, tetapi kami diberikan biji
untuk kami tanam, rawat, dan nikmati hasilnya nanti.
Ketiga, FGD (Focus Discussion Group) menjadi cara mensintesiskan pemahaman,
mencari momentum kesamaan pendapat, dan mengubah paradigma berpikir. FGD saya
menyebutnya karena kami selalu dibagi menjadi kelompok-kelompok yang khusus
membahas artikel dan buku, baru kemudian dibawa dalam forum kelas. Keunggulan
dari cara ini yaitu pada tahapan proses dalam merumuskan. Cara belajar di dunia
perguruan tinggi kita ini terkenal dengan jadi orang dulu baru didengarkan
pendapatnya tetapi jarang setiap orang didengar pendapatnya. FGD membuka
kesempatan untuk berpendapat dan didengarkan pendapatnya.
Keempat, kontinyuitas yang terkesan
berat dalam sudut pandang perbandingan dengan kuliah yang lain. Berat ini
menunjukkan bahwa minimnya pengetahuan saya bahkan mungkin tergolong hampir
tidak tahu apa-apa, hanya tahu sedikit dari banyak hal. Saya pernah
mengungkapkan bahwa sumber literasi yang digunakan dalam kuliah ini hanya biasa
saja. Alasannya bukan menganggap remeh tetapi menyederhanakan langkah dibalik
kelemahan saya untuk memahami hal-hal yang rumit.
Ini hanyalah sempitnya pemahaman saya
yang coba saya tuangkan dalam tulisan, dan masih berusaha memahami halaman
pertama dari catatan panjang berikutnya.
Perubahan Maha Penting
“Awalnaya sekolah hanyalah tempat singgah, tempat
bermain, mengisi waktu luang selagi masih muda... Namun, perkembangannya justru
menyaingi “kuasa” Tuhan menentukan nasib manusia - Salam”
Penggalan refleksi milik Laboratorium
Pendidikan Dasar Salam patut menjadi renungan kita sebelum memasuki gerbang
dunia pendidikan. Sekolah sebagai salah satu representasi dalam pendidikan
seolah telah menjadi magnet yang tidak berkurang daya tariknya. Ia menyertai
proses peradaban dari masa ke masa. Setidaknya semenjak sistem sekolah itu
ditemukan ada identitas baru, ada suatu keyakinan baru yang semakin hari
menemukan tempat dan kedudukannya sendiri. Padahal sekolah pun tak jarang
menjadi rebutan untuk dibuat sebagai alat-alat kepentingan.
Apa yang diungkapkan dalam sajak
tersebut memang benar. Materna(pola
asuh ibu) adalah cikal bakal sekolah. Kemudian orang-orang mulai berpikir untuk
menitipkan anaknya kepada ahli-ahli yang memiliki kemampuan khusus di masanya.
Misal seorang pandai besi, pembuat alat rumah tangga, penyair, filsuf, atau
apapun yang berkembang di masa itu. Orangtua menghendaki anaknya terampil dalam
berbagai keahlian lain yang berbeda dengan nasab keluarganya. Suatu perubahan
mendobrak kebiasaan yang melahirkan sistem pelatihan schula (waktu luang), ya waktu luang karena mereka belajar di
sela-sela membantu pekerjaan orangtuanya.
Sistem pelatihan itu sedikit demi
sedikit menemukan polanya hingga dilembagakan. Hingga menjadi prasyarat
kehidupan, sekedar trend, peningkatan status sosial. Namun sebuah ironi bagi
penulis, ketika belajar itu dikatakan kalau sekolah, padahal belajar itu luas
tak terbatas. Bagi orang-orang yang tidak sempat sekolah bukan berarti mereka
tidak belajar, karena ia sedang berjuang di universitas kehidupan. Di
universitas kehidupan malah tidak ada pemisahan, ia hidup ya karena ia tahu
sebabnya dan tahu kemana tujuannya, universalitas. Lalu bagaimana dengan
sekolah yang malah mengkotakkan belajar ini dan itu tetapi kehilangan koneksi,
sampai perkara agama kepercayaan misalnya, dimana hal religiusitas itu
dipelajari secara terpisah. Kalau kepercayaan itu sebuah pedoman ya seharusnya
ia menyertai setiap pembelajaran. Sehingga ketika belajar suatu ilmu
pengetahuan juga tidak menghasilkan keluaran yang liar karena terpisah jauh
dari pedomannya.
Belajar dari nenek moyang bangsa ini
jauh ribuan tahun telah ada dan melahirkan Negara Indonesia pada tahun 1945
itu. Jika berbicara pendidikan kita pun bisa mempelajari bagaimana di masa
silam bangsa-bangsa di nusantara ini menerapkan sistem pendidikannya. Sebelum
bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, di negara bangsa ini
peradaban-peradaban besar pernah memimpin dari yang terdekat era Mataram Islam,
Demak, Majapahit, Sriwijaya, Kediri, Singasari, atau jauh lagi sebelumnya. Kita
pun telah mengenal berbagai sistem mulai dari nyantrik, pesantren, padepokan,
dan lain sebagainya. Itulah perubahan yang sudah bahkan harus terus terjadi dan tidak
perlu diusahakan. Usaha adalah improvisasi saja untuk bermain mencari
momentumnya. Improvisasi dalam dimensi keinginan tetapi perubahan sejatinya
adalah kehendak yang pasti.
Belajar Dari M. Fullan
dan Manuskrip Internasional
Hal di mukadimah ini mungkin jadi
semacam catatan pribadi saja. Saya sampai hari ini masih tidak paham dengan
status internasional. Setiap mendaptkan juranl atau mencari jurnal sendiri saya
merasa terganggu dengan istilah jurnal internasional, standar internasional ini
rasanya hanya lantaran impor saja. Termasuk untuk hal-hal berkedok
internasional lainnya. Kalau kepunyaan sendiri terus tidak internasional. Ya
memang ada standar khusus yang ketat untuk pengelompokkan tersebut. Itu hak
pribadi saja yang mau belajar dari internasional, kalau saya memilih belajar
dari mana saja dan bukankah ini malah yang internasional sesungguhnya.
Entahlah...
The
New Meaning of Educational Change buku karya Michael
Fullan yang menjadi rujukan utama dalam kuliah ini. Saya mendapati makna yang
benar-benar baru dari sekedar perubahan-perubahan pendidikan selama ini.
Perubahan pendidikan kadung identik dengan hal-hal perlawanan terhadap sistem
hierarki formal yang ada dalam suatu negara. Tetapi menurut saya Fullan telah
mengubah gaya yang mendasar dan struktural bahwa perubahan berawal dari
peningkatan hubungan. Fullan (2001: 2) mengemukakan it is abundantly clear that one of the keys to successful change is the
improvement of relationship. Peningkaan hubungan merupakan upaya yang
sengaja diusung bersama dari tahap terkecil. Hubungan berarti juga
mengakomodasi segala bentuk usulan yang ada dan hadir di lingkungan terdekat.
Hubungan ini dapat diartikan sebagai relasi formal maupun relasi kelompok
diskusi sederhana antar bagian dalam unsur pendidikan.
Perubahan ini pun bisa diadopsi dalam
aktivitas keseharian termasuk ketika berkegiatan di dalam kelas selama
perkuliahan. Change may come about either
it is imposed on us (by natural events or deliberate reform) or because we
voluntarily participate in or even initiate change when we find
dissatisfaction, inconsistency, or intolerability in our current situation(Fullan,
2002:19).Memang benar ada beberapa
kemungkinan yang menyebabkan perubahan itu. Dunia pendidikan jelas secara
natural akan terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Semakin
banyak orang-orang yang berusaha membaca keadaan dan membuka tabir-tabir (dis-cover) dalam dunia pendidikan,
perubahan fundamental sebenarnya sedang terus berlangsung. Ketidakstabilan,
ketidakpastian, dan ketidakadilan adalah pemantik-pemantik utama baik kaitannya
dalam pendidikan secara umum maupun daya internal tiap individu.
Saya melihat dan mengamati bahwa secara
konteks literasi kelas diperkuliahan ini mengalami perubahan. Banyak yang
kemudian terpacu dan gandrung haus dengan sumber-sumber lain. Hal ini sedikit
banyak terpacu karena iklim membuka wawasan berpikir serta mulai sadar bahwa
orientasi dalam pendidikan adalah terus belajar. Belajar bahasa lain barangkali
juga menjadi motivasi, dalam buku juga dikatakan if language is to be truly useful (functional) we must begin with the
present experience and competence of the child and fit our teaching into the
natural language situation, which is an integrated, whole situation.
Belajar dari kutipan ini kalau sudah mengerti ya setidaknya berusaha memahami
situasi dan perlahan masuki situasi itu dengan alami. Pemahaman ini tentu
sangat erat dengan seorang pendidik atau guru. Guru harus mampu memahami
situasi kelasnya, muridnya, lingkungannya, dan latar belakangnya. Berarti
seorang guru juga seorang pemimpin.
Orang jawa berkata “guru muride pribadi, murid gurune sesami, ganjarane aruming sesami”.
Kurang lebih maksudnya dalam diri kita terdapat dua dimensi yaitu seorang guru
dan seorang murid, kalau kita mampu membelajarkan diri dulu baru berusaha
menyampaikan hasilnya akan lebih baik. Jadi situasional juga kapan harus
berlaku seperti guru dan sebenarnya selama hidup kita hanyalah seorang murid. Barangkali, seorang guru harus banyak berkontemplasi dalam konteks perubahan pendidikan.
Guru, kata serapan yang berasal dari
India dalam ajaran Hindu. Ada satu lintasan pikiran yang tidak biasa ketika
mengatakan guru. Bandingkan dengan saja dengan teacher, walaupun secara konteks konsensus kebahasaan itu
disamakan. Teacher seperti lebih
sederhana karena hanya pengajar, subjektivitas saya menganggap guru sesuatu
yang berbeda. Tetapi disini kita tidak akan terlampau jauh membahas konsep
etimologi. The teacher atau guru yang
merupakan salah satu agen kolaboratif perubahan punya peran yang tidak biasa.
Melihat dari beberapa hasil penelitian
dalam jurnal bisa menjadi bahan perbandingan dan pertimbangan untuk menentukan
aktivitas guru. Dikatakan bahwa
the IDEAS
conceptualization of teacher leadership actions in the school revitalization
process emphasizes pedagogical leadership through advocacy for students;
facilitates and communicates learning through organizational-wide process;
confront barriers in the school’s culture and structures and nurtures a culture
of success (Crowther
et al. 2002, 2009).
Hal ini berkaitan dengan
kinerja guru untuk memberikan fasilitas pada siswa dalam berkomunikasi.
Berusaha menerobos batas-batas untuk mewujudkan budaya sukses. Guru beraktivitas
dalam tim harus berada pada keadaan membangun mutualisme, rasa
tujuan bersama dan penyisihan ekspresi individu.Guru perlu dilibatkan dan
didukung untuk terjun langsung menjadi pemimpin dalam pengembangan dan
perubahan pendidikan. Guru tidak lagi dipandang sebagai ujung tombak pelaksana
tetapi guru dan siswa adalah subjek yang bekerjasama untuk mencari
kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan tantangan kehidupan.
Komponen lain yang tidak
terlepas dari guru adalah siswa. Kehilangan salah satunya pendidikan dalam
artian lembaga tidak akan terjadi. Siswa yang terus
menerus disurakan sebagai subjek belajar ternyata juga masih menjadi harapan di
berbagai kalangan. Belajar yang mengutamakan keterlibatan siswa dan
berorientasi proses daripada hasil masih menemui berbagai sandungan.
Jurnal mengenai hubungan antara persepsi
siswa terhadap lingkungan dengan prestasi akademik ini menjadi relevan dengan
keadaan saat ini. This study indicates
that in addition to improving aspects of academic instruction, the most
effective behaviour interventions for indi-rectly enhancing academic outcomes
focus on teaching expectations, reducing bully-ing, and increasing safety
(Carmen Gietz dan Ken McIntosh, 2014: 176). Ada beberapa hal untuk meningkatkan
pemahaman akademik siswa dengan mempengaruhi perilaku dari cara mengajar,
menekan bully, dan memberikan rasa aman.
Persepsi lingkungan bisa ditinjau dari
dua sudut pandang. Pertama, lingkungan positif yang memberikan dukungan
belajar. Kedua, lingkungan yang pengaruhnya bersifat negatif sehingga malah
memberikan dampak menurunnya prestasi belajar siswa. Jadi bullying ini tidak saja dalam artian kekerasan terhadap anak tetapi
iklim juga berpengaruh pada konsep diri anak. Apabila meninjau dari hasil
penelitian dalam artikel jurnal ini populasi siswa dalam sebuah sekolah adalah
tolak ukurnya. Siswa yang beragam akan diikuti dengan kebutuhan yang semakin
kompleks. Untuk itu peran sekolah khususnya guru ditantang untuk menemukan cara
memaksimalkan potensi belajar siswa. Siswa memahami lingkungan untuk
menciptakan hubungan harmonis merupakan stimulus keberhasilan akademis. Harus
ada perubahan positif yang terus diupayakan sesuai hasil penelitian tersebut.
Studi
ini
menunjukkan
bahwa
selain
meningkatkan
aspek
instruksi
akademik, intervensi
perilaku paling efektif
untuk
langsung
meningkatkan
hasil
akademik.
Arahnya terfokus
pada
menampung harapan-harapan
dalambelajar, mengurangi
bullying, dan meningkatkan rasa
aman. Sehingga
keberhasilan sosial sekaligus akademis akan mudah diwujudkan oleh sekolah.
Upaya itu dapat dicapai melalui beberapa hal. Misalnya, guru banyak memberikan
contoh riil di lapangan tentang perilaku siswa yang arahnya mencegah bullying,
mewujudkan kenyamanan, dan belajar sesuai harapan siswa. Perlahan-lahan akan
terbangun iklim sosial yang mengedepankan tanggungjawab di kelas maupun di
sekolah sehingga prestasi sudah pasti menyertai.
Selanjutnya komponen yang tidak kalah
penting adalah posisi keluarga sebagai pendukung belajar siswa. Hoover-Dempsey et al. (1995) study on parents of elementary school in USA
revealed similar parental assumptions that homework a normal part of their
children’s lives and that parents should be involved in children’s homework
efforts. Penelitian di barat menunjukkan hal yang sama bahwa pekerjaan
rumah adalah hal biasa dan orangtua memang harus terlibat aktif memberi
dukungan. Namun praktik keterlibatan orang tua mencerminkan tujuan yang khusus
seperti agar prestasinya baik. Selain itu secara spesifik dengan konteks sosial
budaya masyarakat setempat. Hasil penelitian di Taiwan menggambarkan bahwa pekerjaan rumah
melibatkan strategi antara orang tua siswa SD terkait dengan nilai-nilai budaya
Tiongkok yaitu pada usaha, disiplin diri, dan tanggung jawab yang berhubungan
dengan prestasi pendidikan. Nilai-nilai berorientasi pembentukan kepribadian
kerja keras ini adalah budaya tradisional Cina yang terus bertahan dalam
masyarakat Cina kontemporer.
Berbicara kesuksesan belajar anak di sekolah,
banyak keluarga dengan orientasi prestasi akademiknya saja. Sampai-sampai
diberikan tambah jam pelajaran dengan berbagai cara. Termsuk yang kadang
menjadi polemik adalah bentuk pekerjaan rumah. Kali ini kita akan berusaha
masuk lebih mendalam mengenai apa sebenarnya pekerjaan rumah. Sebenarnya PR
bisa menjadikan orangtua ikut berperan tetapi masih menjadi perdebatan pula
penting tidaknya sebuah pekerjaan rumah.
Saya pernah memiliki pengalaman pribadi
berkaitan dengan PR. Sekitar satu minggu siswa di salah satu kelas rendah
sengaja tidak diberikan pekerjaan rumah. Alasan subjektif saja supaya di rumah
digunakan untuk belajar yang lain, membantu orangtua, dan bermain dengan teman
sebaya. Walaupun sebenarnya penulis memiliki satu keyakinan bahwa anak
kaitannya dengan pengetahuan keilmuan sebenarnya cukup diberikan pengantar di
kelas selebihnya biarkan anak berkembang toh di luar sana juga banyak yang
membersamai dan mendampingi. Di akhir pekan ada cerita yang cukup unik ketika
beberapa orangtua siswa keberatan dengan tidak adanya PR. Menurut orangtua
anak-anak jadi tidak ada kegiatan dan hanya bermain-main.
Mari kita coba ulas sedikit demi sedikit
tentang pekerjaan rumah untuk siswa ini. PR sebenarnya adalah konsep hukuman
yang membangun bukan rutinitas yang harus dan wajib ada. Kalau tidak ada PR tidak belajar ini
adalah pemahaman yang salah kaprah atau dianggap bahwa belajar itu ya sesuai
yang diajarkan di sekolah. Inilah yang kemudian saya anggap sebagai hambatan
ledakan kreativitas anak apabila harus terpenjara dengan urusan-urusan yang
sifatnya sekolah diperparah dengan orientasi nilai. Ketika diberi PR responnya
sudah “ini dinilai tidak Pak/Ibu Guru?” Bukan sepenuhnya salah murid, karena
mungkin dibeberapa kesempatan guru pernah semacam bertransaksi “yang tidak
mengerjakan tidak saya nilai!” Informasinya jelas nilai menjadi penekanan, ini
sebuah kecerobohan pula dalam membangun dialog dengan siswa. Sebenarnya bisa
saja dengan kalimat yang lebih apresiatif dan memotivasi “kalau mengerjakan
tugas ini dijamin akan mendapat ilmu baru dan isinya juga menyenangkan, baca
dengan teliti dan tulis rapi seperti biasa.”
PR memang sebenarnya konsep menghukum
bagi yang tidak mengikuti kegiatan dengan sesuai. PR diibaratkan pekerjaan
untuk pendalaman, pengulangan, dan perbaikan. Sementara banyak kegiatan di luar
kelas harus dialami termasuk lingkungan masyarakat. Maka pemberian tugas
terutama pekerjaan rumah ini harus dengan ukuran, porsi, dan tujuan yang sesuai.
Seharusnya memang PR difungsikan sebagai hukuman. Jadi otomatis tugas tidak ada
jika tidak ada kesalahan lagi. Bereda jika ini diperlakukan sebagai praktik
untuk menyederhanakan kegiatan lantaran seorang guru kurang ide dan bahan ajar.
Setelah mengulas mengenai guru, siswa, dan
peran orangtua ada pemahaman baru bahwa ketiganya adalah hal yang tidak boleh
dipisahkan dalam memperbaiki pendidikan di berbagai tempat. Kesepahaman bersama
akan mudah dalam mewujudkan berbagai trobosan dan inovasi. Selanjutnya yang
tidak luput dari proses perubahan pendidikan ini adalah budaya sekolah.
Bagaimana keadaan sekolah selama ini?
Salah satu jurnal menyebutkan tentang budaya
kolaborasi, atau jika meminjam istilag Fullan di awal disebut sebagai membangun
hubungan.
Fullan (1999, 2007) has
described how such collaboration develops in a school as he suggests that
rather than restructuring a school, ‘‘re-culturing’’ is required. A school
culture may be defined as the guiding beliefs and expectations evident in the
way a school operates (Fullan, 2007). To change a school culture and create a
more inclusive school, educators must question their beliefs about teaching and
learning for students who struggle to learn and engage in a collaborative
change process that results in new values, beliefs, norms, and preferred
behaviors (Fullan, 2007; McLeskey & Waldron, 2000, 2002a, 2006).
Budaya kolaborasi berjalan seiring
perkembangan dan perubahan pendidikan. Kolaborasi berarti tidak sekedar
menjalin relasi tetapi sudah pada kesepahaman untuk saling mendukung demi
tercapainya sebuah cita-cita bersama. Dua hal yang menjadi sorotan dala budaya
kolaborasi adalah peningkatan profesionalitas guru untuk mencapai prestasi
belajar siswa. Kolaborasi ini pun menyentuh pada level kelas dimana siswa
dengan kebutuhan kusus juga harus didukung untuk mencapai apa yang mereka
inginkan.
Kedua, distribusi kepemimpinan menjadi
faktor lain dalam usaha kolaboratif ini dikarenakan kolaborasi hanya dapat
berjalan dengan tim yang masing-masing menduduki perannya. Hanya saja untuk
menjadikan budaya ini bukan hal yang singkat dan mudah melainkan membutuhkan
waktu yang lama memuali dari pembiasaan-pembiasaan yang berkelanjutan.
Profesionalitas seorang guru sesungguhnya juga memerlukan definisi ulang agar
mendaptkan pengertian yang sesuai dan ukuran-ukuran yang akurat.
Hal terakhir yang bagi saya sulit untuk
dipahami adalah tentang istilah kurikulum yang tersembunyi. Seharusnya jika
temanya hidden maka jelas ini tidak
terbaca dan tidak akan nampak. Dalam sebuah diskusi sempat berdebat panjang
untuk menentukan dari maksud tersembunyi. Ini sekedar misi-misi khusus dalam
lingkup kecil atau ada agenda besar yang diusung oleh satu kekuatan kolektif.
Sempat mengerucut pemahaman bahwa hidden
kurikulum adalah produk output dan outcome tentang bagaimana bersikap dan
bertingkah laku dengan berkarakter. Jadi jika disepakati hidden kurikulum adalah pendidikan karakter maka kita pernah
mengalami kesalahan fatal dengan karkater diajarkan. Walaupun sifat redaksinya
berupa harapan dari satu materi, misalnya muncul karakter jujur. Indonesia
dengan berbagai suku bangsa, didalamnya sangat kaya dengan kurikulum-kurikulum
yang tersembunyi tersebut. Setiap masyarakat adat atau bangsa tertentu akan
memiliki pusaka yang menjadi rambu-rambu, peraturan, kesepakatan untuk ditaati.
Hal-hal tersebut yang akhirnya menghasilkan karakter walaupun untuk menemukan
adat yang sesungguhnya pada zaman ini tidaklah mudah.
Masyarakat adat apabila berusaha diperas dan
dicari keberadaannya akan sangat sulit di era sekarang ini. Ketika berbicara
masyarakat adat akan ada puluhan bahkan ratusan aspek yang itu harus dipenuhi
untuk dapat dikatakan sebagai bagian masyarakat adat. Jurnal Indigenous Students Experiences of
The Hidden Curriculum in Science Education: A Cross-National Study in New
Zealand and Taiwan bagi saya merupakan fakta penting yang harus
diangkat ke permukaan. Usaha membandingkan masyarakat adat Maori dan Seediq Attayal yang lintas negara cukup
memberikan pemahaman yang komperhensif. Di mana multinasional seolah menjadi
hilang ketika berbicara multikultural dan cross
cultural. Jadi, saya membuat kesimpulan sementara bahwa globalisasi yang
sedang digandrungi manusia di jagad ini disatu sisi memiliki sudut pandang sama
terkait dengan hilangnya batas nasional. Dalam masyarakat global semua akan
cenderung menjadi sama, tetapi dalam masyarakat adat semua memiliki ciri
khasnya tersendiri. Lalu bagaimana kaitan masyarakat adat dengan pendidikan?
Saya mengutip kesimpulan dari jurnal tentang
masyarakat adat ini.
In this paper, we have identified a tension
between the official aims of state education policies relating to indegenous
peoples and pedagogical practice in science. On one hand , indigeneity is
extolled in curriculum documents and formal commitments are made to “culturally
inclusive” teaching; on the other, indigenous learners frequently feel that
they are excluded from advancement in school science.
Kita
ketahui ada paradoks bahwa masyarakat adat dianggap terbeakang lantaran masih
menggunakan konsep-konsep yang kadang tidak di terima oleh pemahaman ilmiah.
Padahal itu adalah teknologi yang lahir dari kalangan masyarakat itu sendiri
dalam rangka bertahan dan mempertahankan kehidupannya, atau juga dikatakan
menghidupi kehidupannya. Seharusnya dunia sekolah yang akademis tetap
menganggapnya sebagai ilmiah sampai pada taraf kemampuannya sebagi masyrakat
adat. Kembali kepada perubahan pendidikan arahnya adalah menjalin hubungan dan
berangkat mengkonstruksi pengetahuan dari masyarakat adat tersebut.
Lain lagi jika kita membahas hidden agenda ini dalam lingkup yang
lebih jauh. Pendidikan dalam suatu negara tentu sejalan dengan kepentingan
nasional yang sedang ditempuh. Seperti di contohkan di Taiwan bagaimana
perubahan kurikulum yang mendasar sehingga begitu mempengaruhi pola komunikasi
dengan kondisi adat masyarakat setempat. Legitimasi istilah ilmiah dan tidak
ilmiah malah cenderung membawa dikotomi yang kaku. Seolah adat dianggap tidak
relevan dan ilmiah lagi karena arah peradaban dan perkembangan dunia sedang
menuju modernisasi dan industrialisasi.
Padahal sikap ilmiah bukan berarti skeptis lalu antipati, yang benar malah
seharusnya mau menelaah dan meneliti kembali terhadap pengetahuannya itu.
Kebanyakan
yang terjadi malah ketegangan antara kebijakan resmi pendidikan terhadap nasib
adat yang pada akhirnya hanya diberi ruang untuk bergabung menjadi ilmu budaya.
Ada anggapan yang keliru bahwa pengetahuan adat dapat didapat melalui
sistematika dan metodelogis tertentu yang kohern dan komprehensif dengan cabang
ilmu-ilmu lain. Selain itu ideologi adat tertentu yang diagungkan hanya sebatas
menjadi perasan kata-kata bijak filosofis yang merupakan warisan masa lalu.
Hilang keterkaitan keduanya, karena memang sengaja dihilangkan demi
mensukseskan kepentingan tertentu saja.
Hal
menarik adalah persepsi yang kemudian muncul dari masyarakat adat terhadap
pengetahuan ilmiah ala sekolahan. Seolah mencerminkan status sosial bahwa ada kondisi tertentu yang menghendaki bahwa sosok ilmuan harus disandang oleh
orang-orang barat (dalam jurnal tersebut jas putih yang didominasi kulit putih).
Hal krusial menurut saya ketika sudah tidak percaya lagi kepada asal usulnya
malah begitu tergila-gila dengan hal baru yang itu akan terus berjalan dengan
pola jangka panjang. Akibatnya hanya akan merasa tertinggal terus dan merasa
kurang percaya diri. Pada akhirnya saya tutup tulisan ini dengan satu konklusi
bahwa perubahan pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman terjadi jika ada
hubungan kesepahaman dan merasa sama-sama membutuhkannya.
Komentar
Posting Komentar