Langsung ke konten utama

Percik Pemikiran Laboratorium Pendidikan Dasar Sanggar Anak Alam dan Catatan Pribadi Materi Perkuliahan

Memahami Anak Sekolah Dasar
Sering kali dalam berbagai literasi tentang perkembangan anak ditampilkan pemikiran-pemikiran, konsep, teori, serta contoh implementasi mengenai pendidikan yang efektif pada lingkup formal. Padahal berbicara pendidikan dalam pemaknaan yang luas akan menyentuh berbagai dimensi seperti pendidikan non-formal, informal, bahkan pendidikan secara natural. Sementara pendidikan formal dimulai ketika anak memasuki masa sekolah dasar. Masa sekolah dasar ini dalam teori perkembangan merupakan bagian dari masa kanak-kanak akhir (late childhood). Istilah efektif yang sering digunakan tersebut apabila kita kaitkan dengan tingkat sekolah dasar rasanya masih menjadi aporia. Makna efektif yang seperti apa? Lalu bagaimana tingkat keefektifan selama ini? Apakah efektif hanya sekedar menjawab tantangan zaman saja? Pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan identifikasi serta satu dasar yang jelas untuk menjawabnya.
Tahapan-tahapan perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Piaget sering menjadi bahan kajian dan tak bosannya di ulas. Misalnya tahapan operasional konkret yang ditandai dengan pertumbuhan kognitif yang luar biasa dan merupakan tahapan formatif dalam pendidikan sekolah, karena ini masanya bahasa dan penguasaan keterampilan-keterampilan anak bertambah cepat secara dramatis (Schunk, 2012: 333). Anak-anak di usia ini yaitu berkisar 6 hingga memasuki kematangan usia seksual berkisar 12 tahun sedang mengalami pesatnya perkembangan. Pengalaman anak tentunya memiliki peranan yang luar biasa untuk mempengaruhi berbagai keterampilan seperti yang diungkapkan dalam teori.
Taruhlah persepsi bahwa memang pengalaman memegang peranan luar biasa. Pengalaman dalam artian yang sengaja diperoleh maupun kejutan-kejutan peristiwa sepanjang perjalanan hidup. Pengalaman sering kali hadir secara natural tetapi sebelum menyebutnya menjadi pengalaman yang mendidik, membelajarkan, dan inspiratif, kiranya kita perlu merumuskan satu pandangan baru. Seandainya yang disebut pengalaman anak itu diartikan sebagai anak memahami, anak mengalami, dan anak memperoleh koneksi. Sementara, pengalaman selama ini hanya berhenti pada kontekstual. Iya memang benar, anak sudah mengalami termasuk bagaimana pendidikan mengemas pembelajaran dengan berbagai teknik, metode, pendekatan yang mengutamakan konstruksi pemahaman tetapi sudahkan memperoleh suatu koneksi? Pentingnya koneksi karena pendidikan harus mampu menjawab berbagai tantangan zaman dan problematika kehidupan. Setidak-tidaknya agar tidak terjebak dalam jurang kesalahan yang sama.
Koneksi dalam pendidikan bukan sekedar peristiwa tertentu kemudian terkait dengan keilmuan tertentu. Kalau hanya sebatas itu maka baru memenuhi syarat sebagai struktural kognitif. Jelas kurang efektif berbeda jika pengetahuan lahir dengan bertanya-tanya tentang berbagai hal hingga muncul kesadaran dan rasa ingin tahu. Orang jawa mengatakan “blilu tau, pinter durung nglakoni” bodoh sudah, pandai belum mengalami yang bila diterjemahkan orang yang tidak pandai dalam teori tetapi terampil mengerjakan sesuatu karena pengalamannya. Untuk cara berpikir konstruk, membangun pengetahuan dari pengalaman seperti dalam ungkapan tersebut bisa dikatakan hampir mendekati makna koneksi. Ini hanya satu konsep yang berusaha saya bangun untuk nantinya berusaha mengarahkan pada pendidikan efektif dalam mengelola ledakan kreativitas. Ledakan kreativitas yang muncul sebenarnya tidak saja dari jalur konstruktivis melainkan juga berkembang dari sisi kognitif. Koneksi ini saya gunakan agar jangan terlalu kaku dengan istilah kognitif, afektif, psikomotorik. Seharusnya tidak terkotak tetapi itulah koneksi ketiganya yang akhirnya membentuk manusia dengan kedaulatan berpikir dan bertindak sehingga efeknya si pembelajar siap menghadapi segala kemungkinan.
Ledakan kreativitas ini memiliki tantangan yang cukup berat. Khususnya dalam masyarakat jawa terkadang hadir kebiasaan-kebiasaan mematikan rasa ingin tahu. Saya pribadi tinggal di wilayah jawa dan cukup konsen dalam mengamati perilaku hidup jawa yang punya filosofi nga yaitu ngalah, ngalih, ngamuk, dan ngajeni. Di satu sisi ini adalah falsafah hidup yang luar biasa dimana memilih untuk ngalah dan ngalih ketimbang harus ngamuk (memberontak). Ngalah memang berbeda makna yaitu sebagai bentuk upaya untuk tidak bersikap saja daripada memperkeruh suasana atau ngalih dalam artian menyingkir. Pilihan memberontak pun masih punya satu hal pedoman moral untuk ngajeni (menghormati). Namun terkadang sikap pasif yang berlebihan ini juga membatasi cara-cara mendidik anak. Anak banyak bertanya malah dibilang “bocah kok criwis”. Saya tidak menyalahkan pilihan itu karena budaya adalah hal yang pasti bertujuan dan berlatar baik. Itu melatih kesabaran, menahan diri, tidak buru-buru mengerti yang belum saatnya dimengerti. Namun, sebenarnya bisa saja ledakan-ledakan anak itu difasilitasi menjadi ranah berpikirnya. Setiap rasa ingin tahu anak tidak perlu kita menjawabnya secara langsung, balikkan saja dengan pertanyaan yang memaksa anak juga berpikir.
Berikan anak benih agar tumbuh di ruang berpikirnya, karena kalau sekedar jawaban itu sama saja dengan mematikan kreativitas. Istilah jawa criwis pun kalau disampaikan dengan tepat anak juga bisa saja menemukan koneksi “kok aku dikatakan criwis ya tetapi lain waktu kok tidak”. Bisa jadi yang terlupakan oleh kita orang dewasa adalah koneksi antara informasi dan penekanan nada, anak kadang belum begitu memahami suatu perkataan dengan tepat tetapi penekanan tinggi dan rendah nada perlu di riset lebih lanjut. Nada tinggi seperti terkesan membunuh seketika, satu dua kali tidak masalah tetapi menjadi lain cerita kalau ternyata membentak itu sudah jadi kebiasaan. Padahal ini berkaitan dengan rasa, rasa yang ditangkap manusia dan manusia. Anak belum tentu cermat memahami tetapi ia mampu merasakan.
Saya juga menangkap adanya hal lain yang selama ini juga membayangi ledakan kreativitas yaitu bentuk komponen dan kapasitas dalam diri anak. Jika ada dua solusi menangkap ledakan kreativitas dalam pendidikan yaitu apakah pendidikan yang menggerakkan komponen atau yang memenuhi kapasitas? Faktanya kebanyakan pendidikan saat ini hanya mengutamakan komponen, memenuhi komponen. Namun sebenarnya ruang kreatif ada di kapasitas berpikir. Kapasitas ini menjadi dasar pentingnya kita memahami psikologi dan perkembangan. Apa yang semestinya didorong sesuai jangkauan anak? Bukan untuk dipaksakan seolah-olah sebagai orang dewasa berhak menentukan menyusun isi pengetahuan. Padahal pengetahuan itu hanya berkutat di urusan metode mengungkap tabir (dis-cover). Hal mengenai kapasitas ini sesuai dengan pendapat Ahmadi dan Sholeh (2005: 118) bahwa daya menghafal dan daya memorisasi (meletakan pengalaman dalam ingatan) adalah paling kuat dan anak mampu memuat jumlah materi ingatan paling banyak.
     Ada hal yang kadang dilupakan yaitu rasa. Padahal rasa bisa diposisikan sebagai kunci untuk memasuki gerbang ledakan kreativitas dengan benar. Komposer besar Beethoven pernah mengatakan “don’t only practice your art but force your way into it secret, for it and knowledge can raise men to the divine”. Kreativitas mencari rahasia-rahaisa yang intinya ada pada knowledge akan membawa pada Ilahiah apabila ada rasa dan ada seni menikmatinya. Itulah sebuah koneksionisme kekhusyukan dan keindahan.
Masalah-Masalah Ledakan Kreativitas
Beberapa hal telah tergambarkan dalam pendahuluan mengenai masa anak-anak akhir dan keterkaitannya dengan ledakan kreativitas. Ahmadi dan Sholeh (2005: 113) mengemukakan bahwa pada usia sekolah ini sikap hidup egosentris diganti dengan sikap yang zakelijk objektif dan empiris berdasarkan pengalaman. Maka tak jarang juga masa sekolah rendah juga disebut pula sebagai masa intelektual. Emosional anak jadi berkurang karena telah menemui lingkungan yang baru, dari keluarga beralih ke lingkungan sekolah yang lebih luas dan jelas kondisi berbeda dengan lingkungan-lingkungan sebelumnya.
Masa transisi atau pengoperan terjadi tetapi kita tidak akan terlalu jauh mengidentifikasi kasus pada titik transisi melainkan pola pendidikan di sekolah dasar. Beberapa hal yang ingin disoroti penulis yaitu mengenai peran guru.
Peran guru bagi penulis menduduki posisi yang krusial dalam kesuksesan perkembangan anak masa sekolah. Satu hal yang perlu diingat pada masa ini kadang anak lebih percaya dan patuh yang tidak terkendali terhadap apa yang disampaikan guru daripada orang lain di lingkungannya. Bisa jadi kasus seperti ini karena pembelajaran meninggalkan wilayah kontekstual, guru menjadi sumber satu-satunya yang seolah serba tahu. Kalu sedikit diidentifikasi hal tersebut akan banyak ditemui di sekolah-sekolah kita. Padahal jelas dari awa bahwa konteks pengalaman langsung bagi anak lebih cepat diterima, inilah yang disebut dengan daya ekuilibrasi.
Ekuilibrasi menurut Duncan hanya dijelaskan sebagai proses internal yang kemudian dijabarkan oleh Schunk sebagai perkembangan kognitif dapat terjadi hanya ketika disequilibrium (ketidakseimbangan) atau konflik kognitif terjadi (Schunk, 2012: 334). Guru berarti harus menciptakan ketidaksesuaian tersebut dalam artian, biarkan mereka berkembang walaupun mengalami kesalahan karena nantinya dari kesalahan itu umpan balik guru adalah hal yang memicu ketidakseimbangan ini. Penulis sepakat dengan sistem pendidikan yang menawarkan semakin dasar pendidikan maka seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan gurunya. Implikasinya guru yang mampu mengolah perkembangan siswanya. Jika pendidikan guru tidak tinggi ya setidaknya guru yang terus mau belajar, meng-upgrade pengetahuan dan keterampilannya.
Kemampuan guru yang dimaksud banyak berhubungan dengan kemampuan menyambungkan. Hal yang perlu menjadi catatan juga bahwa pengalaman akan mempengaruhi indeks kreativitas. Semakin banyak pengalaman ternyata juga mempengaruhi pola kebiasaan. Satu contoh semakin banyak situasi dan problematika yang dihadapi dan cenderung tidak bervariasi akan membuat kita memahami polanya sehingga motivasi turun, “ahh paling setelah ini juga begitu, seperti biasa tenang saja.. santai..” Betapa hal ini menjadi satu dilema melihat sistem sekolah yang seperti itu-itu saja. Di luar keterbatasan yang disandang sekolah, ini menarik untuk dikaji dan diperdalam. Penulis berpikir bahwa hambatan ledakan kreativitas sedikit banyak dipengaruhi sistem dan guru yang manut-manut saja kepada sistem.
Teori tabula rasa yang banyak diambil oleh penganut aliran empirisme atau keadaan lingkungan menarik apabila dikaitkan dengan materi sub bab ini. Teori tabula rasa ini diperkenalkan olej John Locke, anak diumpamakan bagaikan kertas putih yang bersih, sedangkan warna tinta, diumpamakan sebagai lingkungan termasuk pendidikan yang akan berpengaruh terhadapnya; sudah pasti tidak mungkin tidak, pendidikan pun dapat membuat anak menjadi baik atau buruk (Sobur: 2009: 148). Perumpamaan yang masih lebih baik karena tinta yang dicoret pastilah beragam, tetapi hal yang kerap terjadi kertas itu dipotong agar semua sama bentuknya. Ada suatu standar khusus prestasi yang dimaknai sempit.
Pemotongan ini benar-benar terjadi karena pemaksaan pikiran dewasa kepada anak, ditambah kurang menyadari bahwa tidak realistisnya konsep anak di beberapa hal sebagian dari imajinasi. Contohnya kita memandang pensil sebagai pensil alat tulis, tetapi anak boleh saja pensil itu dianggapnya sebagai badan pesawat, roket, dan lain sebagainya sebagai bagain dari imajinasi surealis dan ledakan kreativitasnya.
Peran guru seharusnya ada pada pendampingan untuk menyerap, melegakan, dan mengantar. Mengapa demikian? Objek yang dipelajari anak biarkan diserap dengan natural terlepas dari urusan salah benar. Maksudnya guru harus mampu melegakan bukan memotong pemikiran anak mengenai hal-hal yang dijumpainya. Titik temunya ada di mengantarkan yaitu menyambungkan sehingga konstruksi salah benar bukanlah sebuah doktrin dari seorang guru. Biarkan itu menjadi hal alami yang berupa pemahaman tepat dan tidak tepat. Contoh sederhana anak mewarnai gambar, dan bertanya “kalau mewarnainya di luar garis boleh?” Berikan kebebasan untuk mencobanya baru setelah itu ditanya “bagaimana hasilnya?” Jawaban dari anak sebagai efek dari keputusan dan kedaulatan keinginannya sendiri ini lebih mampu mendorong daya kreativitasnya. Kita pun akhirnya sepakat semua anak istimewa.

Solusi-Solusi Ledakan Kreativitas
Pendidikan itu belajar bukan diajarkan, ruang-ruangnya menjadi tempat untuk menyerap dan mengejar yang ingin diketahui. Mengkoneksikan perkembangan dengan kehidupan menjadi alternatif dalam menyokong ledakan-ledakan kreativitas masa anak sekolah dasar.
Berbagai strategi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan kreativitas anak-anak dapat mencakup; melibatkan anak-anak dalam brainstorming dan menemukan ide-ide sebanyak mungkin, menyediakan lingkungan yang dapat menstimulasi kreativitas anak-anak, tidak mengontrol anak secara berlebihan, mendorong motivasi internal, dan memperkenalkan orang-orang kreatif pada anak-anak (Santrock, 2012: 335).
Dari beberapa strategi tersebut penulis ingin membahas mengenai kontrol tidak perlu berlebihan. Hal ini berarti hukuman bagi anak-anak memerlukan pengkajian dan pendalaman. Hukum itu menghukum kesalahan dari perilakunya bukan menghukum identitasnya. Kerap kita jumpai lantaran berbuat kesalahan berulang dan metode hukuman yang kurang mendidik kemudian di cap sebagai anak nakal. Penyebutan sebagai anak nakal adalah bentuk menghukum secara identitas yang nantinya setiap hal serupa akan disebut nakal padahal seharusnya berfokus saja pada perilakunya yang menyalahi tata tertib. Ada satu usulan bahwa konsep hukum ini berlaku timbal balik maka jika seorang guru menghukum siswa dan merasa hukumannya keliru jangan segan-segan untuk meminta maaf kepada siswa. Guru yang benar akan berhenti memberi sanksi apabila anak sudah mengerti. Kesalahan guru kebanyakan adalah hanya meluapkan emosi tanpa tahu tujuan memberi hukuman.
Solusi lain seperti brainstroming dan menemukan ide seharusnya disikapi secara konkrit. Contohnya, ketika menghadapi perbedaan pendapat dalam usia anak sekolah dasar berikan saja pujian. Maksudnya agar kreativitas tidak mati sehingga eksplorasi berpikir tetap berjalan. Vygotsky (McInerny, 2006: 146) berpendapat learning must be holistic, the unit of study should be the most meaningful unit, rather than the smallest or simplest. Pembelajaran yang bermakna itu bukan mengejar hal target minimal tetapi berusaha untuk menyeluruh. Pendidikan yang holistik dalam teori Vygotsky ini berkaitan dengan zone of proximal development, ia katakan bahwa ada upaya yang harus ditempuh yaitu education must be holistic, it must be situated in a social context, and it must allow for change and development in the child (McInerny, 2006: 146).
Pendidikan dengan sistem yang holistik dinilai sangat mendukung terutama yang berkaitan langsung dengan situasi sosial dan kemasyarakatan. Keefektifan ini akan ditemukan ketika mampu membuat perubahan melalui ledakan-ledakan kreativitas anak yang diletakkan pada kesesuaian tingkat perkembangannya.

Catatan Pribadi Kuliah Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan SD

Diskusi Lintas Batas 
Diskusi dalam perkuliahan pasti pernah dialami oleh setiap mahasiswa. Minimalnya terjadi tanya jawab dari materi yang sedang dibahas. Beberapa waktu lalu ketika memulai perkuliahan Pengembangan dan Peningkatan Kualitas Pendidikan SD saya berpikir akan menjumpai hal yang sama dengan proses dan program kuliah yang lain. Tugas terstruktur, presentasi dengan diskusi, ceramah, dan tugas lapangan. Anggapan awal ini akhirnya terjadi tetapi pada bagian penyelenggaraan diskusi sangat saya nikmati.
Ada beberapa alasan yang membuat saya sangat tertarik dengan cara diskusi diperkuliahan ini. Pertama, sebelum diskusi entah terpaksa atau dengan rela hati setiap mahasiswa telah mempersiapkan bahan yang mereka elaborasi dengan pemahaman masing-masing. Baik dari buku maupun dari jurnal-jurnal pilihan yang sangat menambah wawasan tentang pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa peserta yang hadir tidak sekedar datang duduk dengan pemahaman nol, setidaknya terjadi konfirmasi dalam dirinya mengenai yang telah dipelajari dan apa yang didengar dalam proses diskusi. Para pelaku gaya belajar auditori seperti saya sangat terbantu dengan cara  ini.
Kedua, cara dosen dalam mengelola kelas dan memberikan highlight dari informasi-informasi yang berkembang dalam diskusi memberikan kelegaan dan kepuasan. Beliau memberikan kemerdekaan berpikir sepenuhnya tetapi bukan dalam artian liar karena masih diberikan dasar, kerangka, dan contoh-contoh aplikatif. Di kuliah ini saya merasa tidak pernah diajarkan cara melakukan atau bahkan sekedar menampung ceramah, prosesnya berjalan hingga menghasilkan cara khas dari masing-masing mahasiswa. Saya merasa ada di jalur yang aman dari cegatan ilmu, aman dari terjerumus dalam jurang gelap pikiran orang lain karena di kuliah ini berbeda pendapat adalah hal yang wajar saja. Kesadaran dan kebenaran ilmu yang akan didapati melalui proses panjang. Saya senang tidak diberikan buah yang dikupas kemudian disajikan, tetapi kami diberikan biji untuk kami tanam, rawat, dan nikmati hasilnya nanti.
Ketiga, FGD (Focus Discussion Group) menjadi cara mensintesiskan pemahaman, mencari momentum kesamaan pendapat, dan mengubah paradigma berpikir. FGD saya menyebutnya karena kami selalu dibagi menjadi kelompok-kelompok yang khusus membahas artikel dan buku, baru kemudian dibawa dalam forum kelas. Keunggulan dari cara ini yaitu pada tahapan proses dalam merumuskan. Cara belajar di dunia perguruan tinggi kita ini terkenal dengan jadi orang dulu baru didengarkan pendapatnya tetapi jarang setiap orang didengar pendapatnya. FGD membuka kesempatan untuk berpendapat dan didengarkan pendapatnya.
Keempat, kontinyuitas yang terkesan berat dalam sudut pandang perbandingan dengan kuliah yang lain. Berat ini menunjukkan bahwa minimnya pengetahuan saya bahkan mungkin tergolong hampir tidak tahu apa-apa, hanya tahu sedikit dari banyak hal. Saya pernah mengungkapkan bahwa sumber literasi yang digunakan dalam kuliah ini hanya biasa saja. Alasannya bukan menganggap remeh tetapi menyederhanakan langkah dibalik kelemahan saya untuk memahami hal-hal yang rumit.
Ini hanyalah sempitnya pemahaman saya yang coba saya tuangkan dalam tulisan, dan masih berusaha memahami halaman pertama dari catatan panjang berikutnya.
Perubahan Maha Penting
Awalnaya sekolah hanyalah tempat singgah, tempat bermain, mengisi waktu luang selagi masih muda... Namun, perkembangannya justru menyaingi “kuasa” Tuhan menentukan nasib manusia - Salam”
Penggalan refleksi milik Laboratorium Pendidikan Dasar Salam patut menjadi renungan kita sebelum memasuki gerbang dunia pendidikan. Sekolah sebagai salah satu representasi dalam pendidikan seolah telah menjadi magnet yang tidak berkurang daya tariknya. Ia menyertai proses peradaban dari masa ke masa. Setidaknya semenjak sistem sekolah itu ditemukan ada identitas baru, ada suatu keyakinan baru yang semakin hari menemukan tempat dan kedudukannya sendiri. Padahal sekolah pun tak jarang menjadi rebutan untuk dibuat sebagai alat-alat kepentingan.
Apa yang diungkapkan dalam sajak tersebut memang benar. Materna(pola asuh ibu) adalah cikal bakal sekolah. Kemudian orang-orang mulai berpikir untuk menitipkan anaknya kepada ahli-ahli yang memiliki kemampuan khusus di masanya. Misal seorang pandai besi, pembuat alat rumah tangga, penyair, filsuf, atau apapun yang berkembang di masa itu. Orangtua menghendaki anaknya terampil dalam berbagai keahlian lain yang berbeda dengan nasab keluarganya. Suatu perubahan mendobrak kebiasaan yang melahirkan sistem pelatihan schula (waktu luang), ya waktu luang karena mereka belajar di sela-sela membantu pekerjaan orangtuanya.
Sistem pelatihan itu sedikit demi sedikit menemukan polanya hingga dilembagakan. Hingga menjadi prasyarat kehidupan, sekedar trend, peningkatan status sosial. Namun sebuah ironi bagi penulis, ketika belajar itu dikatakan kalau sekolah, padahal belajar itu luas tak terbatas. Bagi orang-orang yang tidak sempat sekolah bukan berarti mereka tidak belajar, karena ia sedang berjuang di universitas kehidupan. Di universitas kehidupan malah tidak ada pemisahan, ia hidup ya karena ia tahu sebabnya dan tahu kemana tujuannya, universalitas. Lalu bagaimana dengan sekolah yang malah mengkotakkan belajar ini dan itu tetapi kehilangan koneksi, sampai perkara agama kepercayaan misalnya, dimana hal religiusitas itu dipelajari secara terpisah. Kalau kepercayaan itu sebuah pedoman ya seharusnya ia menyertai setiap pembelajaran. Sehingga ketika belajar suatu ilmu pengetahuan juga tidak menghasilkan keluaran yang liar karena terpisah jauh dari pedomannya.
Belajar dari nenek moyang bangsa ini jauh ribuan tahun telah ada dan melahirkan Negara Indonesia pada tahun 1945 itu. Jika berbicara pendidikan kita pun bisa mempelajari bagaimana di masa silam bangsa-bangsa di nusantara ini menerapkan sistem pendidikannya. Sebelum bapak pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, di negara bangsa ini peradaban-peradaban besar pernah memimpin dari yang terdekat era Mataram Islam, Demak, Majapahit, Sriwijaya, Kediri, Singasari, atau jauh lagi sebelumnya. Kita pun telah mengenal berbagai sistem mulai dari nyantrik, pesantren, padepokan, dan lain sebagainya. Itulah perubahan yang sudah bahkan harus terus terjadi dan tidak perlu diusahakan. Usaha adalah improvisasi saja untuk bermain mencari momentumnya. Improvisasi dalam dimensi keinginan tetapi perubahan sejatinya adalah kehendak yang pasti.
Belajar Dari M. Fullan dan Manuskrip Internasional
Hal di mukadimah ini mungkin jadi semacam catatan pribadi saja. Saya sampai hari ini masih tidak paham dengan status internasional. Setiap mendaptkan juranl atau mencari jurnal sendiri saya merasa terganggu dengan istilah jurnal internasional, standar internasional ini rasanya hanya lantaran impor saja. Termasuk untuk hal-hal berkedok internasional lainnya. Kalau kepunyaan sendiri terus tidak internasional. Ya memang ada standar khusus yang ketat untuk pengelompokkan tersebut. Itu hak pribadi saja yang mau belajar dari internasional, kalau saya memilih belajar dari mana saja dan bukankah ini malah yang internasional sesungguhnya. Entahlah...
The New Meaning of Educational Change buku karya Michael Fullan yang menjadi rujukan utama dalam kuliah ini. Saya mendapati makna yang benar-benar baru dari sekedar perubahan-perubahan pendidikan selama ini. Perubahan pendidikan kadung identik dengan hal-hal perlawanan terhadap sistem hierarki formal yang ada dalam suatu negara. Tetapi menurut saya Fullan telah mengubah gaya yang mendasar dan struktural bahwa perubahan berawal dari peningkatan hubungan. Fullan (2001: 2) mengemukakan it is abundantly clear that one of the keys to successful change is the improvement of relationship. Peningkaan hubungan merupakan upaya yang sengaja diusung bersama dari tahap terkecil. Hubungan berarti juga mengakomodasi segala bentuk usulan yang ada dan hadir di lingkungan terdekat. Hubungan ini dapat diartikan sebagai relasi formal maupun relasi kelompok diskusi sederhana antar bagian dalam unsur pendidikan.
Perubahan ini pun bisa diadopsi dalam aktivitas keseharian termasuk ketika berkegiatan di dalam kelas selama perkuliahan. Change may come about either it is imposed on us (by natural events or deliberate reform) or because we voluntarily participate in or even initiate change when we find dissatisfaction, inconsistency, or intolerability in our current situation(Fullan, 2002:19).Memang benar ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan perubahan itu. Dunia pendidikan jelas secara natural akan terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan. Semakin banyak orang-orang yang berusaha membaca keadaan dan membuka tabir-tabir (dis-cover) dalam dunia pendidikan, perubahan fundamental sebenarnya sedang terus berlangsung. Ketidakstabilan, ketidakpastian, dan ketidakadilan adalah pemantik-pemantik utama baik kaitannya dalam pendidikan secara umum maupun daya internal tiap individu.
Saya melihat dan mengamati bahwa secara konteks literasi kelas diperkuliahan ini mengalami perubahan. Banyak yang kemudian terpacu dan gandrung haus dengan sumber-sumber lain. Hal ini sedikit banyak terpacu karena iklim membuka wawasan berpikir serta mulai sadar bahwa orientasi dalam pendidikan adalah terus belajar. Belajar bahasa lain barangkali juga menjadi motivasi, dalam buku juga dikatakan if language is to be truly useful (functional) we must begin with the present experience and competence of the child and fit our teaching into the natural language situation, which is an integrated, whole situation. Belajar dari kutipan ini kalau sudah mengerti ya setidaknya berusaha memahami situasi dan perlahan masuki situasi itu dengan alami. Pemahaman ini tentu sangat erat dengan seorang pendidik atau guru. Guru harus mampu memahami situasi kelasnya, muridnya, lingkungannya, dan latar belakangnya. Berarti seorang guru juga seorang pemimpin.
Orang jawa berkata “guru muride pribadi, murid gurune sesami, ganjarane aruming sesami”. Kurang lebih maksudnya dalam diri kita terdapat dua dimensi yaitu seorang guru dan seorang murid, kalau kita mampu membelajarkan diri dulu baru berusaha menyampaikan hasilnya akan lebih baik. Jadi situasional juga kapan harus berlaku seperti guru dan sebenarnya selama hidup kita hanyalah seorang murid. Barangkali, seorang guru harus banyak berkontemplasi dalam konteks perubahan pendidikan.
Guru, kata serapan yang berasal dari India dalam ajaran Hindu. Ada satu lintasan pikiran yang tidak biasa ketika mengatakan guru. Bandingkan dengan saja dengan teacher, walaupun secara konteks konsensus kebahasaan itu disamakan. Teacher seperti lebih sederhana karena hanya pengajar, subjektivitas saya menganggap guru sesuatu yang berbeda. Tetapi disini kita tidak akan terlampau jauh membahas konsep etimologi. The teacher atau guru yang merupakan salah satu agen kolaboratif perubahan punya peran yang tidak biasa.
Melihat dari beberapa hasil penelitian dalam jurnal bisa menjadi bahan perbandingan dan pertimbangan untuk menentukan aktivitas guru. Dikatakan bahwa
the IDEAS conceptualization of teacher leadership actions in the school revitalization process emphasizes pedagogical leadership through advocacy for students; facilitates and communicates learning through organizational-wide process; confront barriers in the school’s culture and structures and nurtures a culture of success (Crowther et al. 2002, 2009).
Hal ini berkaitan dengan kinerja guru untuk memberikan fasilitas pada siswa dalam berkomunikasi. Berusaha menerobos batas-batas untuk mewujudkan budaya sukses. Guru beraktivitas dalam tim harus berada pada keadaan membangun mutualisme, rasa tujuan bersama dan penyisihan ekspresi individu.Guru perlu dilibatkan dan didukung untuk terjun langsung menjadi pemimpin dalam pengembangan dan perubahan pendidikan. Guru tidak lagi dipandang sebagai ujung tombak pelaksana tetapi guru dan siswa adalah subjek yang bekerjasama untuk mencari kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan tantangan kehidupan.
Komponen lain yang tidak terlepas dari guru adalah siswa. Kehilangan salah satunya pendidikan dalam artian lembaga tidak akan terjadi. Siswa yang terus menerus disurakan sebagai subjek belajar ternyata juga masih menjadi harapan di berbagai kalangan. Belajar yang mengutamakan keterlibatan siswa dan berorientasi proses daripada hasil masih menemui berbagai sandungan.
Jurnal mengenai hubungan antara persepsi siswa terhadap lingkungan dengan prestasi akademik ini menjadi relevan dengan keadaan saat ini. This study indicates that in addition to improving aspects of academic instruction, the most effective behaviour interventions for indi-rectly enhancing academic outcomes focus on teaching expectations, reducing bully-ing, and increasing safety (Carmen Gietz dan Ken McIntosh, 2014: 176). Ada beberapa hal untuk meningkatkan pemahaman akademik siswa dengan mempengaruhi perilaku dari cara mengajar, menekan bully, dan memberikan rasa aman.
Persepsi lingkungan bisa ditinjau dari dua sudut pandang. Pertama, lingkungan positif yang memberikan dukungan belajar. Kedua, lingkungan yang pengaruhnya bersifat negatif sehingga malah memberikan dampak menurunnya prestasi belajar siswa. Jadi bullying ini tidak saja dalam artian kekerasan terhadap anak tetapi iklim juga berpengaruh pada konsep diri anak. Apabila meninjau dari hasil penelitian dalam artikel jurnal ini populasi siswa dalam sebuah sekolah adalah tolak ukurnya. Siswa yang beragam akan diikuti dengan kebutuhan yang semakin kompleks. Untuk itu peran sekolah khususnya guru ditantang untuk menemukan cara memaksimalkan potensi belajar siswa. Siswa memahami lingkungan untuk menciptakan hubungan harmonis merupakan stimulus keberhasilan akademis. Harus ada perubahan positif yang terus diupayakan sesuai hasil penelitian tersebut.
Studi ini menunjukkan bahwa selain meningkatkan aspek instruksi akademik, intervensi perilaku paling efektif untuk langsung meningkatkan hasil akademik. Arahnya terfokus pada menampung harapan-harapan dalambelajar, mengurangi bullying, dan meningkatkan rasa aman. Sehingga keberhasilan sosial sekaligus akademis akan mudah diwujudkan oleh sekolah. Upaya itu dapat dicapai melalui beberapa hal. Misalnya, guru banyak memberikan contoh riil di lapangan tentang perilaku siswa yang arahnya mencegah bullying, mewujudkan kenyamanan, dan belajar sesuai harapan siswa. Perlahan-lahan akan terbangun iklim sosial yang mengedepankan tanggungjawab di kelas maupun di sekolah sehingga prestasi sudah pasti menyertai.
Selanjutnya komponen yang tidak kalah penting adalah posisi keluarga sebagai pendukung belajar siswa. Hoover-Dempsey et al. (1995) study on parents of elementary school in USA revealed similar parental assumptions that homework a normal part of their children’s lives and that parents should be involved in children’s homework efforts. Penelitian di barat menunjukkan hal yang sama bahwa pekerjaan rumah adalah hal biasa dan orangtua memang harus terlibat aktif memberi dukungan. Namun praktik keterlibatan orang tua mencerminkan tujuan yang khusus seperti agar prestasinya baik. Selain itu secara spesifik dengan konteks sosial budaya masyarakat setempat. Hasil penelitian di Taiwan menggambarkan bahwa pekerjaan rumah melibatkan strategi antara orang tua siswa SD terkait dengan nilai-nilai budaya Tiongkok yaitu pada usaha, disiplin diri, dan tanggung jawab yang berhubungan dengan prestasi pendidikan. Nilai-nilai berorientasi pembentukan kepribadian kerja keras ini adalah budaya tradisional Cina yang terus bertahan dalam masyarakat Cina kontemporer.
Berbicara kesuksesan belajar anak di sekolah, banyak keluarga dengan orientasi prestasi akademiknya saja. Sampai-sampai diberikan tambah jam pelajaran dengan berbagai cara. Termsuk yang kadang menjadi polemik adalah bentuk pekerjaan rumah. Kali ini kita akan berusaha masuk lebih mendalam mengenai apa sebenarnya pekerjaan rumah. Sebenarnya PR bisa menjadikan orangtua ikut berperan tetapi masih menjadi perdebatan pula penting tidaknya sebuah pekerjaan rumah.
Saya pernah memiliki pengalaman pribadi berkaitan dengan PR. Sekitar satu minggu siswa di salah satu kelas rendah sengaja tidak diberikan pekerjaan rumah. Alasan subjektif saja supaya di rumah digunakan untuk belajar yang lain, membantu orangtua, dan bermain dengan teman sebaya. Walaupun sebenarnya penulis memiliki satu keyakinan bahwa anak kaitannya dengan pengetahuan keilmuan sebenarnya cukup diberikan pengantar di kelas selebihnya biarkan anak berkembang toh di luar sana juga banyak yang membersamai dan mendampingi. Di akhir pekan ada cerita yang cukup unik ketika beberapa orangtua siswa keberatan dengan tidak adanya PR. Menurut orangtua anak-anak jadi tidak ada kegiatan dan hanya bermain-main.
Mari kita coba ulas sedikit demi sedikit tentang pekerjaan rumah untuk siswa ini. PR sebenarnya adalah konsep hukuman yang membangun bukan rutinitas yang harus dan wajib  ada. Kalau tidak ada PR tidak belajar ini adalah pemahaman yang salah kaprah atau dianggap bahwa belajar itu ya sesuai yang diajarkan di sekolah. Inilah yang kemudian saya anggap sebagai hambatan ledakan kreativitas anak apabila harus terpenjara dengan urusan-urusan yang sifatnya sekolah diperparah dengan orientasi nilai. Ketika diberi PR responnya sudah “ini dinilai tidak Pak/Ibu Guru?” Bukan sepenuhnya salah murid, karena mungkin dibeberapa kesempatan guru pernah semacam bertransaksi “yang tidak mengerjakan tidak saya nilai!” Informasinya jelas nilai menjadi penekanan, ini sebuah kecerobohan pula dalam membangun dialog dengan siswa. Sebenarnya bisa saja dengan kalimat yang lebih apresiatif dan memotivasi “kalau mengerjakan tugas ini dijamin akan mendapat ilmu baru dan isinya juga menyenangkan, baca dengan teliti dan tulis rapi seperti biasa.”
PR memang sebenarnya konsep menghukum bagi yang tidak mengikuti kegiatan dengan sesuai. PR diibaratkan pekerjaan untuk pendalaman, pengulangan, dan perbaikan. Sementara banyak kegiatan di luar kelas harus dialami termasuk lingkungan masyarakat. Maka pemberian tugas terutama pekerjaan rumah ini harus dengan ukuran, porsi, dan tujuan yang sesuai. Seharusnya memang PR difungsikan sebagai hukuman. Jadi otomatis tugas tidak ada jika tidak ada kesalahan lagi. Bereda jika ini diperlakukan sebagai praktik untuk menyederhanakan kegiatan lantaran seorang guru kurang ide dan bahan ajar.
Setelah mengulas mengenai guru, siswa, dan peran orangtua ada pemahaman baru bahwa ketiganya adalah hal yang tidak boleh dipisahkan dalam memperbaiki pendidikan di berbagai tempat. Kesepahaman bersama akan mudah dalam mewujudkan berbagai trobosan dan inovasi. Selanjutnya yang tidak luput dari proses perubahan pendidikan ini adalah budaya sekolah. Bagaimana keadaan sekolah selama ini?
Salah satu jurnal menyebutkan tentang budaya kolaborasi, atau jika meminjam istilag Fullan di awal disebut sebagai membangun hubungan.
Fullan (1999, 2007) has described how such collaboration develops in a school as he suggests that rather than restructuring a school, ‘‘re-culturing’’ is required. A school culture may be defined as the guiding beliefs and expectations evident in the way a school operates (Fullan, 2007). To change a school culture and create a more inclusive school, educators must question their beliefs about teaching and learning for students who struggle to learn and engage in a collaborative change process that results in new values, beliefs, norms, and preferred behaviors (Fullan, 2007; McLeskey & Waldron, 2000, 2002a, 2006).
Budaya kolaborasi berjalan seiring perkembangan dan perubahan pendidikan. Kolaborasi berarti tidak sekedar menjalin relasi tetapi sudah pada kesepahaman untuk saling mendukung demi tercapainya sebuah cita-cita bersama. Dua hal yang menjadi sorotan dala budaya kolaborasi adalah peningkatan profesionalitas guru untuk mencapai prestasi belajar siswa. Kolaborasi ini pun menyentuh pada level kelas dimana siswa dengan kebutuhan kusus juga harus didukung untuk mencapai apa yang mereka inginkan.
Kedua, distribusi kepemimpinan menjadi faktor lain dalam usaha kolaboratif ini dikarenakan kolaborasi hanya dapat berjalan dengan tim yang masing-masing menduduki perannya. Hanya saja untuk menjadikan budaya ini bukan hal yang singkat dan mudah melainkan membutuhkan waktu yang lama memuali dari pembiasaan-pembiasaan yang berkelanjutan. Profesionalitas seorang guru sesungguhnya juga memerlukan definisi ulang agar mendaptkan pengertian yang sesuai dan ukuran-ukuran yang akurat.
Hal terakhir yang bagi saya sulit untuk dipahami adalah tentang istilah kurikulum yang tersembunyi. Seharusnya jika temanya hidden maka jelas ini tidak terbaca dan tidak akan nampak. Dalam sebuah diskusi sempat berdebat panjang untuk menentukan dari maksud tersembunyi. Ini sekedar misi-misi khusus dalam lingkup kecil atau ada agenda besar yang diusung oleh satu kekuatan kolektif. Sempat mengerucut pemahaman bahwa hidden kurikulum adalah produk output dan outcome tentang bagaimana bersikap dan bertingkah laku dengan berkarakter. Jadi jika disepakati hidden kurikulum adalah pendidikan karakter maka kita pernah mengalami kesalahan fatal dengan karkater diajarkan. Walaupun sifat redaksinya berupa harapan dari satu materi, misalnya muncul karakter jujur. Indonesia dengan berbagai suku bangsa, didalamnya sangat kaya dengan kurikulum-kurikulum yang tersembunyi tersebut. Setiap masyarakat adat atau bangsa tertentu akan memiliki pusaka yang menjadi rambu-rambu, peraturan, kesepakatan untuk ditaati. Hal-hal tersebut yang akhirnya menghasilkan karakter walaupun untuk menemukan adat yang sesungguhnya pada zaman ini tidaklah mudah.
Masyarakat adat apabila berusaha diperas dan dicari keberadaannya akan sangat sulit di era sekarang ini. Ketika berbicara masyarakat adat akan ada puluhan bahkan ratusan aspek yang itu harus dipenuhi untuk dapat dikatakan sebagai bagian masyarakat adat. Jurnal Indigenous Students Experiences of The Hidden Curriculum in Science Education: A Cross-National Study in New Zealand and Taiwan bagi saya merupakan fakta penting yang harus diangkat ke permukaan. Usaha membandingkan masyarakat adat Maori dan  Seediq Attayal yang lintas negara cukup memberikan pemahaman yang komperhensif. Di mana multinasional seolah menjadi hilang ketika berbicara multikultural dan cross cultural. Jadi, saya membuat kesimpulan sementara bahwa globalisasi yang sedang digandrungi manusia di jagad ini disatu sisi memiliki sudut pandang sama terkait dengan hilangnya batas nasional. Dalam masyarakat global semua akan cenderung menjadi sama, tetapi dalam masyarakat adat semua memiliki ciri khasnya tersendiri. Lalu bagaimana kaitan masyarakat adat dengan pendidikan?
Saya mengutip kesimpulan dari jurnal tentang masyarakat adat ini.
In this paper, we have identified a tension between the official aims of state education policies relating to indegenous peoples and pedagogical practice in science. On one hand , indigeneity is extolled in curriculum documents and formal commitments are made to “culturally inclusive” teaching; on the other, indigenous learners frequently feel that they are excluded from advancement in school science.
     Kita ketahui ada paradoks bahwa masyarakat adat dianggap terbeakang lantaran masih menggunakan konsep-konsep yang kadang tidak di terima oleh pemahaman ilmiah. Padahal itu adalah teknologi yang lahir dari kalangan masyarakat itu sendiri dalam rangka bertahan dan mempertahankan kehidupannya, atau juga dikatakan menghidupi kehidupannya. Seharusnya dunia sekolah yang akademis tetap menganggapnya sebagai ilmiah sampai pada taraf kemampuannya sebagi masyrakat adat. Kembali kepada perubahan pendidikan arahnya adalah menjalin hubungan dan berangkat mengkonstruksi pengetahuan dari masyarakat adat tersebut.
Lain lagi jika kita membahas hidden agenda ini dalam lingkup yang lebih jauh. Pendidikan dalam suatu negara tentu sejalan dengan kepentingan nasional yang sedang ditempuh. Seperti di contohkan di Taiwan bagaimana perubahan kurikulum yang mendasar sehingga begitu mempengaruhi pola komunikasi dengan kondisi adat masyarakat setempat. Legitimasi istilah ilmiah dan tidak ilmiah malah cenderung membawa dikotomi yang kaku. Seolah adat dianggap tidak relevan dan ilmiah lagi karena arah peradaban dan perkembangan dunia sedang menuju modernisasi  dan industrialisasi. Padahal sikap ilmiah bukan berarti skeptis lalu antipati, yang benar malah seharusnya mau menelaah dan meneliti kembali terhadap pengetahuannya itu.
     Kebanyakan yang terjadi malah ketegangan antara kebijakan resmi pendidikan terhadap nasib adat yang pada akhirnya hanya diberi ruang untuk bergabung menjadi ilmu budaya. Ada anggapan yang keliru bahwa pengetahuan adat dapat didapat melalui sistematika dan metodelogis tertentu yang kohern dan komprehensif dengan cabang ilmu-ilmu lain. Selain itu ideologi adat tertentu yang diagungkan hanya sebatas menjadi perasan kata-kata bijak filosofis yang merupakan warisan masa lalu. Hilang keterkaitan keduanya, karena memang sengaja dihilangkan demi mensukseskan kepentingan tertentu saja.
     Hal menarik adalah persepsi yang kemudian muncul dari masyarakat adat terhadap pengetahuan ilmiah ala sekolahan. Seolah mencerminkan status sosial bahwa ada kondisi tertentu yang menghendaki bahwa sosok ilmuan harus disandang oleh orang-orang barat (dalam jurnal tersebut jas putih yang didominasi kulit putih). Hal krusial menurut saya ketika sudah tidak percaya lagi kepada asal usulnya malah begitu tergila-gila dengan hal baru yang itu akan terus berjalan dengan pola jangka panjang. Akibatnya hanya akan merasa tertinggal terus dan merasa kurang percaya diri. Pada akhirnya saya tutup tulisan ini dengan satu konklusi bahwa perubahan pendidikan yang mampu menjawab tantangan zaman terjadi jika ada hubungan kesepahaman dan merasa sama-sama membutuhkannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di