Langsung ke konten utama

Riset Sakjroning Urip, Sekolah Sampai Sadar

Banyak orang sekolahan, terpelajar, atau setidaknya pernah merasakan pendidikan dengan berbagai macam cara. Kalau di kampung-kampung jawa, ada taraf dan usia tertentu orang-orang tersebut akan dikenal sebagai para sesepuh pinisepuh dengan embel-embel gelar winasis. Entah standar dan kriterianya untuk menyebut seseorang dengan istilah tersebut. Bahkan kalau seandainya itu melalui mekanisme perasan-perasan yang banyak, berarti tidak sekedar punya kepandaian saja. Pada tataran itu, ia adalah seseorang yang dari kehadirannya saja sudah mampu membawa dan menebar kebahagiaan. Kebanyakan akan dipercaya untuk menduduki jabatan-jabatan luhur dan terhormat. Sampai-sampai ada kebiasaan ketika mau lewat di depan rumahnya saja dari jarak seratus meter sudah siap-siap merunduk. Apabila si empunya rumah sedang duduk di depan lalu menjawab ucapan permisi, bahagianya bukan main. Lebih-lebih kalau menyapa duluan, bisa jadi diobrolkan kemana-mana. “aku mau liwat daleme Pak Joko diaruhi.. woalah atase gur wong gedibal ngene...” Begitu sederhana dan mudah kebahagiaan itu hadir melalui sapaan sang winasis ditengah keadaan diri sebagai gedibal sangalikur.
Saya kemudian ketemu dengan istilah mahasiswa, akademisi, praktisi, dan universitas. Manusia yang kebetulan ada sekarang berarti lahir di zaman yang sedang menggandrungi dunia akademisi. Maka hal yang dianggap ngangsu kawruh paling mintilihir ketika levelnya sudah mencapai fase perguruan tinggi atau universitas, dengan sesebutan mahasiswa dan mendapat gelar. Itu sudah terkonsep dipikiran anak-anak generasi ini. Tanpa disadari kalau generasi pendahulunya merupakan akademisi dengan caranya sendiri dan di luar sana banyak akademisi lain dengan jalan yang berbeda. Hasilnya ada yang merasa paling pandai setelah menempuh pendidikan yang tinggi. Kalau ilmu padi makin berisi makin merunduk, sekarang tidak tahu ilmunya apa dan ketika makin berisi yang lain harus merunduk. Di blue print hidup saya ternyata harus  terlibat juga di dalam dunia universitas. Terlebih lagi universitas yang katanya ngurusi pendidikan, maka tulisan ini bentuk curahan pemikiran dan nguda rasa dengan segala kesempitan dan keterbatasan.
Pendidikan semestinya dipahami sebagai istilah yang ada sebab dan punya akibat. Coba saja masuk dari sudut pandang berbagai fenomena yang sedang terjadi.  Lalu silahkan bertanya pada diri masing-masing apa itu pendidikan? Mengapa harus pendidikan? Kalau mau mencari definisinya sudah jutaan kali hal tersebut dirumuskan. Tanpa ruwet kutip sana sini, bukankah pendidikan adalah hal alami dari dalam diri manusia yaitu untuk mencari tahu. Ngangsu, nggolek, sinau, ajar, dan belajar. Istilah long life education adalah terminologi sebab dan akibat. Sebab manusia harus belajar untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam kehidupannya. Akibatnya manusia tahu dan mengerti sehingga efek minimalnya tidak mengulangi suatu kesalahan yang sama di masa yang akan datang. Dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tahu menjadi muncul kebijkasanaan-kebijaksanaan. Kebijaksanaan yang menghadirkan kebermanfaatan.
Ya, saya adalah contoh yang gagal paham dengan pendidikan. Pendidikan yang semestinya bisa disederhanakan malah seolah jadi rumit, masih ditambah sistem yang berbelit. Saya bukan ahli bahasa dan sastra Indonesia sehingga jelas gagal kalau mau memahami istilah. Apalagi memahami pendidikan pada praksisnya. Semoga anda-anda yang lebih berpendidikan tidak mengalami nasib seperti saya, yang bingung-bingung bandingke gelar akademik dan gelar di kampung. Sok-sokan nyari mana proses pendidikan yang bermanfaat. Sekolah atau yang tidak lewat jalur sekolah. Sebenarnya distorsi kognitif ini pernah dapat jawaban begini, “rumangsane kalau tidak sekolah tidak berpendidikan, gitu? Padahal belajar itu bisa dilakukan dimanapun tempatnya, kapanpun waktunya, dan efeknya muncul keputusan-keputusan dari kedaulatan dirinya. Itu sudah sangat mewakili pendidikan. Bahaya ini, kalau saya lanjutkan takutnya kamu milih tidak sekolah.”
Sebenarnya kita semua ini bisa disebut peneliti yang handal dan berpengalaman. Hidupku, hidupmu, hidup sampean itu sejatinya sangat riset. Penelitiannya di universitas alam semesta, fakultas peradaban, program studi kebudayaan, dengan mata kuliah yang anda sedang jalani dan usahakan. Modalnya pola pikir dan motif yang jadi metodologi terbaik untuk memuat instrumen-instrumen sehingga menghasilkan sikap, kebiasaan, kebudayaan, dan peradaban. Sepakat atau tidak hidup itu bukan keberuntungan saja. Manusia harus berusaha dan berimprovisasi untuk mewujudkan keinginan. Seringkali berpikirnya sudah kalau berhasil atau tidak berhasil, lalu percaya pada keberuntungan, hoki, mujur. Padahal perkara berhasil atau tidak itu letaknya pada titik kebutuhan dan ukuran kemampuan masing-masing. Hal yang bukan wilayah kerjanya manusia kalau sudah bicara dimensi hasil, urusannya sudah kehendak. Dikira-kira saja Tuhan terharu apa enggak sama kelakuan kita. Meminta-minta tetapi tidak ada usaha dari permintaannya, ya kapan sampainya. Bulatan-bulatan pola seperti kerangka pikir ini kalau mau dijadikan bahan renungan sudah sangat pendidikan. Sekedar merenung saja sudah pendidikan lho...
Kata teman saya yang sudah sarjana, urip kudu murup. Seperti itu juga boleh tetapi mbok jangan terburu-buru karena nguripi urip itu hal yang lebih utama. Kita beres dulu dengan taraf hidup kita sendiri yang letaknya pada tingkat kesyukuran masing-masing. Baru setelah itu mau murup silahkan, tidak murup juga gak papa yang penting kelakuannya baik. Urip kudu murup itu sebagian sahaja dari rumusan pertanyaan-pertanyaan riset hidup yang harus diupayakan jawabannya. Memang, hidup harus memberi manfaat. Terminologinya dalam riset yaitu tidak ada penelitian kok tidak membicarakan manfaat untuk si peneliti. Lha opo sih tujuane neliti? Ya jelas pertama harus sampai pada kesadaran rasa dan kedaulatan berpikir dari risetnya, karena dari berpikir itu akan melahirkan pola tingkah laku yang berbuah sikap kepada semua hal. Baru boleh menyarankan manfaat untuk orang lain, itu saja tidak memaksa.
Sekarang ini ada peristiwa dipaksa menerima manfaat. Dipaksa percaya manfaat pendidikan yang didapat dari sistem sekolah, akibatnya  semakin hari terjadi tumpang tindih dan tidak jelas antara sekolah dan pendidikan. Sekolahan itu apa? Apakah pernah membayangkan kalau yang namanya sekolah itu akhirnya jadi hal menarik seperti sekarang dan mengambil bagian dalam kehidupan untuk menentukan nasib seseorang. Lalu dimana letak pendidikan?
Di zaman yang serba praktis ini terkadang membuat ogah-ogahan untuk sekedar mengerti sebuah istilah. Jadinya tidak ngerti juga sekolah itu apa dan pendidikan itu seperti apa. Penting pendidikannya atau sekolahannya. Tetapi abu-abunya keadaan ini bukan masalah karena kita semua sedang menjalani pendidikan untuk memburu pengetahuan yang  maha luas, sampai pada nerima se nerima-nerimanya. Bahwa semua orang sudah berpendidikan tanpa harus dapat pengakuan. Tidak ada yang lebih baik tetapi semua punya kebaikan dalam tarafnya masing-masing. Khawatir juga sekolah salah orientasi dan malah menyempitkan urusan pendidikan yang sesungguhnya. Konsep mudahnya dari sejak Nabi Adam sampai Adam Malik maupun Adam Levine dan adam yang akan lahir nanti, semua itu pendidikan yang harus diteliti pada tujuan kebenaran.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb