Langsung ke konten utama

Program Pengentasan Ketertindasan

Ada banyak penyakit kronis komplikatif yang semakin hari melemahkan dan menggerogoti bangsa ini. Efeknya memang tidak begitu terasa lantaran manusia Indonesia ini punya ketahanan dan ketabahan luar biasa. Kalaupun ada obat yang sifatnya seperti bantuan kemanusiaan skala internasional itu antara dosisnya tidak tepat atau obatnya memicu penyakit baru. Tak jarang hasilnya semakin dipojokkan supaya kerdil, tidak percaya diri, dan serba kekurangan. Urusan pendidikan pun tak luput dari serangan beruntun sejak tingkat paling dasar.
Cerita dari tokoh senior pendidikan yang sebetulnya menggambarkan nada pesimis ini kalau coba diresapi justru menunjukkan kecintaan yang luar biasa.

“Pendidikan kita itu sudah sangat mendukung modernitas, sejak negara bangsa ini berdiri yang diadopsi sistem barat. Puncaknya ketika pendidikan yang murni hasil kebudayaan bangsa sendiri malah dianggap tidak resmi, disingkirkan, tidak diakui negara. Selembar surat berkop dan berlogo sakti itu hanya milik sekolahan, yang akhirnya dikejar mati-matian.”

“Bukannya saya tidak setuju dengan modernitas justru sangat saya dukung kalau memang mau bersungguh-sungguh modern, kalau tidak niat ya mending pendidikan warisane simbah saja. Lha ini belajar dari leluhur aras-arasen, mau modern ternyata juga tidak siap. Akibatnya hanya merasa tertinggal terus sampai era globalisme yang sangat matre ini. Maka di era 90an adalah dimulainya pembebasan pendidikan. Pendidikan yang membebaskan dari penindasan, penindasan sejak dalam pikiran. Ingat, pendidikan itu bukan untuk menakut-nakuti.”

 “Pembangunan adalah virus yang mempengaruhi cara berpikir, sikap terhadap semua hal, dan termasuk prioritas utama mengelola negara bangsa ini. Kapitalisme di negara ini memilih kemasan berlabel development dalam makna pembangunan. Maka tidak ada lembaga yang tidak membuat pusat studi pembangunan di masa dimulainya pembangunan besar-besaran itu. Diikuti berbagai organisasi yang sengaja dibentuk negara untuk mengontrol warganya dalam kesibukan menyokong melanggenggkan kapitalisme di semua bidang. Bentuknya menjadi suatu tim atau golongan tetapi belakangan tim tersebut pecah dan saling serang antar “dinasti”. Bedanya di masa itu lembaga pertahanan dan keamanan diikutkan untuk memaksa ngurusi kegiatan sehari-hari, mengawasi gerak-gerik warganya sendiri.”

“Sekolah inpres yang tersisa sampai hari ini adalah program paling berhasil dari pendidikan  dalam upaya untuk mendukung dan mengembangkan merek pembangunan itu. Guru dulu itu tugasnya dua, selain dia dibawah kemendikbud juga ada di bawah kemendagri dalam upaya mensukseskan sebuah golongan duwe gawe. Tujuan utamanya pemberantasan buta huruf, huruf abjad tapi kalau bisa aksara lain tidak dianggap. Ya, karena modernitas kitabnya bertuliskan huruf abjad a,b,c,dst. Maka di kampung-kampung itu guru akhirnya jadi sosok yang sangat berwibawa mengalahkan tokoh masyarakat adat, maka diikuti pula pudarnya sedikit demi sedikit keluhuran budi di desa-desa.”

“Pendidikan tingginya dibuat gandrung dengan pemikiran barat sehingga diberikan sekolah setinggi-tingginya untuk dipasang sebagai agen-agen penerus, banyak yang nyebut dengan istilah “mafia berkeley”. Diserang habis-habisan supaya tidak ada pilihan lain selain menuju pemahaman pasar bebas. Sampai akhirnya semua dikikis total kepercayaan dirinya hingga hal paling sepele, tidak lain supaya jadi konsumen. Minum itu jangan air rebusan karena kurang higenis, tidak memenuhi unsur mineral, dan tubuh butuh ion. Akhirnya ditawarkan yang namanya air mineral dalam kemasan yang digambarnya diambil dari pegunungan. Kalau keramas itu pakai sampo clethet sachet, sabun cuci muka merk nganu, permainan pasar supaya tidak berusaha membuat sendiri. Kendaraan itu harus tipe ini, class itu yang kalau kebeli juga akan mempengaruhi penampilan dan gaya hidupnya, minimal gak mau lagi sendalan jepit dan kaosan gembel. Malu yang tidak pada tempatnya sehingga menghasilkan kebiasaan beli-beli saja tetapi memang konsumtif dan konsumerisme adalah harapan di pasar bebas.”

“Sekarang tinggal generasi ini mau optimis dengan paradigma keadilan atau masih nyaman dengan mburuh dengan tedeng aling-aling develap-develop itu. Saya tanya, kalau di negara bangsa ini tidak ada keadilan yang rugi siapa? Kere-kerenya? Tidak, ternyata bukan pihak yang tertindas saja, malah si penguasa tidak adil itu yang sangat rugi karena dia sudah jauh dari kemanusiaan. Lha kalau bukan manusia wangune opo?”
“Tetapi saya yakin biji pembebasan itu sedang bertunas dan tumbuh berbunga ditengah semangat generasi saya yang tidak sekuat dulu.”

“Oh iya, ada yang bilang program pengentasan kemiskinan malah tidak akan berhasil karena akan lebih baik jika cara berpikirnya yang diubah jadi peningkatan kesejahteraan. Ya sudah, kalau begitu lebih baik lagi kalau programnya pengentasan ketertindasan berpikir.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di