Langsung ke konten utama

POLITIK REPRESENTASI

POLITIK REPRESENTASI
PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DAN MASYARAKAT SAMIN
Oleh: A. Ratman
Rangkuman Sinau Bareng Politik Representasi (15 November 2015) Rumah Maiyah/Perpustakaan EAN.
Disampaikan kembali dalam diskusi Pendidikan Konsentrasi IPS Dikdas PPS UNY
1 Desember 2015

Representasi dipandang sebagai model baru dalam mewujudkan konstelasi politik maupun kepentingan politik. Representasi banyak dipahami sebagi keterwakilan atau perwakilan. Hanya saja re-present ini apakah benar-benar mewujudkan keterwakilan dan perwakilan atau hanya tampilan citra. Jatuh pada skema citra visual saja yang berusaha menampilkan sebuah identitas melalui topeng-topeng, maka tak ada bedanya dengan sekedar pencitraan.
Politik representasi ternyata bukan menjadi milik elite politik saja. Di kalangan arus bawah rupanya juga terjadi riak-riak kecil yang berpotensi menimbulkan keresahan. Adanya oknum-oknum yang sengaja memanfaatkan masyarakat tertentu untuk memperoleh posisi daya tawar. Representasi yang hanya bertujuan menguntungkan pihak tertentu saja, bahkan dengan sengaja mengorbankan yang lain. Representasi sebagai simpati atau representasi yang sebenarnya manipulatif akhirnya juga menjadi kabur karena opini-opini publik terlanjur digiring untuk menilai kebenaran dari satu sisi saja.
Rencana pembangunan pabrik semen di wilayah karst gunung kendheng ada sejak tahun 2006. Gunung Kendheng ini meliputi wilayah Kabupaten Pati, Blora, Rembang. PT Semen Gresik berusaha membangun pabriknya di Sukolilo Pati tahun 2006 tetapi pada tahun 2009 PT Semen Gresik kalah dalam gugatan peradilan dan mengalihkan pembangunan industri di Rembang. Kronologis singkatnya pada tahun 2010 ada rencana kembali oleh perusahaan yang lain yakni PT Indocement untuk membangun industri di Tambakromo dan Kayen Kabupaten Pati. Tahun 2015 muncul suara-suara penolakan yang ditempuh melalui berbagai cara termasuk jalur hukum. Akhirnya gugatan yang digagas oleh forum-forum masyarakat peduli kendheng ini membuahkan hasil yakni putusan pengadilan pada 16 November 2015 secara resmi berkekuatan hukum membatalkan pembangunan pabrik semen.
Hasil keputusan pengadilan itu ternyata tidak begitu saja menyelesaikan masalah jika berusaha melihat dan mendalami proses yang terjadi. Keterlibatan masyarakat samin sebagai identitas yang sering digunakan oleh kelompok-kelompok penolak pabrik semen perlu ditelaah lebih mendalam. Diterbitkannya film dokumenter “semen vs samin” sebenarnya menjadi kontroversial bagi masyarakat samin sendiri. Masyarakat samin menilai bahwa sikap  perlawanan adalah bukan watak dan warisan ajaran leluhur samin. Sehingga muncul pula bentuk antitesa film tersebut dengan dokumentasi yang digagas Budi Santoso untuk meluruskan keadaan. Film dokumenter yang menggambarkan perjalanan dua orang pemuda untuk memahami keadaan yang senyatanya tentang samin diberi judul “sikep samin semen”. Fakta-fakta yang disajikan dalam dokumentasi ditambah dengan hasil diskusi bersama tokoh sikep, tim aktivis, dan ahli waris gunung kendheng menarik untuk dijabarkan.
Politik representasi antara simpati dan manipulasi adalah judul yang diwacanakan oleh Habib Anis Sholeh Baasyin dalam diskusi bulanan Rumah Maiyah di Kadipiro, Yogyakarta pada hari Minggu, 15 November 2015. Dalam uraian singkat ini berusaha menyajikan kembali hasil diskusi untuk dikemas dalam pemahaman ruang-ruang formal sebagai akademisi maupun praktisi. Banyak hal yang mungkin tidak dapat dengan lengkap digambarkan, murni dikarenakan keterbatasan pemahaman saya.

Politik Representasi
Peristiwa politik bagi sebagian kalangan sudah menjadi makanan sehari-hari. Melaui media cetak dan elektronik politik menjadi headline kabar-kabar nasional. Politik representasi sebenarnya sudah menjadi hal umum di lingkup akademisi akan tetapi dalam keseharian masih terasa asing di telinga kita. Untuk itu perlu adanya pemahaman mengenai politik representasi secara singkat dan sederhana.
Beberapa ahli mencoba memberikan definisi mengenai politik representasi. Politik representasi tidak terlepas dari persoalan gender, ras, etnik, dan seterusnya. Kaitannya dengan paradigma modern, representasi akan menjadi problem karena modernisme menganggap kebenaran hanyalah satu. Berbeda dengan post-strukturalis yang menganggap kebenaran adalah banyak (Sugiharto, 2014). Pendapat di atas mencoba menelaah representasi dari zaman yang menyertainya. Modernisme memang berimbas adanya sudut pandang baru antara yang modern dan tidak modern. Dampaknya ada standar baru bahwa yang modern dipandang sebagai satu-satunya standar untuk diikuti. Representasi yang merupakan bentuk keterwakilan identitas akhirnya menjadi sempit. Sisi negatifnya jika representasi itu bukan merupakan representasi sebenarnya tetapi terlanjur dianggap sebagai kebenaran yang menampikkan keadaan sesungguhnya.
Keberadaan media dan kemampuan bentuk representasi (untuk tampil mendominasi) sangat mempengaruhi persepsi publik. Tak ayal pada akhirnya representasi menjadi alat instan menaikkan popularitas demi kepentingan tertentu yang kemudian kita kenal dengan pencitraan.
Pendapat lain diungkapkan oleh Norman Firclough. Ia melihat representasi adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, tindakan, keadaan atau apapun yang ditampilkan dan digambarkan, bahwa kita bisa direpresentasikan oleh wakil kita ketika secara fisik tidak ada (Partini, 2012: 42). Firclough dengan lebih ringan berusaha menampilkan representasi dengan istilah keterwakilan. Hal-hal yang diwakilkan itu beragam dari ciri khas yang menyertai sampai pada perilaku khusus. Maka prinsip wakil dan yang diwakili ini seperti dalam sebuah semiotika, bahwa wakil harus bisa menjadi tanda untuk menggantikan penanda yang diwakilinya.
Pendapat selanjutnya diungkapkan Hanna Pitkin (dalam Subono, 2009: 58) mengartikan politik representasi sebagai to represent yaitu aktivitas yang membuat perspektif, opini, dan suara warga negara hadir (present) dalam proses pembuatan kebijakan publik. Representasi politik bisa terjadi apabila aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak atas nama yang lain (others). Pitkin lebih menekankan pada peranan politik representasi dari sudut pandang sistem komunitas dalam hal ini negara. Digambarkan ada aktor-aktor atau bisa dipahami sebagai pemeran untuk menampilkan suara-suara yang diwakili. Tujuannya adalah untuk membuat kebijakan yang akhirnya mampu menyentuh semua kalangan.
Dari beberapa pendapat di atas, intisari politik representasi berarti juga mengarah pada bentuk fakta yang digambarkan. Representasi hadir maka akan muncul opini yang sifatnya subjektif. Sehingga politik representasi singkatnya adalah sebagai bentuk perwakilan yang menampilkan kembali keadaan-keadaan yang sedang diupayakan termasuk atribut-atribut tampilan khas namun harus tetap dipandang secara kritis sebagai fungsi kontrol.

Deskripsi Masyarakat Samin
1.      Asal Mula Nama Samin
Berdasarkan hasil Tim Peneliti Kementrian Kebudayaan, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan yang terangkum dalam Buku Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin, Kabupaten Blora asal mula nama Samin dapat tergambar singkat sebagai berikut.
Nama Samin berasal dari nama salah seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko (Surontiko). Samin surosetiko dilahirkan tahun 1859 di Desa Ploso, Kediren sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko dalam hitungan kerabat keturunan Pangeran Kusumoningayu atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu. Pangeran Kusumoningayu adalah Raden Adipati Brotodiningrat yang memerinah di Kabupaten Sumoroto (Tulungagung).
Sekitar tahun 1980. Pada waktu itu berumur 31 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya. Para pengikutnya orang-orang satu desa. Dengan laku tapabrata, ia memperoleh wahyu kitab Kalimosodo. Sejak itu pengikut samin menjadi bertambah banyak. Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin (saminists) berjumlah 722 orang tersebar di Blora, Bojonegoro, dan beberapa tersebar di Ngawi serta Grobogan. Kemudian meluas ke Rembang dilakukan oleh menantu laki-laki Samin, yakni Surokidin dan Karsiyah (Benda dan Castles dalam Titi Munfangati, dkk., 2014: 23). Di tahun berikutnya Samin memiliki pengikut 3000 orang.
2.      Ajaran Samin
Sampai batas tertentu ajaran Samin juga ajaran mistik ajaran kebatinan yang harus ditempuh dengan laku. Ajaran tersebut menjadi pedoman tingkah laku dimana orang samin tidak menghendaki sebuah permusuhan. Atau dalam gambaran deskriptifnya seperti kutipan berikut.
Titi Mumfangati dkk. (2004: 24) menerangkan prinsip-prinsip ajaran Samin Surosentiko itu pada hakikatnya menyangkut nilai-nilai kehidupan manusia yang tidak sempurna. Ajaran-ajaran itu digunakan sebagai pedoman bersikap dan tingkah laku atau perbuatan-perbuatan manusia, khususnya orang-orang Samin agar selalu hidup dengan baik dan jujur untuk anak keturunan kelak.
3.      Sejarah Pergerakan Samin
Sebaran komunitas masyarakat adat samin banyak berada di wilayah Kudus, Pati, Blora, Bojonegoro, dan sebagian Demak. Wilayah itu dahulu menjadi basis ajaran samin berkembang. Samin Surosentiko semacam membuat pergerakan bagi kaum tani untuk melawan Belanda karena mulai menguasai lahan-lahan.
Pendekatan yang digunakan bukan bentuk perlawanan secara terang-terangan tetapi bentuk pembangkangan terhadap aturan. Ibaratnya Samin memposisikan diri sebagai komunitas yang kaku dan tidak peduli dengan kebijakan, tujuannya untuk melawan secara halus. Belanda menyebut pergerakan samin dengan pergerakan lijdlijk verzet (perlawanan pasif). Hal ini yang membuat Samin Surosentiko dan enam pengikutnya ditangkap di Kedung Tuban, Randublatung, Blora. Samin Surosentiko dibuang ke Sawahlunto, Padang (Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis: 2014: 23).
Gerakan Samin tidak lain adalah upaya untuk menginternalisasikan gusti secara sempurna ke dalam diri tiap individu (kawula) setelah relasi kawula tidak berarti lagi dan pemerintah kolonial merampas kemerdekaan para petani ini dengan memaksa mereka membayar pajak dan bekerja untuk pemerintah kolonial (kuli kenceng) (Fauzanafi dkk., 2012: 27). Berangkat dari paham ajaran tersebut tentu masyarakat samin hanya meyakini ketundukan pada hubungan yang sikep. Ketika sudah tidak dianggap dengan diperas melalui pajak maka mereka membangkang. Hanya saja mereka tetap menanti sampai tanah Jawa di pimpin oleh orang Jawa atau dalam hal ini mengakui konsep ratu adil.
Bentuk upaya samin atau sikep yang mengaanggap semua saudara berakibat pada peristiwa Gestapu. Pada tahun 1965 beberapa orang Samin dituduh sebagai anggota PKI hingga ditahan. Ketika masa orde baru memang terjadi upaya untuk mengait-ngaitkan sedulur sikep dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap mereka ateis (Fauzanafi dkk., 2012: 27). Sehingga samin dalam pergerakan paham dan ajarannya menemui berbagai tekanan yang silih berganti tetapi terbukti masyarakat adat ini tetap bertahan dengan segala keadaan.

Bentuk Politik Representasi Dalam Perlawanan Pembanguan Pabrik Semen
1.      Analisis Representasi Masyarakat Samin
Anis Soleh Ba’asyin sebagai seorang antropolog dan ulama telah lama melakukan riset pada masyarakat samin sampai diterbitkanya buku samin: mistisisme petani di tengah pergolakan pada tahun 2014. Dalam diskusi 15 November 2015 di Pendopo Rumah Maiyah, Habib Anis banyak memberikan pengantar dan gambaran dari hasil analisis serta risetnya. Menurut pendapat beliau sebelum tahun 2002 sedulur sikep belum dipakai tetapi samin menganggap semua orang sedulur. Maka sikep atau samin sebenarnya tidak menggunakan kata sedulur untuk penyebutan komunitasnya. Dari hal sederhana ini pun sudah terkuak suatu fakta ada niat tertentu dengan dimunculkannya istilah sedulur sikep.
Ada upaya penggambaran oleh pihak tertentu untuk memperkenalkan samin menjadi identitas baru yang lebih mudah diterima kalangan luas. Hal-hal lain yang kemudian muncul termasuk pada bentuk cara berpakaian. Berdasarkan penelitiaan hitam bukan ciri khas sikep. Orang sikep biasa menggunakan pakaian di bawah lutut dengan hiasan kepala udeng. Identitas fisik dengan pakaian serba hitam tersebut hanya sengaja dimunculkan agar mampu menggambarkan sikep bagi orang-orang yang tidak mengenal sikep. Faktanya Samin Surosentiko memakai udeng ketika ditangkap pihak belanda.
Ajaran Samin sesungguhnya tidak seperti yang ditunjukkan orang-orang tertentu. Kebanyakan yang ditunjukkan adalah ulah oknum yang sengaja menunggangi masyarakat Samin sebagai alat menunjukkan daya jual. Gerakan yang muncul untuk melawan semen ini oleh oknum tertentu menjadi ilham dan dimanfaatkan dengan gerakan identitas fisik. Penanda baru sedulur sikep dan penanda identitas baru pakaian sikep. Diusahakan orang-orang yang terlibat memakai pakaian yang sudah ditentukan sehingga citra itu yang dikedepankan atau di jual ke publik. Perempuan memakai kebaya dengan hiasan semacam tusuk bambu ikatan rambut dengan cat merah putih. Salah satu saksi adalah D yang pernah dipaksa memakai pakaian sikep yang telah ditentukan tersebut ketika melakukan aksi.
Representasi orang sikep diciptakan dalam bentuk penolakan secara ide oleh oknum-oknum tersebut. Mungkin kita hanya akan melihat ini persoalan biasa yang intinya tidak sepakat kemudian terjadi sebuah penolakan. Penolakan yang ditempuh melalui jalur hukum sekaligus pemunculan aksi massa. Tidak disadari di bawah sangat menciptakan persoalan realitas. Sikep dianggap menolak dengan segala tampilan yang kemudian menjadi film samin vs semen. Pada kenyataanya orang sikep tidak menolak, mereka berpegang teguh pada pesan Mbah Samin bahwasanya ketika tanah Jawa dipimpin kembali oleh orang Jawa mereka wajib untuk mendukung pemerintahan jika itu semua demi kebaikan bersama. Sehingga efek yang diterima oleh orang sikep menjadi ganda. Pertama, orang sikep selalu diawasi dan dicurigai bahkan tak jarang didatangi pihak berwajib dengan alasan akan menyelenggarakan aksi. Kedua, orang sikep dirugikan karena mereka sebenarnya tidak terlibat tetapi selalu disebut-sebut namanya dalam media dengan bentuk-bentuk perilaku yang tidak sepantasnya. Orang sikep yang tergabung dalam JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendheng) dirugikan lantaran mereka sebenarnya juga berusaha tetapi mereka tidak disebutkan. Ada pencitraan yang sangat sistematis. Maka dalam kasus ini harus cerdas menelaah dan meneliti supaya tidak terjebak politik pencitraan yang sengaja dibuat oleh oknum tertentu.
Fakta yang juga mengejutkan terjadi pada penduduk sukolilo yong notabene menjadi basis perlawanan masa. Fakta dari keterangan Tim Ahli Waris Gunung Kendheng menyebutkan jumlah penduduknya berkisar 400-660 jiwa tetapi tidak lebih dari 10% yang ikut aksi. Ketika terlihat aksi massa yang begitu besar ternyata bukan asli Sukolilo tetapi hadir orang-orang dari luar daerah yang dengan sengaja ditampilkan dengan ciri orang sikep atau samin. Belum lagi peran media yang sebenarnya kita sulit menelaah antara menampilkan fakta atau lagi-lagi kepentingan juga.
2.      Sikep, Samin, dan Semen Tinjauan Politik Representasi Modern
Sikep yang bermakna sing diakep atau ilmu yang dipakai. Dari makna sikep sendiri mengesankan bahwa masyarakat sikep atau samin begitu tertutup dengan yang bukan berasal dari paham mereka. Permasalahan yang mengemuka mengenai pembangunan pabrik semen malah banyak ditanggapi oleh masyarakat samin dengan tenang tanpa ada kekhawatiran. Bagi mereka ada hal-hal lain yang masih perlu diperjuangkan dan mendesak, misalya masalah identitas kepercayaan dan adat perkawinan.
Terlepas dari masalah konflik yang sengaja diciptakan, ada berbagai hal yang akhirnya juga muncul kepermukaan termasuk hak-hak warga yang semsetinya negara mampu mengakomodir. Walaupun masalah kepercayaan ini cukup jelas dalam peraturan perundangan tetapi tantangan terbesarnya adalah lingkungan masyarakat. Memang politik negara dan adat terkadang menemui benturan-benturan yang sebenarnya bisa diusahakan untuk ditemukan jalan keluarnya.
Sebuah kutipan tentang adat dalam politik Indonesia sebagi berikut.
Dengan pengamatan lebih dekat lagi, politik adat dalam periode lampau dapat juga dilihat sebagai sesuatu yang sangat mudah berubah, cepat, serta paradoksal. Tersirat dalam keinginan Leiden School untuk melindungi orang Indonesia dari pemilik modal dan negara adalah sebuah asumsi tentang kekuasaan yang punya kebajikan (benevolent power) sehingga dengan asumsi ini muncul juga  sebuah kesadaran bahwa bila perlu yang lemah harus dilindungi tidak hanya terhadap pihak luar melainkan juga terhadap diri mereka sendiri, khususnya terhadap segala bentuk godaan yang mungkin mereka rasakan seperti mengalihkan kepemilikan atas tanah dan adat kebiasaan mereka secara sukarela (Davidson, James S., David Henley, & Sandra Moniga. 2010: 31)
Kutipan di atas begitu jelas menerangkan bahwa masyarakat adat memang begitu rawan dalam dunia kepemilikan modal dan negara. Samin menjadi sebuah gambaran nyata, mereka hanyalah masyarakat adat yang begitu terombang-ambing dari masa ke masa. Masih banyak masyarakat minoritas di luar sana yang memang harus mendapatkan perlindungan. Tidak saja perlindungan dari luar melainkan perlindungan dari kebijakan sebuah negara itu. Ada sebuah ungkapan negara mampu melindungi masyarakatnya dari bahaya luar tetapi masyarakat dalam sebuah negara itu belum tentu terlindungi dari bahaya negaranya sendiri.
Hidup di negara demokrasi tentu memiliki harapan besar semua kebutuhan dan kepentingan masyarakat setidaknya dapat dipenuhi dari berbagai sisi selama itu tidak merugikan masyarakat lainnya. Menurut Hatta hal yang penting dalam demokrasi adalah rakyat menjadi penentu atas masa depannya sendiri melalui mandat yang mereka berikan, baik secara langsung maupun perwakilan. (Yudi Latif, 2011: 415). Hatta menyebutkan dalam demokrasi harus rakyat sebagai penentu masa depannya. Kaitannya dengan warga masyarakat Samin dan mungkin masyarakat lain masih membutuhkan berbagai pengakuan. Hal tersebut bisa diusahakan melalui berbagai mekanisme termasuk perwakilan. Sehingga representasi sebenarnya sangat penting untuk bisa menjadi pengganti yang benar-benar berjuang dalam kerangka berpikir yang direpresentasikannya. Permasalahan konflik ini sebenarnya tidak akan berlarut jika suara-suara arus bawah ini benar-benar menemukan wakilnya.
Mahfud MD pernah menuliskan dalam salah satu esainya. Ia berusaha menarik sebuah solusi melihat keadaan politik yang terkesan begitu ruwet.
Mahfud MD menarik benang merahnya siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik, harus senantiasa membuka dan memudahkan jalan musyawarah dengan menjunjung etika politik dan semangat kekeluargaan. Agaknya penting bagi para politisi untuk lebih sering berdialog dengan pengetahuan dan kearifannya, bukan dengan ambisi dan kepentingan politik pribadi kelompoknya (Marsukhi dan Arimbi, 2012: 118).
Pernyataan di atas jelas arahnya, siapapun yang bersentuhan dengan politik harus mengutamakan musyawarah. Dialog yang dibangun berdasarkan kearifannya bukan ambisi kepentingan. Maka jika dihubungkan dengan carut-marut dunia politik saat ini kita bisa sedikit memahami bahwa kecenderungan politik sebenarnya masih berada pada kepentingan kekuasaan semata. Masyarakat adat seperti Samin ini akan tetap hidup dengan caranya tetapi kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kekuatan adat dan kearifan lokal ini mampu bertahan jika negara sebagai representasi kepentingan rakyat bukan bersifat simpati melainkan sebagai manipulasi.
Komunitas masyarakat adat samin memiliki keteguhan untuk tetap menjalankan ajaran leluhurnya hanya saja di beberapa hal mereka belum mendapat kemerdekaannya. Padahal mereka hanya menghendaki laku utama akan dua hal tatane wong (tata manusia) lan tatane nggauta (tata kerja)


REFERENSI :
Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin. (2014). Samin: Mistisisme Petani Di Tengah Pergolakan. Semarang: Gigih Pustaka
Davidson, James S., David Henley, & Sandra Moniga. 2010. Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indriyani Sugiharto. (2014). Kuliah Politik Representasi, Lokus Kelahiran Liyan. (di unduh dari http://www.jurnalperempuan.org/berita/kuliah-politik-representasi-lokus kelahiran-liyan pada tanggal 29 November 2015 pukul 21.00 WIB)
M. Zamzam Fauzanafi, dkk. (2012). Inventarisasi dan Kajian Komunitas Adat Sedulur Sikep. Yogyakarta: BNPB
Moh. Marsukhi dan Nursanti Widi Arimbi. (2012). Strategi Kebudayaan Untuk Kedaulatan Bangsa. Yogyakarta: Kagama
Nur Iman Subono. (2009). Menuju Representasi Politik Perempuan Yang Lebih Bermakna. Jurnal Sosial Demokrasi, 6(2), 56-61. Jakarta: Pergerakan Indonesia
Partini. (2012). Politik Adil Gender: Sebuah Paradoks. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(2), 39-52. Retrieved from http://jps.fisipol.ugm.ac.id
Titi Mumfangati, dkk. (2004). Kearifan Lokal Di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi Jawa Tengah. Yogyakarta: Deputi P&K Kemenbudpar
Yudi Latif. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktulitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb