POLITIK REPRESENTASI
PEMBANGUNAN PABRIK SEMEN DAN MASYARAKAT
SAMIN
Oleh: A. Ratman
Rangkuman Sinau Bareng Politik Representasi (15 November 2015) Rumah Maiyah/Perpustakaan EAN.
Disampaikan kembali dalam diskusi Pendidikan Konsentrasi IPS Dikdas PPS UNY
1 Desember 2015
Representasi dipandang sebagai model baru
dalam mewujudkan konstelasi politik maupun kepentingan politik. Representasi
banyak dipahami sebagi keterwakilan atau perwakilan. Hanya saja re-present ini apakah benar-benar
mewujudkan keterwakilan dan perwakilan atau hanya tampilan citra. Jatuh pada
skema citra visual saja yang berusaha menampilkan sebuah identitas melalui
topeng-topeng, maka tak ada bedanya dengan sekedar pencitraan.
Politik representasi ternyata bukan
menjadi milik elite politik saja. Di kalangan arus bawah rupanya juga terjadi
riak-riak kecil yang berpotensi menimbulkan keresahan. Adanya oknum-oknum yang
sengaja memanfaatkan masyarakat tertentu untuk memperoleh posisi daya tawar.
Representasi yang hanya bertujuan menguntungkan pihak tertentu saja, bahkan
dengan sengaja mengorbankan yang lain. Representasi sebagai simpati atau
representasi yang sebenarnya manipulatif akhirnya juga menjadi kabur karena
opini-opini publik terlanjur digiring untuk menilai kebenaran dari satu sisi
saja.
Rencana pembangunan pabrik semen di
wilayah karst gunung kendheng ada sejak tahun 2006. Gunung Kendheng ini
meliputi wilayah Kabupaten Pati, Blora, Rembang. PT Semen Gresik berusaha
membangun pabriknya di Sukolilo Pati tahun 2006 tetapi pada tahun 2009 PT Semen
Gresik kalah dalam gugatan peradilan dan mengalihkan pembangunan industri di
Rembang. Kronologis singkatnya pada tahun 2010 ada rencana kembali oleh
perusahaan yang lain yakni PT Indocement untuk membangun industri di Tambakromo
dan Kayen Kabupaten Pati. Tahun 2015 muncul suara-suara penolakan yang ditempuh
melalui berbagai cara termasuk jalur hukum. Akhirnya gugatan yang digagas oleh
forum-forum masyarakat peduli kendheng ini membuahkan hasil yakni putusan
pengadilan pada 16 November 2015 secara resmi berkekuatan hukum membatalkan
pembangunan pabrik semen.
Hasil keputusan pengadilan itu ternyata
tidak begitu saja menyelesaikan masalah jika berusaha melihat dan mendalami
proses yang terjadi. Keterlibatan masyarakat samin sebagai identitas yang
sering digunakan oleh kelompok-kelompok penolak pabrik semen perlu ditelaah
lebih mendalam. Diterbitkannya film dokumenter “semen vs samin” sebenarnya
menjadi kontroversial bagi masyarakat samin sendiri. Masyarakat samin menilai
bahwa sikap perlawanan adalah bukan
watak dan warisan ajaran leluhur samin. Sehingga muncul pula bentuk antitesa
film tersebut dengan dokumentasi yang digagas Budi Santoso untuk meluruskan
keadaan. Film dokumenter yang menggambarkan perjalanan dua orang pemuda untuk
memahami keadaan yang senyatanya tentang samin diberi judul “sikep samin
semen”. Fakta-fakta yang disajikan dalam dokumentasi ditambah dengan hasil
diskusi bersama tokoh sikep, tim aktivis, dan ahli waris gunung kendheng menarik
untuk dijabarkan.
Politik representasi antara simpati dan
manipulasi adalah judul yang diwacanakan oleh Habib Anis Sholeh Baasyin dalam
diskusi bulanan Rumah Maiyah di Kadipiro, Yogyakarta pada hari Minggu, 15 November
2015. Dalam uraian singkat ini berusaha menyajikan kembali hasil diskusi untuk
dikemas dalam pemahaman ruang-ruang formal sebagai akademisi maupun praktisi. Banyak hal yang mungkin tidak dapat dengan lengkap digambarkan, murni dikarenakan keterbatasan pemahaman saya.
Politik Representasi
Peristiwa politik bagi sebagian kalangan
sudah menjadi makanan sehari-hari. Melaui media cetak dan elektronik politik
menjadi headline kabar-kabar nasional. Politik representasi sebenarnya sudah
menjadi hal umum di lingkup akademisi akan tetapi dalam keseharian masih terasa
asing di telinga kita. Untuk itu perlu adanya pemahaman mengenai politik
representasi secara singkat dan sederhana.
Beberapa ahli mencoba memberikan
definisi mengenai politik representasi. Politik representasi tidak terlepas
dari persoalan gender, ras, etnik, dan seterusnya. Kaitannya dengan paradigma
modern, representasi akan menjadi problem karena modernisme menganggap
kebenaran hanyalah satu. Berbeda dengan post-strukturalis
yang menganggap kebenaran adalah banyak (Sugiharto, 2014). Pendapat di atas
mencoba menelaah representasi dari zaman yang menyertainya. Modernisme memang
berimbas adanya sudut pandang baru antara yang modern dan tidak modern.
Dampaknya ada standar baru bahwa yang modern dipandang sebagai satu-satunya
standar untuk diikuti. Representasi yang merupakan bentuk keterwakilan
identitas akhirnya menjadi sempit. Sisi negatifnya jika representasi itu bukan
merupakan representasi sebenarnya tetapi terlanjur dianggap sebagai kebenaran
yang menampikkan keadaan sesungguhnya.
Keberadaan media dan kemampuan bentuk
representasi (untuk tampil mendominasi) sangat mempengaruhi persepsi publik. Tak
ayal pada akhirnya representasi menjadi alat instan menaikkan popularitas demi
kepentingan tertentu yang kemudian kita kenal dengan pencitraan.
Pendapat lain diungkapkan oleh Norman Firclough. Ia melihat
representasi adalah bagaimana peristiwa, orang, kelompok, situasi, tindakan,
keadaan atau apapun yang ditampilkan dan digambarkan, bahwa kita bisa
direpresentasikan oleh wakil kita ketika secara fisik tidak ada (Partini, 2012:
42). Firclough dengan lebih ringan berusaha menampilkan representasi dengan
istilah keterwakilan. Hal-hal yang diwakilkan itu beragam dari ciri khas yang
menyertai sampai pada perilaku khusus. Maka prinsip wakil dan yang diwakili ini
seperti dalam sebuah semiotika, bahwa wakil harus bisa menjadi tanda untuk
menggantikan penanda yang diwakilinya.
Pendapat selanjutnya diungkapkan Hanna
Pitkin (dalam Subono, 2009: 58) mengartikan politik representasi sebagai to
represent yaitu aktivitas yang membuat perspektif, opini, dan suara warga
negara hadir (present) dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Representasi politik bisa terjadi apabila
aktor-aktor politik bicara, mengadvokasi, menandakan, dan bertindak atas nama
yang lain (others). Pitkin lebih
menekankan pada peranan politik representasi dari sudut pandang sistem
komunitas dalam hal ini negara. Digambarkan ada aktor-aktor atau bisa dipahami
sebagai pemeran untuk menampilkan suara-suara yang diwakili. Tujuannya adalah
untuk membuat kebijakan yang akhirnya mampu menyentuh semua kalangan.
Dari beberapa pendapat di atas, intisari
politik representasi berarti juga mengarah pada bentuk fakta yang digambarkan.
Representasi hadir maka akan muncul opini yang sifatnya subjektif. Sehingga
politik representasi singkatnya adalah sebagai bentuk perwakilan yang menampilkan
kembali keadaan-keadaan yang sedang diupayakan termasuk atribut-atribut
tampilan khas namun harus tetap dipandang secara kritis sebagai fungsi kontrol.
Deskripsi Masyarakat Samin
1.
Asal
Mula Nama Samin
Berdasarkan hasil Tim Peneliti
Kementrian Kebudayaan, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan
yang terangkum dalam Buku Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin,
Kabupaten Blora asal mula nama Samin dapat tergambar singkat sebagai berikut.
Nama Samin berasal dari nama salah
seorang penduduk yang bernama Samin Surosentiko (Surontiko). Samin surosetiko
dilahirkan tahun 1859 di Desa Ploso, Kediren sebelah utara Randublatung,
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Samin Surosentiko dalam hitungan kerabat
keturunan Pangeran Kusumoningayu atau Kanjeng Pangeran Arya Kusumowinahyu.
Pangeran Kusumoningayu adalah Raden Adipati Brotodiningrat yang memerinah di
Kabupaten Sumoroto (Tulungagung).
Sekitar tahun 1980. Pada waktu itu
berumur 31 tahun, Samin Surosentiko mulai menyebarkan ajarannya. Para
pengikutnya orang-orang satu desa. Dengan laku tapabrata, ia memperoleh wahyu
kitab Kalimosodo. Sejak itu pengikut samin menjadi bertambah banyak. Pada tahun
1903 Residen Rembang melaporkan bahwa pengikut Samin (saminists) berjumlah 722
orang tersebar di Blora, Bojonegoro, dan beberapa tersebar di Ngawi serta
Grobogan. Kemudian meluas ke Rembang dilakukan oleh menantu laki-laki Samin,
yakni Surokidin dan Karsiyah (Benda dan Castles dalam Titi Munfangati, dkk.,
2014: 23). Di tahun berikutnya Samin memiliki pengikut 3000 orang.
2.
Ajaran
Samin
Sampai batas tertentu ajaran Samin juga
ajaran mistik ajaran kebatinan yang harus ditempuh dengan laku. Ajaran tersebut
menjadi pedoman tingkah laku dimana orang samin tidak menghendaki sebuah
permusuhan. Atau dalam gambaran deskriptifnya seperti kutipan berikut.
Titi
Mumfangati dkk. (2004: 24) menerangkan prinsip-prinsip ajaran Samin Surosentiko
itu pada hakikatnya menyangkut nilai-nilai kehidupan manusia yang tidak
sempurna. Ajaran-ajaran itu digunakan sebagai pedoman bersikap dan tingkah laku
atau perbuatan-perbuatan manusia, khususnya orang-orang Samin agar selalu hidup
dengan baik dan jujur untuk anak keturunan kelak.
3.
Sejarah
Pergerakan Samin
Sebaran komunitas masyarakat adat samin
banyak berada di wilayah Kudus, Pati, Blora, Bojonegoro, dan sebagian Demak.
Wilayah itu dahulu menjadi basis ajaran samin berkembang. Samin Surosentiko
semacam membuat pergerakan bagi kaum tani untuk melawan Belanda karena mulai
menguasai lahan-lahan.
Pendekatan yang digunakan bukan bentuk
perlawanan secara terang-terangan tetapi bentuk pembangkangan terhadap aturan.
Ibaratnya Samin memposisikan diri sebagai komunitas yang kaku dan tidak peduli
dengan kebijakan, tujuannya untuk melawan secara halus. Belanda menyebut
pergerakan samin dengan pergerakan lijdlijk
verzet (perlawanan pasif). Hal ini yang membuat Samin Surosentiko dan enam
pengikutnya ditangkap di Kedung Tuban, Randublatung, Blora. Samin Surosentiko
dibuang ke Sawahlunto, Padang (Anis Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis: 2014:
23).
Gerakan Samin tidak lain adalah upaya
untuk menginternalisasikan gusti secara sempurna ke dalam diri tiap individu
(kawula) setelah relasi kawula tidak berarti lagi dan pemerintah kolonial
merampas kemerdekaan para petani ini dengan memaksa mereka membayar pajak dan
bekerja untuk pemerintah kolonial (kuli
kenceng) (Fauzanafi dkk., 2012: 27). Berangkat dari paham ajaran tersebut
tentu masyarakat samin hanya meyakini ketundukan pada hubungan yang sikep.
Ketika sudah tidak dianggap dengan diperas melalui pajak maka mereka
membangkang. Hanya saja mereka tetap menanti sampai tanah Jawa di pimpin oleh
orang Jawa atau dalam hal ini mengakui konsep ratu adil.
Bentuk upaya samin atau sikep yang
mengaanggap semua saudara berakibat pada peristiwa Gestapu. Pada tahun 1965
beberapa orang Samin dituduh sebagai anggota PKI hingga ditahan. Ketika masa orde
baru memang terjadi upaya untuk mengait-ngaitkan sedulur sikep dengan Partai
Komunis Indonesia (PKI) karena dianggap mereka ateis (Fauzanafi dkk., 2012: 27).
Sehingga samin dalam pergerakan paham dan ajarannya menemui berbagai tekanan
yang silih berganti tetapi terbukti masyarakat adat ini tetap bertahan dengan
segala keadaan.
Bentuk Politik Representasi Dalam Perlawanan
Pembanguan Pabrik Semen
1.
Analisis
Representasi Masyarakat Samin
Anis Soleh Ba’asyin sebagai seorang
antropolog dan ulama telah lama melakukan riset pada masyarakat samin sampai
diterbitkanya buku samin: mistisisme
petani di tengah pergolakan pada tahun 2014. Dalam diskusi 15 November 2015
di Pendopo Rumah Maiyah, Habib Anis banyak memberikan pengantar dan gambaran
dari hasil analisis serta risetnya. Menurut pendapat beliau sebelum tahun 2002
sedulur sikep belum dipakai tetapi samin menganggap semua orang sedulur. Maka sikep
atau samin sebenarnya tidak menggunakan kata sedulur untuk penyebutan
komunitasnya. Dari hal sederhana ini pun sudah terkuak suatu fakta ada niat
tertentu dengan dimunculkannya istilah sedulur sikep.
Ada upaya penggambaran oleh pihak
tertentu untuk memperkenalkan samin menjadi identitas baru yang lebih mudah
diterima kalangan luas. Hal-hal lain yang kemudian muncul termasuk pada bentuk
cara berpakaian. Berdasarkan penelitiaan hitam bukan ciri khas sikep. Orang
sikep biasa menggunakan pakaian di bawah lutut dengan hiasan kepala udeng. Identitas
fisik dengan pakaian serba hitam tersebut hanya sengaja dimunculkan agar mampu
menggambarkan sikep bagi orang-orang yang tidak mengenal sikep. Faktanya Samin
Surosentiko memakai udeng ketika ditangkap pihak belanda.
Ajaran Samin sesungguhnya tidak
seperti yang ditunjukkan orang-orang tertentu. Kebanyakan yang ditunjukkan
adalah ulah oknum yang sengaja menunggangi masyarakat Samin sebagai alat
menunjukkan daya jual. Gerakan yang muncul untuk melawan semen ini oleh oknum
tertentu menjadi ilham dan dimanfaatkan dengan gerakan identitas fisik. Penanda
baru sedulur sikep dan penanda identitas baru pakaian sikep. Diusahakan orang-orang
yang terlibat memakai pakaian yang sudah ditentukan sehingga citra itu yang
dikedepankan atau di jual ke publik. Perempuan memakai kebaya dengan hiasan
semacam tusuk bambu ikatan rambut dengan cat merah putih. Salah satu saksi
adalah D yang pernah dipaksa memakai pakaian sikep yang telah ditentukan
tersebut ketika melakukan aksi.
Representasi orang sikep diciptakan dalam
bentuk penolakan secara ide oleh oknum-oknum tersebut. Mungkin kita hanya akan
melihat ini persoalan biasa yang intinya tidak sepakat kemudian terjadi sebuah
penolakan. Penolakan yang ditempuh melalui jalur hukum sekaligus pemunculan
aksi massa. Tidak disadari di bawah sangat menciptakan persoalan realitas.
Sikep dianggap menolak dengan segala tampilan yang kemudian menjadi film samin
vs semen. Pada kenyataanya orang sikep tidak menolak, mereka berpegang teguh
pada pesan Mbah Samin bahwasanya ketika
tanah Jawa dipimpin kembali oleh orang Jawa mereka wajib untuk mendukung
pemerintahan jika itu semua demi kebaikan bersama. Sehingga efek yang diterima
oleh orang sikep menjadi ganda. Pertama, orang sikep selalu diawasi dan
dicurigai bahkan tak jarang didatangi pihak berwajib dengan alasan akan
menyelenggarakan aksi. Kedua, orang sikep dirugikan karena mereka sebenarnya tidak
terlibat tetapi selalu disebut-sebut namanya dalam media dengan bentuk-bentuk
perilaku yang tidak sepantasnya. Orang sikep yang tergabung dalam JMPPK
(Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendheng) dirugikan lantaran mereka
sebenarnya juga berusaha tetapi mereka tidak disebutkan. Ada pencitraan yang
sangat sistematis. Maka dalam kasus ini harus cerdas menelaah dan meneliti
supaya tidak terjebak politik pencitraan yang sengaja dibuat oleh oknum tertentu.
Fakta yang juga mengejutkan terjadi pada
penduduk sukolilo yong notabene menjadi basis perlawanan masa. Fakta dari
keterangan Tim Ahli Waris Gunung Kendheng menyebutkan jumlah penduduknya
berkisar 400-660 jiwa tetapi tidak lebih dari 10% yang ikut aksi. Ketika
terlihat aksi massa yang begitu besar ternyata bukan asli Sukolilo tetapi hadir
orang-orang dari luar daerah yang dengan sengaja ditampilkan dengan ciri orang
sikep atau samin. Belum lagi peran media yang sebenarnya kita sulit menelaah
antara menampilkan fakta atau lagi-lagi kepentingan juga.
2.
Sikep,
Samin, dan Semen Tinjauan Politik Representasi Modern
Sikep yang bermakna sing diakep atau ilmu yang dipakai. Dari makna sikep sendiri
mengesankan bahwa masyarakat sikep atau samin begitu tertutup dengan yang bukan
berasal dari paham mereka. Permasalahan yang mengemuka mengenai pembangunan
pabrik semen malah banyak ditanggapi oleh masyarakat samin dengan tenang tanpa
ada kekhawatiran. Bagi mereka ada hal-hal lain yang masih perlu diperjuangkan
dan mendesak, misalya masalah identitas kepercayaan dan adat perkawinan.
Terlepas dari masalah konflik yang
sengaja diciptakan, ada berbagai hal yang akhirnya juga muncul kepermukaan
termasuk hak-hak warga yang semsetinya negara mampu mengakomodir. Walaupun
masalah kepercayaan ini cukup jelas dalam peraturan perundangan tetapi
tantangan terbesarnya adalah lingkungan masyarakat. Memang politik negara dan
adat terkadang menemui benturan-benturan yang sebenarnya bisa diusahakan untuk
ditemukan jalan keluarnya.
Sebuah kutipan tentang adat dalam
politik Indonesia sebagi berikut.
Dengan
pengamatan lebih dekat lagi, politik adat dalam periode lampau dapat juga
dilihat sebagai sesuatu yang sangat mudah berubah, cepat, serta paradoksal. Tersirat
dalam keinginan Leiden School untuk
melindungi orang Indonesia dari pemilik modal dan negara adalah sebuah asumsi
tentang kekuasaan yang punya kebajikan (benevolent
power) sehingga dengan asumsi ini muncul juga sebuah kesadaran bahwa bila perlu yang lemah
harus dilindungi tidak hanya terhadap pihak luar melainkan juga terhadap diri
mereka sendiri, khususnya terhadap segala bentuk godaan yang mungkin mereka
rasakan seperti mengalihkan kepemilikan atas tanah dan adat kebiasaan
mereka secara sukarela (Davidson, James S., David Henley, & Sandra Moniga.
2010: 31)
Kutipan di atas begitu jelas menerangkan
bahwa masyarakat adat memang begitu rawan dalam dunia kepemilikan modal dan
negara. Samin menjadi sebuah gambaran nyata, mereka hanyalah masyarakat adat
yang begitu terombang-ambing dari masa ke masa. Masih banyak masyarakat
minoritas di luar sana yang memang harus mendapatkan perlindungan. Tidak saja
perlindungan dari luar melainkan perlindungan dari kebijakan sebuah negara itu.
Ada sebuah ungkapan negara mampu melindungi masyarakatnya dari bahaya luar
tetapi masyarakat dalam sebuah negara itu belum tentu terlindungi dari bahaya
negaranya sendiri.
Hidup di negara demokrasi tentu memiliki
harapan besar semua kebutuhan dan kepentingan masyarakat setidaknya dapat
dipenuhi dari berbagai sisi selama itu tidak merugikan masyarakat lainnya. Menurut
Hatta hal yang penting dalam demokrasi adalah rakyat menjadi penentu atas masa
depannya sendiri melalui mandat yang mereka berikan, baik secara langsung
maupun perwakilan. (Yudi Latif, 2011: 415). Hatta menyebutkan dalam demokrasi
harus rakyat sebagai penentu masa depannya. Kaitannya dengan warga masyarakat
Samin dan mungkin masyarakat lain masih membutuhkan berbagai pengakuan. Hal
tersebut bisa diusahakan melalui berbagai mekanisme termasuk perwakilan.
Sehingga representasi sebenarnya sangat penting untuk bisa menjadi pengganti
yang benar-benar berjuang dalam kerangka berpikir yang direpresentasikannya.
Permasalahan konflik ini sebenarnya tidak akan berlarut jika suara-suara arus
bawah ini benar-benar menemukan wakilnya.
Mahfud MD pernah menuliskan dalam salah
satu esainya. Ia berusaha menarik sebuah solusi melihat keadaan politik yang
terkesan begitu ruwet.
Mahfud
MD menarik benang merahnya siapapun yang berkecimpung dalam dunia politik,
harus senantiasa membuka dan memudahkan jalan musyawarah dengan menjunjung
etika politik dan semangat kekeluargaan. Agaknya penting bagi para politisi
untuk lebih sering berdialog dengan pengetahuan dan kearifannya, bukan dengan
ambisi dan kepentingan politik pribadi kelompoknya (Marsukhi dan Arimbi, 2012:
118).
Pernyataan di atas jelas arahnya,
siapapun yang bersentuhan dengan politik harus mengutamakan musyawarah. Dialog
yang dibangun berdasarkan kearifannya bukan ambisi kepentingan. Maka jika
dihubungkan dengan carut-marut dunia politik saat ini kita bisa sedikit
memahami bahwa kecenderungan politik sebenarnya masih berada pada kepentingan
kekuasaan semata. Masyarakat adat seperti Samin ini akan tetap hidup dengan
caranya tetapi kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kekuatan adat dan
kearifan lokal ini mampu bertahan jika negara sebagai representasi kepentingan
rakyat bukan bersifat simpati melainkan sebagai manipulasi.
Komunitas masyarakat adat samin memiliki
keteguhan untuk tetap menjalankan ajaran leluhurnya hanya saja di beberapa hal
mereka belum mendapat kemerdekaannya. Padahal mereka hanya menghendaki laku utama akan dua hal tatane wong (tata manusia) lan tatane nggauta (tata kerja).
REFERENSI :
Anis
Sholeh Ba’asyin dan Muhammad Anis Ba’asyin. (2014). Samin: Mistisisme Petani Di Tengah Pergolakan. Semarang: Gigih
Pustaka
Davidson,
James S., David Henley, & Sandra Moniga. 2010. Adat Dalam Politik Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indriyani
Sugiharto. (2014). Kuliah Politik
Representasi, Lokus Kelahiran Liyan. (di unduh dari http://www.jurnalperempuan.org/berita/kuliah-politik-representasi-lokus
kelahiran-liyan
pada tanggal 29 November 2015 pukul 21.00 WIB)
M.
Zamzam Fauzanafi, dkk. (2012). Inventarisasi
dan Kajian Komunitas Adat Sedulur Sikep. Yogyakarta: BNPB
Moh.
Marsukhi dan Nursanti Widi Arimbi. (2012). Strategi
Kebudayaan Untuk Kedaulatan Bangsa. Yogyakarta: Kagama
Nur Iman Subono. (2009). Menuju
Representasi Politik Perempuan Yang Lebih Bermakna. Jurnal
Sosial Demokrasi, 6(2), 56-61. Jakarta: Pergerakan Indonesia
Partini. (2012). Politik Adil Gender: Sebuah Paradoks. Jurnal Pemikiran Sosiologi, 1(2),
39-52. Retrieved from http://jps.fisipol.ugm.ac.id
Titi Mumfangati, dkk. (2004). Kearifan Lokal Di Lingkungan Masyarakat Samin Kabupaten Blora, Propinsi
Jawa Tengah. Yogyakarta: Deputi P&K Kemenbudpar
Yudi
Latif. 2011. Negara Paripurna:
Historisitas, Rasionalitas, dan Aktulitas Pancasila. Jakarta: Gramedia
Pustaka
halototo
BalasHapushttp://halototo.online
daftar halototo
daftar togel online
daftar togel
AGEN TOGEL TERPERCAYA
BANDAR TOGEL TERPERCAYA
togel hongkong
togel sydney
togel Singapore
agen sbobet
agen ibcbet
casino online terpercaya
dominohalo
dominohalo.com
SITUS POKER V TERBAIK
dominoqq
poker online
judi poker online
link alternatif dominohalo
https://rahasiabandarjudi.blogspot.com
http://rahasiabandarjudi.online
rahasiabandarjudi
buku mimpi
rahasia casino
rahasia togel
rahasia bandar
rahasia cheat 2d togel
rahasia cheat 3d togel
rahasia cheat 4d togel
rahasia trick togel
rahasia trik togel
rahasia angka jitu
rahasia prediksi togel
vidbokepidn
https://vidbokepidn.blogspot.com
bokep
bokep indonesia
bokep abg
bokep pemerkosaan
bokep jilbab
bokep cewe cantik