Film yang
mengusung nilai sejarah apabila tanpa melalui riset mendalam dan panjang
cenderung akan kehilangan makna. Percaya atau tidak, bisa Anda buktikan
sendiri. Apalagi bercerita tokoh yang sudah terkenal di masyarakat, yang
terjadi adalah menimbulkan berbagai spekulasi. Prediksi dan ekspektasi sedikit
banyak akan mempengaruhi bagaimana respon ketika menonton film tersebut. Kali
ini saya akan sedikit memberikan pemaknaan tentang film yang baru tayang dan baru saja saya tonton yaitu Kartini.
Saya yakin sudah banyak yang memberikan ulasan mengenai film ini.
Ibu kita Kartini
dan harum namanya sering menjadi bahan obrolan santai di sekitar kita. Legacy
Pictures yang kali ini giliran memproduksi film Kartini dengan deretan nama
sineas populer di industri perfilman Indonesia. Sekedar informasi dan kalau
tidak salah karena keterbatasan pengethuan saya tentang film, Kartini sudah
diproduksi di layar lebar sebanyak 3 kali. Pertama, era 1984 dengan judul R.A.
Kartini, kemudian tahun 2016 dengan judul Surat Cinta Untuk Kartini. Tahun 1984
diperankan oleh Jenny Rachman, Nani Wijaya, dan Chintami Atmanegara yang
diadopsi dari buku Biografi. Sementara film di tahun 2016 dibintangi oleh Rania Putrisari dan Chico
Jericco.
Dalam film ini bertindak
sebagai Produser ada Robert Ronny, disutradarai oleh Hanung Bramantyo sekaligus
sebagai penulis bersama Bagus Bramanti dan penata musik oleh Andi Rianto.
Sejumlah aktris dan aktor yang mengisi peran diantaranya:
1. Dian
Sastrowardoyo sebagai R.A. Kartini,
2. Deddy
Sutomo sebagai Aria Sosroningrat,
3. Christin
Hakim sebagai Mas Ayu Ngasirah,
4. Nova
Eliza sebagai Ngasirah muda
5. Djenar
Maesa Ayu berperan sebagai R.A. Moeriam,
6. Acha
Septriasa sebagai Roekmini,
7. Ayushita
memerankan Kardinah,
8. Reza
Rahadian sebagai R.M. Sosrokartono,
9. Adinia
Wirasti sebagai Soelastri,
10. Denny
Sumhargo sebagai Slamet, dan
11. Dwi
Sasono sebagai Adipati Joyoningrat.
Bagi saya
pemilihan aktris tersebut cukup mewakili sosok Kartini Indonesia hari ini. Selain
itu di isi pula sejumah seniman multitalenta kenamaan seperti Yu “Beruk”
Yustiningsih dan Bapak Nevi Budioanto. Bagi orang Jogja beliau ikon yang bisa
memberikan warna tersendiri ketika menikmati jalannya cerita. Apalagi ada sosok
Bintang Timur yang masih belum bisa saya lupakan perannya sebagai Bagas di film
Siti.
Film ini akan
mudah dipahami jalan ceritanya, hanya saja Hanung kali ini memberi sentuhan
yang berbeda untuk menggambarkan Kartini muda. Kartini lebih ditampilkan dengan
sosok yang lebih tomboi dan suka melawan kebiasaan-kebiasaan umum di lingkungan
keluarganya. Ada pula sentuhan flashback
di akhir yang dikemas dengan menarik. Jalan cerita juga mengingatkan tentang
bagaimana kultur masyarakat di abad 19 dengan masih kentalnya unsur golongan
bangsawan, priyayi, santri, dan abangan. Mengingatkan pada salah satu karya
Pramoedya Ananta Toer yaitu Gadis Pantai, bagaimana masyarakat Jawa di masa itu
untuk memperoleh kedudukan sebagai priyayi dengan ngabdi atau menjadi istri
seorang adipati. Walaupun menjadi istri ke-sekian dan disingkirkan sebagai “Yu”
(pengasuh) yang penting keturunan mereka bisa memperoleh derajat kedudukan yang
lebih baik.
Film kali ini
menurut saya juga berhasil menampilkan apa yang sebenarnya menjadi perlawanan
pribadi dari individu seorang Kartini. Ia sebenarnya tidak terang-terangan
muncul di masyarakat karena jelas sulit perempuan saat itu tampil di hadapan
publik dengan budaya Jawa yang bisa dikatakan patrilineal. Perlawanannya hadir melalui media tulis yang terinspirasi
dari buku-buku koleksi kakaknya yaitu R.M. Sosorokartono. Sedikit cerita
tentang kakak Kartini, Panji Sosrokartono kita ketahui adalah seorang poliglot
atau mempunyai kehalian menguasai berbagai macam bahasa. Sosok wartawan
kenamaan dan penggagas pergerakan kaum muda Indonesia di Belanda. Ya, bisa
dikatakan termasuk sosok intelektual dengan warisan karya-karyanya.
Film ini
menjadi pencerahan bagi kita untuk bisa membaca pengalaman pribadi Kartini yang
terpasung keadaan kemudian tumbuh atau dalam ungkapan yag disampaikan
Sosrokartono “tubuhmu boleh terkurung di ruangan ini tetapi pikiranmu harus
bebas”. Membaca menjadi kunci sebagai cara berdialog dengan batas-batas dunia luar
yang agaknya mustahil terjangaku. Sehingga emansipasi bisa dimaknai pada makna
sesungguhnya sebagai usaha mendapatkan hak politik atau persamaan derajat. Persamaan
derajat yang dimaksud adalah bagaimmana perempuan dalam sudut pandang Kartini
yaitu harus mendapatkan hak pendidikan yang setara. Namun, di satu sisi ada
pesan tersirat luar biasa dalam film ini antara bagaimana pengetahuan barat diposisikan
dengan kebudayaan Jawa. Seperti pesan Ibu Kartini melalui filosofi aksara Jawa
bahwa ada tanda “pangkon”. Setinggi apapun
pengetahuan barat itu membawamu tetapi jangan lupa mereka tidak pernah
mengajarkan bisa memangku untuk menjaga kesetabilan dan keseimbangan.
Perjumpaan
Kartini dengan seorang Kyai juga memberi cuplikan berkesan tentang bagaimana
agama dan pengetahuan seharusnya diposisikan membentuk suatu tatanan The Unity of Knowledge, saya pinjam istilah
tersebut dari Prof. Syafii Ma’arif. Pemberian syarat ketika menjelang
pernikahan dengan Adipati Jayaningrat juga cukup memberi gambaran bagaimana
budaya itu dinamis menyesuaikan perkembangan zaman. Selama itu tidak
menghilangkan nilai yang tertanam, karena manusia jawa itu juga bukan perkara
simbolisme saja. Ada di scene ketika
Kartini dan Adipati Aria Sosroningrat memesan ukiran wayang kepada seorang
pengukir di pedesaan. Pengukir tersebut berkata “kok gambar wayang malih to
Ndoro, kula ajrih kenging murka bethara Kala”( pengrajin merasa takut menggarap corak tokoh pewayangan). Kalau mau dibahas ini panjang
tetapi begini saja wayang itu punya nilai tersendiri bagi manusia jawa dalam mengarungi kesejatian. Wayang sebagai sebuah jalan filosofi hidup mereka. Maka disitu pula sebenarnya keluhuran wanita Jawa juga digambarkan. Oke, pesan saya jangan terlewatkan dan
segera nonton mumpung masih ada di bisokop-bioskop kesayangan anda. Salam hangat dari Mbak Trinil.. Heu
Komentar
Posting Komentar