Langsung ke konten utama

Fenomena : Ora Internetan Ora Slamet

Internet yang dimaksud di sini adalah segala fasilitas terkait data base gaib tetapi begitu nyata kita akses sehari-hari. Siapa yang tidak tergiur dengan rayuan sosok internet, menawarkan kecepatan bahkan kepraktisan akal dan budhi. Ahlul searching wal googling…
Mending tidak makan asalkan bisa beli paket data. Kalau ada yang sungguhan sampai berpikir seperti itu pasti level prihatinnya sudah sangat tinggi. Kebutuhan fisiknya tidak terasa sudah beralih pada ketergantungan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan internet dan perangkatnya. Lebih-lebih jika sudah merasuk ke kebutuhan ruhaninya, bisa terjadi peristiwa jika tidak internetan sekian waktu saja rasanya limbung, gundah, galau, dan merasa terasingkan. Kebutuhan dasar yang kaitanya sandang, pangan, dan papan ditekan habis-habisan. Ora ganti klambi telung dino ga masalah yang penting nginternet, ora madang sehari ga masalah sing penting paketan, dan ora ngerti panggone neng endi sing penting hape-hapenan. Manusia internet semacam ini adalah pelaku prihatin yang sudah berhasil, berhasil keblegong di dimensi tak tampak sekaligus tampak itu.
Tetapi kita juga tidak lantas harus mengambil kesimpulan buruk kepada para peniti laku prihatin dunia maya ini. Ukuran kadar baik dan buruknya itu bisa di stel sedemikian rupa, karena letak ukurannya belajar atau tidak dari peristiwa dalam hidupnya. Peristiwa kasat mata dengan elmu-elmu katon ataupun peristiwa yang sangat mendalam yang membutuhkan ketajaman bathin. Internetan itu level bathinnya juga sangat kuat karena mau tidak mau dia membaca dan memikirkan, minimalnya merasakan dari apa yang terekam penginderaan. Bisa tiba-tiba bahagia, ujug-ujug ikut empati, dan sampai pada titik terendah gampang tersinggung. Rumangsane semua yang tertulis ditujukan untuk dirinya, kamanungsan model ini biasane sitik-sitik ngajak debat adu elmu sing kadang ora penting. Tetapi ini tidak masalah juga wong dia pentiti jalan internet, yang harus paham fase-fase untuk mencapai kesempurnaan sebagai manusia internet. Kalau mau dibuat standar sepertinya tingkat terendah itu silent reader dan level tertinggi maqomnya sudah kondang sehingga apapun kelakuannya diketahui. Puncak level ini jadi ukuran kekuatan dirinya biarpun lupa tidak mandi, tidak makan, dan update status sambil ndodhok di wc.
Zaman sekarang ini aneh, tidak punya paketan internet yang ribut malah temanya, sanak familinya, dan tetangga-tetangganya. Padahal bisa saja tidak punya paket internet sebenarnya bentuk puasa si manusia internet. Bahwa ia harus mengambil jarak dan mengetahui batas terhadap kegandrungannya. Misalnya obrolan Yono dan Paidi.
 “Di Paidi, pirang-pirang dino raiso dihubungi. Bbm, wa, ora iso kabeh”
“Sorry Yon, lagi ora paketan”
Jawaban seperti Paidi ini pasti pernah anda jumpai. Bagi manusia internet sudut pandangnya cenderung menyalahkan urusan paket data, ngopo gak numpang wifi tathering, malah ada yang lagaknya jadi sales provider. Padahal kita seharusnya mampu memahami gejolak batin Paidi yang memiliki tiga kemungkinan. Pertama, cen yo lagi tipis tenan sehingga tidak mampu membeli pulsa. Kedua, paidi sedang bersabar menjaga jarak dengan dunia internet yang sering dia geluti. Kemungkinan ketiga ia menjalani laku prihatin menyikapi ngerinya keadaan konten di dunia tanpa batas itu.
Jadi apakah jika tidak internetan lantas jadi bermasalah dengan dunia sosial? Media sosial itu letaknya di aplikasi atau sesederhana urusan bertegur sapa langsung, bercengkrama, dan guyon ngalor-ngidul tanpa emoji. Sekarang ini internetnya sudah ke-polen, sampai-sampai mau bertamu saja sudah di depan rumah masih harus nge-chat dulu. Ndodok lawang karo uluk salam kui koyone malah ora lumrah. Hoalah..
Opo nek ora internetan njuk ora slamet? Kedalaman bathin itu haruskah ditemukan di internet, butuhe rak yo mung keseimbangan rasa bukan terpenuhinya prasyarat keseimbangan pulsa. Bukankah gangguan untuk belajar bijaksana itu terletak pada kemauan untuk memulai, bukan terletak pada "gangguan jaringan" sehingga tidak bisa mengakses kata-kata bijak. Dan nulis semacam ini letaknya juga pada urusan menuangkan pemikiran saja tetapi kok yo tetep pengen nge-share neng internet. Sebenarnya ketakutan, harapan, dan kecemasan ini kepada apa dan kepada siapa? Ning yo piye meneh jamane siaran dewe-dewe, sakkarepe dewe.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb