Langsung ke konten utama

Pekik Semu Kaum Buruh

Sebaiknya kita tidak lagi memandang sarekat buruh dan rentetan aksinya sebagai alat perjuangan kaum buruh. Setiap tanggal 1 Mei (May Day) diperingati sebagai International Workers’ Day dengan berbagai aksi pengerahan massa di berbagai tempat termasuk di Indonesia. Tuntutannya pun hampir sama yaitu mengenai perbaikan nasib buruh yang dari waktu ke waktu mengindikasikan bahwa sebenarnya tidak ada perhatian serius terhadap kesejahteraan mereka. Kepastian juga terkesan tidak didapatkan dari kelompok-kelompok yang mengatasnamakan arus bawah dalam dunia industri ini.
Pertentangan pokok antara modal dan buruh yang pernah digambarkan oleh Ibnu Parna (1951) dalam catatan Menara Buruh memang benar adanya. Para pemilik modal menghendaki nilai lebih sementara kasta buruh dengan kemelaratan mencoba mengadu nasibnya melalui tuntutan mereka. Kalau yang terjadi hingga saat ini memang masih dalam lingkup permasalahan itu-itu saja maka sudah selayaknya menyelidiki peran negara selama ini. Sudahkah negara pada posisi yang tepat dalam memberi solusi dan bertindak melindungi untuk jangka panjang. Jika kita melihat rencana stategis yang diupayakan oleh pemerintah era Presiden Jokowi ini ada tendensi menuju ketegasan terhadap korporasi nakal. Terlihat dari pernyataan beliau yang tak ingin tunduk dengan korporasi transnasional termasuk kesuksesannya terkait izin usaha pertambangan pada PT Freeport. Namun, usaha baik melalui berbagai peraturan kebijakan ataupun tindakan represif ini juga tidak lantas memberikan hasil yang signifikan.
Jeratan mafia atau cerminan baju-baju neokolonialisme ini rupanya kadung jauh merongrong kemadirian negara bangsa ini.  Kalau meminjam ungkapan Prof. Dawam Raharjo Indonesia dikatakan sebagai negara outsourcing. Betapa ngerinya buruh-buruh yang notabene belum bisa lepas dari sistem outsourcing itu juga ternyata dalam tubuh yang tidak berdaulat pula. Disebutkan bahwa Indonesia  belum melakukan industrialisasi, baru memfasilitasi pembangunan industri alias belum memiliki pabriknya. Masih ada dan berkutat di masalah perakitan, peracikan, serta bergerak di barang-barang setengah jadi yang tidak memiliki nilai tinggi. Kepemilikan asing menempatkan negara malah kadang bertentangan sendiri dengan warganya lantaran ketidakmampuan untuk membendung. Belum lagi kalangan pimpinan-pimpinan ataupun borjuasi yang kita miliki juga banyak berhutang budi kepada pihak luar maka sulit sekali usaha untuk keluar dari lingkaran kekuasaan asing ini. Apa yang pernah terjadi di Meksiko seperti paparan Leon Trotsky yang menggambarkan bahwa upaya nasionalisasi perusahaan dari  Anglo-Amerika ternyata tak lebih sebagai komentar umum saja karena suakanya yang didapatkan tidak membebaskan dia dalam usaha politis.
Campur tangan modal dalam dunia industri melibatkan berbagai pihak tidak saja si pemilik tetapi kepada siapa pemilik tersebut medapatkan modal yang lebih besar. Bahaya yang lebih besar nyatanya juga hadir dari dunia perbankan sebagai arus modal yang tidak ingin terjadi kegagalan dalam usahanya maka terkadang tak ada cara lain selain bekerja ikut mendiskreditkan. Dunia perbankan yang bergerak dengan mekanismenya tersendiri mendorong kepada kegagalan perjuangan. Sehingga jelas perlawanan kaum buruh memang arena yang mengandung kesempatan besar sekaligus bahaya nyata yang siap menyergap. Bahaya yang datang dari kenyataan bahwa sewaktu-waktu negara tanpa kedaulatan dan takut kehilangan investor mengambil keputusan untuk menekan kelas pekerja, mengeksploitasi mereka, termasuk menggagalkan perjuangan mereka.
Seperti dalam film Pekak (2016) yang disutradarai Jaka Wiradinata dunia buruh dianalogikannya dalam sebuah keluarga. Ada ayah, ibu, dan dua orang anak. Ayah adalah representasi sebuah negara tetapi ia tidak mampu berbuat banyak. Anak yang berteriak dan saling bertengkar menggambarkan jeritan nasib buruh untuk diperhatikan korporasi. Ibu sebagai simbol korporasi yang menekan buruh karena mempunyai kepentingan untuk menyelenggarakan produksi dan berbagai hal. Gambaran Ibu yang mengerjakan segala sesuatu dalam rumah tangga di tengah Ayah yang mandeg sehingga anak menjadi korban. Negara yang tak punya kuasa dalam posisi kebingungan kalau akan menekan korporasi, konsekuensinya sewaktu-waktu ia bisa pergi. Satu sisi jika menekan buruh ia adalah anak yang mana negara berkewajiban melindungi serta mensejahterakan.
Tidak mudah memprediksi perlawanan buruh sekarang dan masa mendatang akan dimenangkan oleh pihak mana, hanya saja perlu dikaji ulang bagaimana strategi yang digunakan oleh serikat-serikat buruh ini. Pengalaman, kondisi ekonomi dunia, dan kecenderungan-kecenderungan dalam anggota buruh sebenarnya menjadi kunci. Sehingga perlawanan ini tidak hanya menjadi arena semu yang sebenarnya hanya di pegang oleh aristokrat dan birokrat yang bergerak dengan nama buruh. Harus ada upaya buruh untuk menyongsong  dengan jalan mengkritisi penyimpangan, mencerdaskan pekerja dengan kemampuan lain di luar keahliannya, dan mengorganisir sehingga bisa mencokolkan perwakilan buruh dalam industri nasional. Semoga hari buruh tidak saja diperingati sebagai aksi perlawanan tetapi refleksi ke dalam diri. Mengkonstruksi kembali pemahaman bersama, buruh untuk siapa dan kepada siapa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb