Langsung ke konten utama

Sewajarnya Manusia Tanpa Embel-Embel

Kalau seandainya harus memberi rapor kepada orang lain, ada syarat-syarat yang semestinya kita penuhi terlebih dahulu. Misalnya, sudah pantaskah, sudah mampukah, dan sejauh mana pencapaian kita. Apakah lebih baik dari objek yang akan kita beri evaluasi? Sebenarnya hal terkait mengevaluasi  orang lain ini jika dibicarakan di lingkup subjektivitas pribadi ketemu kesimpulan bahwa saling menehi rapor itu tindakan kurang bijak. Sebab kita ini posisinya belum jelas, masih berproses, kebenaran yang kita anggap berkemungkinan salah dan kesalahan orang lain bisa jadi berkemungkinan benar. Kebenaran yang benar benar dan pener itu tidak mudah ditemukan kalau hanya sebatas elmu-elmu jarene. Tetapi jika sudah terlanjur sering ngrapori dan kadang dirapori jangan dibuat sakit hati, siapa tahu memang benar-benar peringatan “tompo rapot”. Tompo rapot itu seharusnya bisa bermakna pujian prestasi agar eling tidak keblinger atau peringatan keras saking tidak menyadari kesalahan yang diperbuat. Ning dasare manungsa, biasane nek kon goleki apike wuangile setengah mati, basan nemu elek siji we le ngumbah ra rampung sesasi. Haha… wajar kan menungso.
Pernah dengar sanepan “asu gedhe menang kerahe, asu cilik menang jegogke”?  Urusan maknanya apa dan mau anda asosiasikan dengan peristiwa yang mana itu hak masing-masing. Tetapi gambaran asu itu menang wajar lha wong ukurannya besar, ya dikira-kira saja jika bertarung pasti unggul atau setidaknya lawan ciut duluan. Lha sing cilik iso opo nek ora ming bengak-bengok, mau coba ikut bertarung dilihat dari modal ukuran saja sudah tidak memungkinkan. Jadi, wajar juga kalau isone jegog disana-sini.
Wajar tanpa embel-embel, yang jadi pertanyaanya wajar itu standarnya, kriterianya, indikatornya apa? Dasar-dasar itulah yang kemudian jadi landasan untuk memberi predikat wajar atau tidak wajar. Sehingga nantinya muncul penjelasan wajar kecuali dalam hal ini atau wajar kejaba urusan kuwi apabila tidak memenuhi dasar pengklasifikasiannya. Syaratnya pun dalam posisi yang seimbang, entah wujudnya berupa pangkat, kedudukan, kuasa, atau batas pemahaman. Kan tidak mungkin gudhel nuturi kebo, jangkauannya terlalu jauh.
      Keadaan yang terjadi ada perbedaan tingkatan tetapi kok saling memberi penilaian. Misalnya, standar saya untuk menilai anda dan entah standar siapa buat menilai saya, ya sudah pasti hasilnya tidak tepat atau belum akuntabel. Efeknya setelah muncul banyak dipertanyakan, pendapat ketoke ngono, kayaknya ndak begitu, harusnya seperti ini. Reaksi berbeda itu memang lumrah tetapi kalau sudah nyata berbeda antara data dan fakta akibatnya akan lain. Di luar arena masih ditambahi lagi dengan berbagai opini maka sudah jelas tidak akan ketemu ujung pangkal kejernihan menilainya. Dalam kondisi sudah terlanjur keruh berusaha dapat kejujuran autentik, rasa-rasanya mustahil. Keadaan rapor-merapori itu kurang lebih demikian.
      Orang Indonesia itu sudah sangat biasa dengan perbedaan, apalagi hanya urusan beda pendapat. Berapa banyak tiap hari yang adu argumen di forum, media, dan ruang ilmiah lain. Mungkin yang tidak disadari panasnya ini gara-gara beda pendapatan, urusan keuangan terus saja memicu keributan. Lahan-lahan basah persaingan materiil "kae iso ngopo aku raiso", dan sudah bisa dipastikan sama-sama kecemplung di jurang keserakahan (iri, dengki, dan srei) hingga segala cara ditempuh. Virusnya hampir menyerang semua lapisan sehingga kesadaran untuk kembali wajar ini juga tidak mudah. Tidak heran kalau ada praktik jual beli kewajaran.
Jadi, sebenarnya dalam konteks kewajaran sudahkah kita ini wajar. Tidak perlu jauh-jauh, wajar sewajarnya orang, yang manusiawi saja. Gak kemuluken utawa gejeron tetapi mampu memposisikan diri di wilayah mana dan apa yang semestinya dilakukan. Di situasi kekacuan sosial sebenarnya sangat rawan sekali menggiring pada bentuk yang terkotak-kotak. Seharusnya jadi manusia yang sewajarnya saja tetapi ada tuntutan masih harus butuh embel-embel dengan berbagai bentuk, rupa, dan warna yang disematkan. Semua berduyun mencapainya, sampai-sampai cara mendapatkannya jauh dari kemanusiaan. Ada lagi yang sebenarnya sudah ingin sewajarnya saja tetapi malah dipaksa dan dianggap harus punya predikat embel-embel tertentu yang notabene hanya karena penilaian orang lain. Bukankah melakoni yang sewajarnya saja itu lebih tentram. Berapa banyak yang mengejar predikat prestisius duniawi tetapi hidupnya tidak tenang. Maka perlu disadari urusan embel-embel bukan wilayah kerja antar manusia, biarkan pada tarafnya masing-masing. Dengan catatan sama-sama berbuat kebaikan dan tidak merasa yang paling benar. Kewajaran sebagaimana adanya tanpa tambahan apapun sebagai kesadaran manusia, makhluk, jasad. Jadi, sewajarnya kepada siapa manusia menggantungkan hidup? Apakah kepada "embel-embel" tertentu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb