Kalau seandainya
harus memberi rapor kepada orang lain, ada syarat-syarat yang semestinya kita
penuhi terlebih dahulu. Misalnya, sudah pantaskah, sudah mampukah, dan sejauh
mana pencapaian kita. Apakah lebih baik dari objek yang akan kita beri evaluasi? Sebenarnya hal terkait mengevaluasi orang lain ini jika dibicarakan di lingkup subjektivitas pribadi ketemu kesimpulan bahwa saling menehi
rapor itu tindakan kurang bijak. Sebab kita ini posisinya belum jelas, masih berproses, kebenaran yang
kita anggap berkemungkinan salah dan kesalahan orang lain bisa jadi
berkemungkinan benar. Kebenaran yang benar benar dan pener itu tidak mudah ditemukan kalau hanya sebatas elmu-elmu jarene. Tetapi jika sudah
terlanjur sering ngrapori dan kadang dirapori jangan dibuat sakit hati, siapa
tahu memang benar-benar peringatan “tompo
rapot”. Tompo rapot itu seharusnya bisa bermakna pujian prestasi agar eling tidak keblinger atau peringatan keras saking tidak menyadari kesalahan yang diperbuat. Ning dasare manungsa, biasane nek kon goleki
apike wuangile setengah mati, basan nemu elek siji we le ngumbah ra rampung
sesasi. Haha… wajar kan menungso.
Pernah dengar
sanepan “asu gedhe menang kerahe, asu
cilik menang jegogke”? Urusan
maknanya apa dan mau anda asosiasikan dengan peristiwa yang mana itu hak
masing-masing. Tetapi gambaran asu itu menang wajar lha wong ukurannya besar, ya dikira-kira
saja jika bertarung pasti unggul atau setidaknya lawan ciut duluan. Lha sing cilik iso opo nek ora ming
bengak-bengok, mau coba ikut bertarung dilihat dari modal ukuran saja sudah tidak
memungkinkan. Jadi, wajar juga kalau isone jegog
disana-sini.
Wajar tanpa
embel-embel, yang jadi pertanyaanya wajar itu standarnya, kriterianya,
indikatornya apa? Dasar-dasar itulah yang kemudian jadi landasan untuk memberi
predikat wajar atau tidak wajar. Sehingga nantinya muncul penjelasan wajar
kecuali dalam hal ini atau wajar kejaba
urusan kuwi apabila tidak memenuhi dasar pengklasifikasiannya. Syaratnya pun
dalam posisi yang seimbang, entah wujudnya berupa pangkat, kedudukan, kuasa, atau batas pemahaman. Kan tidak mungkin gudhel nuturi kebo, jangkauannya terlalu jauh.
Keadaan yang terjadi ada perbedaan tingkatan tetapi kok saling memberi penilaian. Misalnya, standar saya untuk menilai anda dan entah standar siapa buat menilai saya, ya sudah pasti hasilnya tidak tepat atau belum akuntabel. Efeknya setelah muncul banyak dipertanyakan, pendapat ketoke ngono, kayaknya ndak begitu, harusnya seperti ini. Reaksi berbeda itu memang lumrah tetapi kalau sudah nyata berbeda antara data dan fakta akibatnya akan lain. Di luar arena masih ditambahi lagi dengan berbagai opini maka sudah jelas tidak akan ketemu ujung pangkal kejernihan menilainya. Dalam kondisi sudah terlanjur keruh berusaha dapat kejujuran autentik, rasa-rasanya mustahil. Keadaan rapor-merapori itu kurang lebih demikian.
Orang Indonesia itu sudah sangat biasa dengan perbedaan, apalagi hanya urusan beda pendapat. Berapa banyak tiap hari yang adu argumen di forum, media, dan ruang ilmiah lain. Mungkin yang tidak disadari panasnya ini gara-gara beda pendapatan, urusan keuangan terus saja memicu keributan. Lahan-lahan basah persaingan materiil "kae iso ngopo aku raiso", dan sudah bisa dipastikan sama-sama kecemplung di jurang keserakahan (iri, dengki, dan srei) hingga segala cara ditempuh. Virusnya hampir menyerang semua lapisan sehingga kesadaran untuk kembali wajar ini juga tidak mudah. Tidak heran kalau ada praktik jual beli kewajaran.
Keadaan yang terjadi ada perbedaan tingkatan tetapi kok saling memberi penilaian. Misalnya, standar saya untuk menilai anda dan entah standar siapa buat menilai saya, ya sudah pasti hasilnya tidak tepat atau belum akuntabel. Efeknya setelah muncul banyak dipertanyakan, pendapat ketoke ngono, kayaknya ndak begitu, harusnya seperti ini. Reaksi berbeda itu memang lumrah tetapi kalau sudah nyata berbeda antara data dan fakta akibatnya akan lain. Di luar arena masih ditambahi lagi dengan berbagai opini maka sudah jelas tidak akan ketemu ujung pangkal kejernihan menilainya. Dalam kondisi sudah terlanjur keruh berusaha dapat kejujuran autentik, rasa-rasanya mustahil. Keadaan rapor-merapori itu kurang lebih demikian.
Orang Indonesia itu sudah sangat biasa dengan perbedaan, apalagi hanya urusan beda pendapat. Berapa banyak tiap hari yang adu argumen di forum, media, dan ruang ilmiah lain. Mungkin yang tidak disadari panasnya ini gara-gara beda pendapatan, urusan keuangan terus saja memicu keributan. Lahan-lahan basah persaingan materiil "kae iso ngopo aku raiso", dan sudah bisa dipastikan sama-sama kecemplung di jurang keserakahan (iri, dengki, dan srei) hingga segala cara ditempuh. Virusnya hampir menyerang semua lapisan sehingga kesadaran untuk kembali wajar ini juga tidak mudah. Tidak heran kalau ada praktik jual beli kewajaran.
Jadi, sebenarnya
dalam konteks kewajaran sudahkah kita ini wajar. Tidak perlu jauh-jauh, wajar sewajarnya
orang, yang manusiawi saja. Gak kemuluken
utawa gejeron tetapi mampu memposisikan diri di wilayah mana dan apa yang
semestinya dilakukan. Di situasi kekacuan sosial sebenarnya sangat rawan sekali
menggiring pada bentuk yang terkotak-kotak. Seharusnya jadi manusia yang
sewajarnya saja tetapi ada tuntutan masih harus butuh embel-embel dengan
berbagai bentuk, rupa, dan warna yang disematkan. Semua berduyun mencapainya, sampai-sampai cara
mendapatkannya jauh dari kemanusiaan. Ada lagi yang sebenarnya sudah ingin
sewajarnya saja tetapi malah dipaksa dan dianggap harus punya predikat embel-embel tertentu yang notabene hanya karena penilaian orang lain. Bukankah melakoni
yang sewajarnya saja itu lebih tentram. Berapa banyak yang mengejar predikat prestisius duniawi tetapi hidupnya tidak tenang. Maka perlu disadari urusan embel-embel bukan wilayah kerja antar
manusia, biarkan pada tarafnya masing-masing. Dengan catatan sama-sama berbuat kebaikan dan tidak merasa yang paling benar. Kewajaran sebagaimana adanya tanpa tambahan apapun sebagai kesadaran manusia, makhluk, jasad. Jadi, sewajarnya kepada siapa manusia menggantungkan hidup? Apakah kepada "embel-embel" tertentu?
Komentar
Posting Komentar