Langsung ke konten utama

Ziarah Kepada Turah

Anggaplah Mei ini bulan spesial untuk penggemar film, lebih-lebih untuk penonton amatiran seperti saya. Sebut saja deretan screening film pekan ini yang singgah di Jogjakarta, dimulai dari Europe On Screen 2017, Kineidoscope 2017, ada juga Seminar tentang Film Bisu Setan Jawa. Apalagi hadirnya Ziarah di layar theater, kesemuanya jadi sarana belajar sinema yang berkualitas.
Ziarah dan Turah, dua film ini terlewatkan alias tidak sempat saya tonton saat JAFF 2016. Untungnya ada kesempatan memenuhi target watch list ini. Film-film pada gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival 2016 memang sukses menyedot perhatian, buktinya di tahun ini juga  silih berganti mengisi layar lebar dan mendapat apresiasi tinggi. Mulai dari Salawaku, Moamar Emka’s Jakarta Undercover, Istirahatlah Kata-Kata, kemudian disusul Ziarah, dan saya masih sangat menanti Prenjak hadir. Layar lebar memang bukan indikator bagus tidaknya sebuah karya tetapi setidaknya melalui media ini ada edukasi kepada khalayak pecinta nonton bisokop agar lebih mengerti tontonan bermutu. Bagi rekan-rekan penggiat motion picture, saya menyarankan tengoklah info dari JAFF yang setiap bulannya mengadakan penayangan film serta diskusi. Jika berkesempatan hadir sekali saja, pasti akan ketagihan.
Ziarah dan Turah adalah dua film drama berbahasa daerah produksi 2016 yang telah sukses di mancanegara. Ziarah karya B.W. Purbanegara bercerita tentang seorang istri veteran perang Agresi Militer II. Ia mencari makam suaminya yang telah gugur berjuang, setelah sekian tahun lamanya. Kabarnya film ini hanya untuk sekedar memperkenalkan daerah wisata, tidak tahunya malah melampaui target. Awalnya, interpretasi saya dan beberapa teman menganggap bahwa film ini murni bercerita tentang judul tersebut yaitu Ziarah (menengok pemakaman untuk memberi penghormatan kepada leluhur/kerabat). Tidak tahunya kita diajak untuk menengok banyak hal, belajar di banyak tempat, dan memahami sampai panjang lebar bahkan seusai film tersebut rampung diputar (kebawa obrolan kopi dan mimpi). Ada keyakinan, mistik, budaya, cinta, kesetiaan, kesaktian, keindahan, kejujuran, kematian, sejarah dari perjuangan hingga pengkhianatan, keputus-asaan, dan nilai karakter lain yang sangat mungkin anda dapatkan di 87 menitnya.
         Mbah Sri (Ponco Sutiyem) diceritakan singgah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari pasarean Pawiro Sahid dengan berharap bisa bersanding kembali setidaknya nyawiji bhumi (kelak di akhir hayatnya bisa bersanding di petak tanah yang sama). Mbah Sri juga berharap anak cucunya bisa mengenal bahwasanya Ki Pawira Sahid adalah pejuang kemerdekaan. Kalau dijelaskan secara kualitatif, rentetan cerita ini sederhana saja tetapi dengan adanya kisah lain di luar sekenario utama menimbulkan kejuatan-kejutan tersendiri. Ditambah lagi sambung-menyambung setiap peristiwa menegaskan pesan-pesan tersirat. Memang layak jika mendapat berbagai penghargaan seperti ASEAN International Film Festival dan Film terbaik di Salamindanaw Asian Film Festival. Sudah nonton kan? Sempatkan! Anda harus menikmati scene pembuka yang begitu dahsyat.
Berikutnya tentang Turah, film yang disutradarai Wicaksono Wisnu Legowo bersama Produser Ifa Ifansyah ini juga telah meraup sukses dengan berlaga di beberapa festival internasional. Dialek didalamnya menggunakan bahasa Jawa khas Tegal. Gambaran utamanya tentang penduduk yang terisolir di atas tanah timbul Kampung Tirang, Tegal. Rangkaian cerita dalam film ini akan membawa anda pada berbagai suasana yang cepat berubah, bahkan istilah “tertawa dalam tangis” itu betul-betul terjadi. Lompatan-lompatan peristiwanya begitu nyata, problem-problem yang muncul sangat menggelitik dan tak jarang membuat ikut jengkel. Ada pertentangan nyata tentang kesenjangan tetapi "tembok besar" yang menghalangi mereka dari dunia luar membuat beberapa pasrah saja dengan belenggu itu, seolah tiada pilihan lain. Turah (Ubaidillah) dan Kanti (Narti Diono) adalah pasangan yang hidup sederhana tetapi merasa ayem tentrem saja dengan keadaan yang sebenarnya terus menghimpit.

“Nama sampean siapa?”, Tanya seorang petugas sensus.
“Kanti”
“Nama lengkap?”
“Kanti Sukanti”
“Nama Suami anda?”
“Turah”
“Nama lengkapnya?”
“Turah mawon”

Dialog di bagian ini kemudian tersambung dengan curhatan Bu Kanti bahwa ia telah hafal dengan sistem pendataan dan janji-janji kosong tetapi dengan enteng dijawab oleh petugas “bukan wewenang kami”. Ada pula tokoh Jadag (Slamet Ambari) yang merepresentasikan pembangkang, revolusioner, tetapi caranya menghadapi permasalahan bertipe “sumbu pendek”(banyak umpatan "sak-suk/osa-asu" yang malah memunculkan keindahan gelak tawa). Berbeda dengan Pak Turah yang memiliki watak tenang, bertindak dalam totalitas pengabdiannya baik kepada masyarakat dan juga pemimpin (Juragan). Turah lebih mampu mengkomunikasikan segala hal walaupun bagi Jadag seperti penjilat. Penonton akan diajak terjun dalam plot dan setting yang menggambarkan penderitaan, film ini juga menggiring pada kebahagiaan hingga pada titik konflik yang mencekam.
Ziarah dan Turah, beruntunglah Anda menjadi bagian saksi dari karya-karya besar ini. Ziarah kepada Turah hanya istilah yang saya buat sebagai metodologi untuk menengok lebih dalam dan semakin dalam, sekalipun hanya menjadi seperti Turah. Turah bukan turahan (sisa-sisa) karena turah adalah saksi terakhir, pamungkas yang punya lebih banyak ketajaman batin untuk menengok lebih dalam kepada cara-cara “slamet”. Urip golek slamet, slamete dewe uga kewajiban menggalih lan ngupayake slamete liyan minangka ngawekani sanak kadang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb