Langsung ke konten utama

Review Film: Surat Kecil Untuk Tuhan

Kawan saya pernah bilang “tumben-tumben ini falcon pict nggarap film genre beginian”. Sebut saja Boeng JD, yang jauh-jauh bulan sebelum film ini rilis sudah mengomentari bahwa SKUT (2017) menarik untuk ditonton. Boeng JD adalah salah satu kritikus film di komunitas kami. Prediksi dan penerawangan beliau lebih banyak berkaitan dengan jalan cerita film. Menurut analisisnya akan mirip dengan film Lion, Saroo si penemu google maps yang diperankan apik oleh Dev Patel (yang masuk Oscar itu lho). Sama-sama hilang dan terpisah dengan keluarga, barangkali SKUT juga akan dramatis mengharu biru.. Begitu tuturnya.
Oke tibalah waktunya dan akhirnya saya putuskan nonton SKUT walaupun dari beberapa bocoran simbah, om, opung, tante, pakdhe, mbokdhe di sosmed menyaranken bahwasannya mending nonton Sweet20 dibanding SKUT dan setan siwur. Sementara “Insya Allah Sah” sejauh ini belum ada kabar (biar di komen  sendiri sama Raka, daripada komen pilkada mulu Bung). Saya mau cerita pengalaman waktu nonton saja. Jadi minimnya jumlah bioskop di Jogja dan banyaknya pengunjung dikarenakan libur hari raya berdampak pada kesempatan nonton. Saya pikir film ini segera hilang dari peredaran atau mungkin kebagian nonton seminggu setelah rilis dengan menjadi penghuni terakhir di studio. Ternyata anggapan saya keliru, di hari ke sekian itu peminat SKUT masih cukup tinggi, lumayan lah separuh studio terisi.
Saya bingung juga film ini harus saya nikmati dengan rasa mendalam atau sekedar mengapresiasi. Kebimbangan tersebut segera mendapatkan jawaban ketika berada di tengah-tengah penonton yang kebanyakan didominasi oleh keluarga kecil bahagia kecuali saya yang hanya celingak-celinguk sendirian (rapopo, wes biasa). Memang secara keseluruhan film ini menyuguhkan cerita yang menyedihkan, saya berharap ada momen yang membuat tertawa entah di bagian mana tetapi tidak ketemu. Om Rudi yang diperankan oleh Bang Lukman Sardi sebenarnya secara penampilan hampir menggugah niatan untuk sedikit melepas tawa ringan, sebab membuat teringat dengan wajah Ki Joko Stupid (sorry Bang, beneran ini). Tetapi hasrat tersebut saya urungkan lantaran ibu-ibu dan beberapa mbak-mbak di kanan-kiri saya larut dalam cerita hingga mbrebes mili. Namun, ditengah lautan isak tangis ringan tersebut ada suara seorang anak yang bertanya pada bapaknya… pecahlah konsentrasi penonton.
Anak tersebut bertanaya, “ayah kenapa kok pada sedih?” (wuadohhhh dekkkkk, batin saya tapi ya anak-anak selalu indah dengan kepolosannya).
Sang ayah pun dengan sigap dan penuh kesabaran memberikan pemahaman pada putranya. (Keren!!!)

Lain lagi persis di belakang saya, ada anak perempuan ya kira-kira umur 3 atau 4 tahun lah yang tiba-tiba nangis sambil berkata; “mama kok nangis, gak mau mama sedih…”

Rupanya si anak tidak tega melihat mamanya menangis tenggelam dalam sendunya kisah Angel dan Anton. Saya akui beberapa scene memang emosional. Sedari awal, film ini memang langsung dibuka dengan masalah beserta kisah pilunya. Kalau soal keimutan akting anak-anak, cobalah tengok (Harshali Malhorta) bajrangi bhaijaan atau (Jacob Tremblay) room.

Baiklah saatnya me-review.. hehe
Surat Kecil Untuk Tuhan atau pada ulasan di atas kadung disebut SKUT. Film drama produksi Falcon Picture yang diangkat dari novel dengan judul yang sama. Sebenarnya semenjak Comic8 Casino Kings, saya agak ragu dengan hasil garapan rumah produksi ini karena harus ada sistem part-partan (abaikan ini hanya mewakili suara penonton pengeretan). Tetapi terbukti dengan genre komedi-komedi setelahnya seperti my stupid boss dan Warkop Reborn, menunjukkan kualitas di pasaran. Dari sumber paklik Wikipedia, film ini disutradarai oleh Fajar Bustomi berdasarkan skenario yang di tulis oleh Upi Avianto. Beberapa aktor dan aktris yang terlibat dalam film ini adalah Bunga Citra Lestari, Joe Taslim, Izzati Khansa, Bima Azriel, Lukman Sardi, Rifnu Wikana, Ben Joshua, Maudy Koesnaedi, Aura Kasih, Jeroen Lezer, Chew Kin Wah, Susan Bachtiar, dan Dorman Borisman.
Secara keseluruhan saya bersyukur sekali film ini mengangkat kembali lagu anak-anak yang legendaris. Lagu nina bobo dan lagu yang selalu merepotkan orang tua “ambilkan bulan bu” masuk mengisi deretan soundtrack. Film ini memang cocok untuk keluarga dan tentunya anak-anak (dengan konsekuensi, mampu mengkomunikasikan isi cerita). Paling tidak jadi kenal lah lagu-lagu anak, agar tidak kebangeten NDX manianya, suket teki-nya atau rekasane bojo galak-nya.
Diceritakan bahwa Anton dan Angel ini merupakan anak terlantar kemudian menjadi korban sindikat kehidupan jalanan yang mempekerjakan mereka berdua menjadi pengemis/pengamen. Angel kecil (Izzati Khanza) mengalami musibah kecelakaan yang membuatnya terpisah dengan Anton. Angel ini menulis surat yang katanya ia tujukan untuk Tuhan, isinya kurang lebih tidak mau terpisah dengan Anton, karena kakanya adalah satu-satunya kerabat yang masih ada. Setelah terpisah 15 tahun Angel dewasa (BCL) telah sukses menjadi pengacara, ujug-ujug dan tiba-tiba macam start a revolution from my bed. Ia tinggal di Australia, suatu hari bertemu dengan Martin (Joe Taslim) lantaran kitab undang-undang adopsi belanda-nya gogrog di speed boat. Jadilah mereka sepasang kekasih, jenis-jenis ftv lah. Apresiasi wajib disematkan kepada Mas Joe Taslim yang ternyata cocok juga main di genre drama. Pikir saya beliau cocoknya kalau drama yang ada action fight-fightnya saja. Sekedar selingan buat anda yang selo baca review abal-abal ini, kalau masih ingat “Joe Taslim di star trek” berperan sebagai apa?
Angel tetap dihantui rasa ingin bertemu dan mengetahui keadaan kakaknya. Ia putuskan kembali ke Indonesia, berkarir sembari menyusuri jejak keberadaan saudara tercinta. Akankah Angel dan Anton bisa bertemu setelah 15 tahun terpisah? Pertanyaan itu akan anda temui di newsletter atau caption trailernya.. hha. Jawabanya bisa anda konfirmasi dengan menonton tetapi rentetan cerita di film ini pasti akan mengingatkan anda dengan beberapa film yang pernah dibuat. Ringan-ringan saja dan tidak rumit, yang jelas enggak se-membosankan CE.
Sisi menariknya menurut penilaian subjektif malah terletak pada sudut pandang terhadap anak jalanan. Tetapi lebih baik nonton sahaja dokumenter anak jalanan, ceritanya nyata.  SKUT berusaha meringkas apa-apa saja tantangan masyarakat kita, permasalahan adanya pengelola atau sebut saja penampung anak terlantar tetapi mempekerjakan mereka di jalanan serta kasus perdagangan anak. Termasuk juga adanya bisnis jual beli organ manusia. Stigma negatif terhadap perilaku pengamen dan pengemis yang sudah sering diulas.  Kira-kira seperti itu, usaha bagus dari Falcon Pict.
Oh iya film ini bagi saya juga memberi pesan bahwa doa dan harapan selalu mendapat jawaban tinggal bagaimana memberi makna, bahwasannya tidak di beri pun sesungguhnya merupakan pemberian. Selamat menikmati indahnya hidup dan kehidupan. Foto adalah koentji jangan ragu untuk ngajak foto Rang-Orang dan pajanglah di rumah anda, haha sugeng mirsani para pamirsa…

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb