Langsung ke konten utama

Gurunya Para Guru

 

Pribadi luhur terhormat di desa-desa umumnya mulai dari mbah kaum, guru, pejabat desa, baru diikuti wong sugih. Kebiasaan yang berangsur-angsur tergilas roda zaman kemudian terbalik 1800 sebab stratanya sudah berdasarkan kelas ekonomi. Kalau belum ikut-ikutan jadi crazy rich belum akan dianggap. Persoalan ada definisi berbeda khususnya di Jawa dengan istilah sugih tanpa banda itu hal lain yang mungkin sudah tidak dibutuhkan oleh logika modern saat ini. Seperti halnya narima ing pandum yang bagi kalangan melenial tidak relevan dengan kebutuhan sandang, pangan, dan status WA-nya. Bahkan besok pagi ketika melek dan membuka hp cara berpikirnya seketika berubah karena yang sedang viral berbeda dengan tadi malam.

Mbah Kaum dan Guru yang notabene adalah sosok penting dalam sebuah peradaban manusia dianggapnya tak lebih hebat dari browser-browser di ponsel pintar mereka. Mbah Google adalah guru yang setiap saat tekun mencari apa yang ingin kita temukan jawabannya dengan penelusuran kecepatan akses. Sehingga ada yang guyon gubah lagu, terpujilah wahai engkau Ibu Bapak Gu Gel, namamu akan selalu hidup dalam ponsel pintarku. Kalaulah pemahaman sekarang menempatkan guru layaknya sumber informasi satu-satunya tentu akan ditemui logika berpikir tersebut. Padahal yang lebih tinggi dari pengetahuan adalah adab. Bisa-bisanya persoalan adab ini kok malah mau ditinggalkan oleh manusia modern, wong sudah jelas di akhir zaman ini yang butuh diperbaiki akhlaknya. Sekali lagi logika modern juga pasti punya bantahan “adab-adab dan pola itu kan sudah tidak relevan kita sudah punya kebiasaan baru!”

Ki Hadjar pernah mengatakan semua orang adalah guru dan semua tempat adalah sekolah. Orang modern akan menganggapnya sebagai quote dan dianggapnya lumayan untuk bahan update status supaya terkesan agak filosofis. Keunggulan penyebaran informasi redaksinya tentu lebih efektif dan lebih cepat tetapi seberapa besar orang modern yang mau menafsirkan maknanya dengan betul-betul berpikir mendalam. Masalah intepretasi yang berbeda itu faktor keluasan pandang tetapi kesadaran untuk belajar dari setiap peristiwa dan memberi makna itu yang pudar. “Ngapain dipikirin makna dan artinya kan bisa di cari lewat internet!”

Guru itu pendidik yang sudah disempitkan jadi pengajar, tentor, tutor, dan fasilitator belajar. Gus Mus pernah menceritakan dalam ceramahnya tentang pendidikan dan pengajaran. Ada kesalahan dalam memahami pendidikan dan pengajaran. Beliau mengantarkan dengan wacana “Di mana yang masih menerapkan pendidikan selain di tingkat PAUD?” Mendidik sopan santun, menghormati yang lebih tua.  Anak diajari matematika mungkin bisa pandai matematika, diajari ilmu Quran pandai Quran tetapi perilakunya qurani atau tidak, itu tidak menjamin.

Jadi, siapakah syaikhul masyayikh orang-orang modern konon dengan kecerdasan AI-nya itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang...

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupu...