Langsung ke konten utama

Berpikir dan Bernalar (Disampaikan dalam diskusi Gerakan Sekolah Menyenangkan Guru Meraki)

“Sementara bernalar terjadi di dalam otak, ia terjadi pula dalam akalbudi. Akalbudi merupakan dunia batin kita, di mana kita mengalami pergolakan pikiran dan emosi, di mana kita memahami, mempercayai, dan mengenang, dan di mana kita membentuk citra tentang dunia luar.”

Bab 13 dari buku Batas Nalar karya seorang neurolog Donald B. Calne ini sengaja dikutip untuk membuka kerepotan kita mendalami tentang pikiran dan nalar. 

Ada sebuah kisah tentang petani Jawa yang menanam bawang merah di wilayah pesisir pantai. Suatu hari ia berjumpa lagi dengan teman masa kecilnya. Temannya adalah petani nanas di wilayah Lampung sejak program transmigrasi puluhan tahun silam. Melihat sahabat kecilnya ini sukses menjadi petani bawang merah, ia pun berinisitif melihat lahan pertaniannya. Pengalamannya bertani di Lampung membuatnya terpikir tentang gajah-gajah yang kadang melintas dan merusak perkebunan. Ia pun berandai-andai dan mengajukan pertanyaan, “Seandainya di sini ada Gajah melintas dan merusak tanamanmu apa yang akan kamu lakukan?” Dengan santai petani Jawa tersebut merespon “Buat apa aku pikirkan kan di sini tidak ada Gajah.” Tidak ada yang salah antara pertanyaan dan jawabannya tetapi respon untuk tidak mau memikirkan terkadang adalah bentuk kemalasan bernalar.

Ada yang mengatakan bahwa saat kanak-kanak pikiran terberat adalah PR Matematika. Apa sebenarnya berpikir? Bagaimana orang-orang bisa mengklaim bahwa sedang punya pikiran yang berat, kacau, ruwet, dan buntu? Sementara ada pula dengan pilihan untuk dipikir nanti, dipikir sambil ngopi, ngapain kok dipikirin seperti petani bawang merah tadi, atau istilah “losss gak rewel” yang sempat digandrungi kalangan muda. 

Pikiran ternyata berkaitan dengan dinamika emosi. Emosi dinamis bergejolak akibat pancaran energi dalam tubuh dan mempengaruhi kinerja organ. Jantung terus berdetak terkadang degupnya lebih kencang, paru-paru mersepon dengan frekuensi kembang-kempis yang terengah-engah. Semua unsur fisiologis turut merespon situasi tertentu. Baru kemudian pikiran yang memeberikan informasi aku marah, aku gugup, aku bahagia dan berbagai perasaan batin lainnya. Kesetabilan emosi juga bisa jadi ukuran pikiran yang tenang karena E-motion ada energi yang terus bergerak.

Berpikir juga dianggap berkatikan dengan ukuran kecerdasan (Intelligence). Ada pengelompokkan tingkat IQ yang sebenarnya memiliki alat ukur kompleks. Kalau saja ditelaah dengan serius kurang lebih ada 18 indikator untuk mendukung kecerdasan termasuk tercukupinya nutrisi. Taruhlah dalam lingkungan komunal salah satu ukuran kecerdasan adalah kemampuan bekerjasama. Siapa diantara makhluk dimuka bumi ini yang memiliki kerjasama yang baik? Mungkin kita akan melihat kepada semut pekerja, lebah yang membangun sarang dengan lubang-lubang hexagonal, atau mengagumi koordinasi singa dalam berburu dalam kelompok. Apakah mereka cerdas dengan IQ tinggi? Ternyata manusia yang mengklaim sebagai sapiens (manusia tegak bijaksana) barangkali kalah dalam kesuksesan bekerjasama.

Kecerdasan saja tidak menjamin sebuah pencapaian tingkat kesuksesan walaupun ukurannya juga sangat relatif pada setiap perisitwa dan lingkungan yang berbeda. Namun, ada suatu gagasan bahwa ternyata pola berpikir itu punya tingkatan. Ada level berpikir baru sekedar membedakan, aku memilih sekolah atau berjualan misalnya. Lebih lanjut ada yang mampu sampai pada taraf berpikir “oh ternyata aku bisa sekolah dan setelahnya berjualan”. Level berpikirnya sudah “dan” mengaitkan 2 hal yang berbeda dengan berdampingan namun masih secara terpisah. Level berikutya adalah berpikir jika maka, jika aku berangkat sekolah maka aku bisa sekalain berjualan makanan. Jika di sekolah maka aku bisa berjualan buku. Hingga jika maka itu berkembang dan bertambah banyak lagi pada pertimbangan kalkulasi jangka panjang jika awal tahun pelajaran maka aku akan berjualan seragam. Setiap pribadi yang sudah mampu berpikir jika maka, tahu sebab akibat dalam pertimbangan kesadaran dirinya inilah bentuk berpikir yang tinggi.

Mungkin tingkat berpikir yang sering dijumpai terutama di lingkungan pendidikan adalah taksonomi bloom di mana level tertingginya adalah mencipta atau berkreasi. Ya kreatif memang pekerjaan sulit dari beberapa hal kreatif di dunia ini berapa yang bertahan hingga sekarang. Bandingkan juga sebenarnya kreatifnya itu discovery dan invention mengingat manusia adalah peniru ulung.

Kebiasaan berpikir kritis layaknya perhiasan yang indah. Perhiasan indah tidak tiba-tiba jadi tetapi terlebih dahulu melalui berbagai proses seperti dibakar, ditempa, dipanaskan, ditekan, dan penghancuran bagian tertentu. Begitu pula dengan kebiasaan berpikir kritis atau berpikir cemerlang pastilah mengalami dinamika dan dialektika sehingga punya kapasitas yang luas dan visioner. Ada proses panjang berpikir kritis dari otak yang cemerlang. Setiap statement yang terlontar tidak akan lepas dari dugaan sementara atau asumsi-asumsi. Maka statement tersebut harus diuji dengan sudut pandang yang berbeda. Bukan soal percaya atau tidak percaya tetapi untuk terbiasa melengkapi data-data yang mungkin terangkum dalam asumsi. Hal terpenting lainnya adalah menganalisis argumen berupa konsisteni logis, kesalahan logika, bias-bias berpikir, ambigu, dan titik lemah argumen. Setiap selesai berbicara pastikan ada waktu untuk melakukan refleksi tentang apa yang telah disampaikan. Bukan sekedar mencari kesalahan karena beresiko untuk jatuh pada overthinking tetapi lebih kepada untuk tidak jatuh pada lubang kesalahan logika berpikir yang sama.

Pemahaman sampai hal fundamental seperti ilustrasi di atas memang tidak harus dilakukan terus menerus tetapi kemampuan ini jika dikuasai tidaklah sia-sia. Suatu saat dibutuhkan maka mudah menggunakannya, layaknya kita menemukan sebuah gudang pengetahuan baru maka kuncinya sudah terpegang. 

Berpikir kritis membutuhkan nalar. Nalar ini bekerja pada wilayah menjawab pertanyaan apa dan bagaimana. Sementara ketika sampai pada pertanyaan mengapa, rasional-rasional ini akan dipengaruhi kebutuhan mempertahankan diri, kebutuhan emosional, dan budaya. Kemudian lantaran kita tidak mau menonjolkan pembelaan, kondisi emosi, dan budaya maka muncul pemaksaan yang selanjutnya kita katakan rasionalisasi. 

Guru meraki adalah guru yang melakukan segala sesuatu dengan cinta, kreativitas, dan sepenuh jiwa. Guru meraki mempersiapkan dirinya terlebih dahulu untuk mau berpikir kritis.

Komentar

  1. Membaca sebuah kontemplasi ringan akan menjadikan otak turut mengikuti alur pikir penulis. Entah lagi galau atau memang sudah merasa risih dengan kondisi terkini jagat pendidikan negeri ini. Lanjutkan dengan membanjiri jagat maya kita dengan logika anti-mainstrem agar diskusi selalu terpantik dan membuka wawasan tiap pendidik.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Baratayudha Dan Hakikat Hidup

Kisah Baratayudha mungkin tidak asing ditelinga kita namun adakah pelajaran yang kiranya dapat kita ambil dari peristiwa yang melegenda tersebut. Mahakarya itu begitu luar biasa dan pakem-pakem ceritanya ada dalam pementasan wayang kulit. Baratayudha tidak saja diyakini sebagai perang antara kebajikan melawan kemunkaran. Pandawa dari keluarga Pandu perlambang kebajikan dan Kurawa sebagi perlambang kejahatan di muka bumi. Intisari cerita juga penuh gambaran makna bahwa sejatinya perang saling membunuh dan membenci hanyalah mencelakai saudara sendiri sesama makhluk ciptaan-Nya. Pada akhirnya kebajikan pun yang akhirnya menuai kemenangan sejati, yaitu kemenangan bukan untuk menindas maupun menghina tetapi kemenangan yang benar-benar menyadarkan untuk selalu berani dalam berbuat kebaikan. Perang Baratayuda juga mencerminkan ketetapan nasib dan kodrat sudah ditentukan sedari masa lalu, baik yang secara eksplisit ditorehkan dalam kitab Jitabsara maupun yang secara implisit hanya akan di