Langsung ke konten utama

Beringin Kurung Memang Pertanda


Kabar terbakarnya beringin kurung di alun-alun kidul Jogjakarta sontak mengejutkan warga. Beberapa media turut serta mengabarkan kejadian yang dua hari belakangan menjadi fenomena tersendiri. Berbagai spekulasi dan anggapan juga muncul dari warga masyarakat  Jogja. Salah satu beringin yang terbakar tersebut ada yang menyatakan sengaja dibakar oleh seseorang, yaitu seseorang melempar putung rokok. Memang belum ada yang bisa menjelaskan dengan pasti bagaimana kejadiannya. Ada juga yang menyatakan bahwa pohon beringin memang terbakar secara tiba-tiba.
Kejadian yang cukup menggemparkan ini kemudian oleh warga sekitar yang memang sudah paham betul keberadaan pohon beringin kembar di tengah alun-alun selatan ini dihubungkan dengan sebuah sinyal pertanda. Bahwa ketika beringin keraton yang ada di alun-alun utara maupun selatan menunjukan kejadian tertentu biasanya diikuti kejadian besar. Kejadian besar tersebut bisa di dalam lingkup keraton sendiri ataupun nasional. Menurut budayawan Purwadi dikutip dari berita Jogja lebih menilai bahwa kejadian ini adalah bukti manusia sudah tidak menjaga keharmonisan dengan makhluk hidup lainnya. Falsafah Jawa memayu hayuning bawana seakan sudah tidak dihiraukan lagi. Hidup selaras dengan menjaga keseimbangan alam sudah rusak.
Saya sangat setuju dengan pendapat tersebut. Berarti tanda yang jelas bahwa untuk menjaga lingkungan lingkup kecil saja sangat sulit apalagi menjaga sesuatu yang besar seperti nusantara ini. Namun di luar semua pendapat tersebut, saya mengajak untuk menegaskan bahwa terbakar atau tidak terbakar beringin itu memang sebuah pertanda. Bangunan keraton adalah penuh filosofis dan syarat pemaknaan. Jangan dilupakan bahwa alun-alun selatan adalah bagian rentetan dari sumbu imajiner Panggung Krapyak Keraton hingga Tugu Jogja.
Maka kita jangan melupakan tanda yang sudah diwariskan pendahulu kita ini sebagai rambu-rambu dalam hidup. Berikut adalah penjelasan pemaknaan tanda tersebut. Panggung Krapayak di sebelah selatan hingga keraton merupakan gambaran kelahiran bayi yang lahir dari seorang ibu, menginjak dewasa, berumah tangga kemudia mempunyai anak. Di sisi barat panggung krapyak terdapat kampung mijen yang berarti wiji atau gambaran benih manusia. Jalan lurus ke utara di sepanjang tepian jalan dihiasi pohon asem dan tanjung. Menggambarkan kehidupan anak yang masih lurus dalam bimbingan orang tua yang nampak nengsemake (menarik) dan selalu di sanjung-sanjung oleh kedua orangtuanya. Sampailah kita di plengkung gading atau Nirbaya. Plengkung menggambarkan anak yang suda menginjak periode remaja atau masa pra-puber. Rupanya masih nengsemake ditambah semakin gemar berdandan. Menghias diri dalam istilah jawanya nata sinom, sinom digambarkan sebagai daun pohon asam yang masih muda. Pepohonan disekitarnya dahulu adalah pohon asam.
Sampailah kita di alun-alun selatan. Kita akan menjumpai dua pohon beringin bernama “wok”. Berasal dari kata bewok yang menggambarkan bagian paling rahasia dari setiap manusia. karena saking rahasianya maka diberikan pager kurung disekeliling wok tersebut. Jumlahnya dua menunjukkan laki-laki dan perempuan sering juga dikenal dengan supit urang. Di sekeliling alun-alun kidul ada lima jalan utama yang bertemu satu sama lainnya, ini merupakan gambaran panca indera kita. Tanah alun-alun berpasir menjadi gambaran sesuatu yang masih lepas belum teratur. Dapat dimaknai panca indera kita itu  belum teratur karena belum ada perhatian yang kuat. Sekeliling alun-alun juga ditanami pohon Kweni dan Pakel, menjadi gambaran anak yang sudah kweni (kumawani/berani) dan pakel (akil baligh).
Kemudian menuju ke utara terdapat siti hinggil. Disana ada sebua trateg atau tempat istirahat beratap anyaman bambu. Sebelah kanan kirinya dihiasi pohon gayam dan bunga-bunga. Menggambarkan rasa pemuda pemudi merasa aman ayom ayem, tentram, senang, bahagia yang sedang terbuai cinta asmara. Saat di siti hinggil dahulu di bagian tengah terdapat pendopo dan ditenganya terdapat selo gilang sebagai singgasana Sultan. Kanan kiri terdapat tempat duduk kerabat keraton dan abdi dalemnya, pria wanita menghadap menghormati Sri Sultan. Gambaran pemuda-pemudi memasuki fase ketika menjadi temanten dengan duduk berdampingan. Kalau dilanjutkan terus hingga utara maka akan sampai halaman Kemedungan. Menggambarkan buah pernikahan yaitu benih yang sudah ada dalam kandungan sebagai calon jabang bayi.
Kemudian melalui Regol Gandungmelati sampailah di Kemagangan. Jalan disana dibuat menyempit kemudian melebar dan terang benderang. Suatu gambaran bayi yang lahir ke dunia menjadi magang (calon) manusia. kepadanya disediakan makanan yang cukup digambarkan dengan adanya dapur keraton Gebulen dan Sekullangen. Jalan di kanan kiri menjadi gambaran pengaruh negatif yang menyertai perjalanan kehidupan anak. Namun bila sang anak tetap terdidik dengan baik maka tetap menempuh jalan lurus ke utara di keraton tempat bersemayam Sri Sultan. Mencapai cita-cita si anak apabila bekerja dengan baik, patuh, eling dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih seperti kehidupan di dalam Kerton selama ini.
Gambaran tersebut adalah tanda yang memang benar-benar dibuat sebagai pengingat. Maka tidak perlu menunggu semisal seperti ada kejadian beringin terbakar pertanda itu sudah nyata. Apabila kehidupan ini dapat netepi jalan lurus sudah pasti tujuan baik tercapai. Tetapi jika tidak sesuai dan cenderung berbuat rusak dan aniaya maka jelas keburukan telah diciptakannya sendiri. Beringin kurung menjadi pertanda kecil dari bagian makna filosofis Panggung Krapyak, Keraton,Tugu Jogja sebagai Sangkan Paraning Dumadi. Jangan terlalu terpaku pada kejadian beringin terbakar tetapi maknailah sebagai tanda untuk mengkoreksi diri. Kekuata tidak terletak pada beringin melainkan dari Allah. La haula walaa Quwata Illaa BillaaHil ‘Aliyyil ‘Azhiim

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngelmu dan Ilmu

Ngelmu dan ilmu dalam sudut pandang masyarakat jawa memiliki perbedaan yang mendasar. Walaupun dalam keseharian kita memahami keduanya menujuk pada makna yang sama. Ngelmu terkadang dipandang sebagai sesuatu yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu. Barangkali belum banyak yang memahami mengenai istilah ngelmu atau malah salah paham dengan istilah tersebut. Beberapa pendapat ahli juga menyatakan ngelmu adalah hasil gubahan pengaruh Bahasa Arab yang sama bermakna ilmu karena di Jawa sebelumnya menggunakan istilah kawruh . Hal ini berkaitan dengan tata bahasa jawa baru tetapi ngelmu dan ilmu akan saya coba kupas denga sudut pandang jawa yang lain. Sekitar satu tahun yang lalu teman kuliah sekaligus rekan diskusi saya pernah bercerita hal yang tidak biasa. Namanya Sarwono. Semenjak saya mengenalnya memang orang yang nuwani dalam bertutur dan bertingkah laku. Suatu malam saat kami ngopi bersama sambil diskusi ia menanyakan tentang permasalahan pendidikan yang

Nasihat Pendidikan Orang Jawa

    Sekarang ini teori-teori pendidikan dapat dengan mudah kita cari. Media cetak tidak terbatas bahkan jika berbicara media elekronik dengan pointer, sentuhan jari, dan isyarat kata saja puluhan bahkan ribuan susunan kalimat dari para ahli dapat kita baca. Sebut saja Ki Hadjar Dewantara, putera bangsa perintis pendidikan Indonesia dengan teori trikon (kontinyu, konvergen, konsentris) yang sangat visioner. Nama-nama pencentus pendidikan revolusioner seperti John Dewey, Freire, Michael Fullan yang notabene bukan orang pribumi tetapi teorinya menjadi rujukan di Indonesia. Fakta yang cukup mengagetkan adalah kita lebih senang mengadopsi pandangan atau paham-paham pendidikan yang sumbernya malah bukan dari bangsa sendiri. Memang sah – sah saja apabila kita berbicara dan berusaha menerapkan teori yang berasal dari praktisi pendidikan asing dalam dunia pendidikan kita. Akan tetapi sebagai orang Indonesia, bukankah lebih sesuai dengan hasil pemikiran bangsa sendiri. Kalaupun mengamb